Langit perlahan berubah dari biru gelap menjadi hitam pekat saat Lena merasa kantuk menyerang. Ia memejamkan mata, berusaha menjangkau kantuk yang merayap.
Alih-alih tertidur, seluruh ingatannya malah menajam dan terfokus pada seluruh peristiwa hari ini. Sangat aneh bahwa harinya bagai roller coaster. Satu waktu dia merasa penuh emosi, satu waktu ia merasa bahagia, satu sisi ia merasa hampa. Seluruh emosi ini menguar di permukaan, membuatnya semakin jauh dari lelapnya.
Rasa kantuk itu semakin menjauh ketika ia merasa angin dari pendingin mobil menyapu lengannya. Membuat bulu kuduknya meremang dan makin meningkatkan kesadarannya.
"Kau tidak akan bisa tidur dengan rambut dan pakaian basah seperti itu."
Suara Ben adalah hal terakhir yang ia harapkan dari seluruh perpaduan ketidaknyamanan ini. Setelah apa yang lelaki itu lakukan dan ucapkan di pelataran parkir St. Clark, ia sangat membenci Ben hingga yakin dapat mencakarnya jika saja ia tidak segera menyadarkan diri akan siapa sebenarnya Benjamin Heimdall. Emosi Lena semakin membuncah ketika ia mengetahui bahwa apa yang Ben ucapkan benar.
"Tidak usah pura-pura tidur. Aku tahu kau mendengarku."
Lena bersikukuh dengan posisinya. Kepala bersandar pada jendela, tangan terlipat di depan dada dan kaki menyilang. Ia bisa saja mengabaikan seluruh ketidaknyamanan yang dia rasakan ini jika saja Ben tidak berbisik kepada Felix yang dibalas supir itu dengan gumaman singkat. Tak lama kemudian, laju mobil melambat dan ia merasakan mobil mulai menepi dan berhenti di tepian berbatu. Felix membuka dan menutup pintu pengemudi, menyisakan hembusan nafas Lena dan Ben dalam keheningan yang canggung.
Tepat saat Lena berpikir usaha tidurnya tidak akan berakhir sia-sia, perutnya bergemuruh kencang. Hal ini membuat Ben mendengus dan mengeluarkan tawa kecil yang tak sanggup diabaikan Lena, membuatnya membuka mata seketika. Ia benar-benar malu sekarang. Panas merayap dari leher ke ujung kepalanya, membuat pipinya memerah seperti apel.
"Kapan terakhir kau makan?" suara Ben begitu rendah. Jika saja Lena tidak begitu membenci, ia bersumpah mendengar sedikit nada perhatian dalam suaranya.
"Bukan urusanmu." Lena menatap tebing di luar jendelanya, bertanya-tanya apa jadinya bila ia berubah menjadi semut dan menelan semua rasa malu ini.
Ben tersenyum, namun tetap menuntut jawaban. "Kapan?"
Lena mendengus dengan dramatis, menyisir rambutnya yang lembab agar menutupi pipinya. "Kemarin malam."
Ben memutar duduknya menghadap Lena, menatap rambut pirangnya dengan tatapan tidak percaya.
"Kau harus lebih memperhatikan kesehatanmu, Lena Wyers."
Aneh mendengar Ben menyebut namanya tanpa nada sinis atau mencemooh. Namun begitu, ia tidak akan menganggap hal ini sebagai perdamaian permanen dan menurunkan pertahanannya. Jadi Lena memutuskan untuk tidak menggubris perkataan pangeran dan melanjutkan impiannya untuk menjadi semut.
"AW!" Lena merasakan tarikan yang menyakitkan di sejumput rambutnya, mau tak mau ia menatap galak ke arah Ben dengan sisa harga dirinya. "Apa masalahmu, Ben?"
Ben menaikkan sebelah alisnya, "Aku bilang, kau harus lebih memperhatikan kesehatanmu, Lena Wyers."
"Aku tidak tuli. Aku mendengarmu, Bodoh."
Mata Ben membelalak, "Kau menyebutku 'Bodoh'?"
"Ya." jawab Lena pedas, "Mengingat apa yang kau lakukan dan ucapkan merupakan dua hal berbeda."
"Bagaimana mungkin?" Mata Ben menyala-nyala penuh rasa ingin tahu.
"Karena, Benjamin," Lena melipat kembali kedua tangannya di depan dada, "Aneh rasanya mendengarmu mengkhawatirkan kesehatanku sementara yang kau lakukan hari ini benar-benar seperti melemparkan mimpi buruk ke dalam hidupku."
KAMU SEDANG MEMBACA
the Troublemaker Prince
ChickLitPandemi Covid-19 membuat Lena Wyers harus berhenti bekerja sebagai waitress di salah satu restoran pizza. Satu-dua bulan, ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Padahal ia harus tetap membiayai biaya kesehatan ibudan biaya sekolah adiknya, Louisa. Se...