Sinar matahari menyerobok masuk di balik tirai kamar Lena Wyers. Pantulannya menampakkan bayangan dahan pohon yang bergerak-gerak anggun. Melawan rasa kantuknya, Lena membuka mata.
Dia tersentak dari tempat tidurnya ketika menyadari jam menunjukkan pukul 06.20. Harusnya ia sudah berada di stasiun sekarang, bukannya baru terbangun dengan perut bergemuruh dan rambut acak-acakan.
Segera saja ia menggosok gigi dan berdiri di bawah shower untuk mandi sekenanya. Ditariknya asal kaos dan jeans teratas di lemarinya, mengenakannya sambil memasukkan barang-barangnya yang tercecer kembali ke tasnya yang terbuka.
Lena menuruni tangga dengan kedua tangan yang sibuk mengikat rambutnya. Di anak tangga terakhir, ia melirik dua sosok yang duduk di ruang tamunya dan hampir terpeleset jika saja ia tidak segera menggapai pegangan tangga.
Matanya yang merah menatap kedua sosok yang balik menatapnya. Bukan pemandangan yang biasa melihat seorang pangeran dengan pakaian kasual datang ke rumah mungilnya, bercanda dengan Mom seakan mereka teman lama yang baru bertemu.
"Kau tak pernah bilang padaku kalau kau dan Yang Mulia berteman baik, Lena." Mom menatapnya riang dengan wajah berseri-seri layaknya orang yang baru saja terpingkal-pingkal beberapa menit terakhir.
"Aku...tidak—"
Lena seakan belum tersadar penuh dari mimpinya. Tak pernah ada dalam skenario hidupnya, ia berandai-andai akan pemandangan hari ini. Ben dengan polo dan celana putih selututnya, duduk di sofa kunonya yang megeluarkan suara layaknya jeritan aneh ketika diduduki.
Semua ini terasa tidak pas. Ben dengan segala kesempurnaannya duduk di ruang tamu sederhana miliknya. Anehnya, lelaki itu bahkan tak terganggu. Ia nampak nyaman berada di sini, seolah ini rumahnya juga.
Mom bangkit berdiri dan menatap Lena dan Ben bergantian, sebelum pamit meninggalkan ruangan untuk membiarkan keduanya sendiri di ruang tamu nan kecil itu.
"Bagaimana tidurmu?" Ben tersenyum kepadanya.
Lena mengkeret di tempatnya berdiri, "Nyenyak."
Ben tertawa. Tawa yang membuat Lena merasa begitu damai meski kepalanya pening.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Itu adalah pertanyaan pertama yang sudah seharusnya ia tanyakan beberapa menit yang lalu. Tapi entah karena tawa itu atau keterkejutannya sendiri, ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya dengan benar.
"Mengajakmu berjalan-jalan."
"Lagi? Seakan yang kemarin belum cukup."
Ujung mata Lena menangkap bayangan Lou dan Mom yang mengintip dari ruang makan. Mereka tersenyum-senyum menatapnya, dan berbisik sebelum terkikik kembali.
"Kemarin aku hanya mengantarmu pulang, bukan berjalan-jalan." Ben berdiri dan menatap Lena dari ujung kepala hingga ujung kaki, "Kau sudah siap?"
"Siap untuk bekerja, bukan untuk berjalan-jalan."
Ben menggeram. "Tak bisakah sekali-sekali kau menurut saja padaku dan berkata 'oke' tanpa harus membuatku memutar otak untuk mengajakmu keluar."
"Bisa saja asal tidak di hari aku bekerja."
Ben menghampirinya perlahan. Dengan senyuman seindah itu, Lena merasakan punggungnya seperti dicambuk dengan es.
"Kau pasangan dansaku hari ini." Ben berhenti beberapa senti di depannya. "Aku punya hak untuk mengajakmu kemanapun."
Lena menggulung kedua tangan di depan dada. "Seperti kencan?"
"Jika kau anggap begitu, maka ya, ini adalah sebuah kencan."
KAMU SEDANG MEMBACA
the Troublemaker Prince
Literatura FemininaPandemi Covid-19 membuat Lena Wyers harus berhenti bekerja sebagai waitress di salah satu restoran pizza. Satu-dua bulan, ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Padahal ia harus tetap membiayai biaya kesehatan ibudan biaya sekolah adiknya, Louisa. Se...