TWENTY EIGHT - Shattered

111 18 4
                                    

Lena masih tenggelam dalam euforia akan betapa sempurnanya malam ini baginya. Ia terus menerus memegang bibir, seolah tak ingin melupakan bagaimana Ben memberikan rasa baru dalam hidupnya. Ia memandang langit malam bertabur bintang. Menatap lekat salah satu bintang yang bersinar paling terang.

Ben memintanya menunggu disini, di depan pintu masuk utama istana, agar ia bisa mengambil Mustang-nya dan mengantar Lena pulang. Seharusnya tak butuh waktu lama, namun 10 menit telah berlalu dan Lena mulai menggigil di balik balutan jas Ben yang kebesaran.

Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya, membuatnya menengok ke arah sumber suara tak jauh di belakangnya. Tamu terakhir telah meninggalkan istana 1 jam yang lalu, sehingga Lena tak terlalu terkejut dengan siapa yang datang.

"Kau tidak bermalam disini?"

Suara Alex memecah keheningan malam. Dua kancing teratas kemejanya terbuka, rambutnya sudah tak serapi beberapa jam yang lalu dan jalannya nampak aneh.

"Tidak." Lena menggeleng sopan, "Aku tidak menganggap diriku layak bermalam di istana."

"Ayolah..." Alex meraih lengan Lena, mengajaknya masuk ke dalam istana. "Setelah kau menyandang status sebagai kekasih Ben, kau sangat diterima disini."

Ada sedikit keanehan dalam cara bicara Alex yang terlalu santai. Ia jadi mirip seperti Ben. Dan tepat pada saat itu, Lena memerhatikan matanya yang memerah dan mengendus sedikit aroma tajam.

"Kau mabuk?"

"Tentu saja tidak." Alex membelalakkan matanya. "Hanya minum beberapa gelas."

"Oh, Alex."

Lena menoleh ke segala arah untuk meminta bantuan tapi tidak ada siapapun. Lena tidak berpengalaman menghadapi orang mabuk, namun ia yakin akan lebih baik bagi Alex untuk berada di kamarnya yang hangat dibandingkan menggigil di luar.

"Kuantar kau ke kamar." ujar Lena seraya melingkarkan lengan Alex mengelilingi kepalanya.

Alex nampak enggan. Ia memakukan kakinya di undakan tangga berbatu. "Tidak mau."

Dia benar-benar bersikap seperti remaja nakal sekarang.

"Baiklah, akan kupanggilkan seseorang untuk menggendongmu kalau begitu."

Mustahil menggendong Alex yang jangkung seorang diri. Meski begitu Lena tetap berupaya melepaskan lengan Alex.

"Tidak usah. Kau saja." Mata Alex yang nampak kuyu menatap Lena dengan malas seolah ia adalah orang tua cerewet. Lengannya mengeras, menahannya di tempat.

Keduanya menjauhkan diri dari undakan batu, berjalan dengan langkah gontai ke arah pintu istana yang terbuka. Lena berhasil menangkapnya saat lelaki itu hampir membentur lantai, mengangkat sekuat tenaga untuk menemukan keseimbangannya kembali. Heels-nya sama sekali tidak membantu dalam hal ini, sehingga ia melepasnya dan memutuskan untuk bertelanjang kaki di dalam istana. Lena tahu ini tidak sopan, tapi mengorbankan kakinya untuk memapah pangeran yang mabuk tampak tidak sepadan.

Alex menumpukan sebagian berat badannya pada Lena. Kesadarannya makin menipis seiring dengan kaki yang ia upayakan untuk tetap melangkah. Alex berjalan tak menentu, membuat Lena ikut terhuyung kesana kemari. Hingga dalam beberapa menit, kaki Lena terasa membara.

Lena menyerah saat Alex mulai menumpukan seluruh berat badannya. Ia menggapai dinding terdekat dan menyandarkan Alex yang jatuh terduduk di dalam lorong yang kosong. Ia berniat untuk mencari penjaga istana terdekat, sebelum sesuatu menahan upayanya dengan kasar.

"Temani..." Alex menggapai lengan Lena dan menariknya hingga ikut jatuh terduduk di sebelah Alex. "Aku."

Alex terpejam dan mendengkur tak lama kemudian. Kepalanya terkulai lemah ke sisi Lena. Sembari mengatur tempo nafas dan memijat pelan tungkai kakinya, Lena mencari cara untuk mendapatkan bantuan tanpa harus meninggalkan posisinya kini.

the Troublemaker PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang