Lena duduk menghadap pantulan dirinya saat tangan-tangan lentik memoles wajah dan merapikan rambutnya dengan berbagai cara. Ia melirik ke arah gaun berwarna biru muda yang tergantung dalam manekin tak jauh di belakangnya.
Tali spaghetti-nya menggantung di kedua sisi. Bagian dadanya nampak rendah (Lena tak ingin membayangkan bagian ini). Dan bagian bawahnya mengembang mulai dari pinggul ke bawah.
Kain terbaik jelas digunakan untuk membuatnya karena bahkan dari jarak ini, Lena dapat merasakan lembutnya kain itu saat menyentuh kulit. Ada kilap di gaunnya yang sengaja disematkan, membuat Lena semakin mengagumi keanggunannya.
Matahari bergerak miring di jendela, menyebarkan warna jingga ke seluruh penjuru kamar tamu yang khusus dipersiapkan Ratu agar Lena bisa bersiap dengan leluasa.
Lena tak mengenali pantulannya sendiri. Wajahnya terasa berat oleh bedak, matanya tak leluasa berkedip karena bulu mata berlapis yang disematkan dan bibirnya terasa... lengket.
Meski tak nyaman, Lena tak berkata apapun saat penata rambut selesai menggelung rambut pirangnya. Beberapa helai rambutnya dibiarkan tergerai ikal di samping wajah, memberikan kesan mahal ala bangsawan.
Sang penata rambut, seorang laki-laki dengan rambut sepunggung dan tulang pipi tinggi, meraih kotak perhiasan di depan cermin dan mengeluarkan isinya. Sebuah liontin indah menggantung di tangan kurusnya. Mata liontin biru safir itu bergoyang-goyang saat penata rambut memasangkannya di leher Lena.
"Kau yakin ini untukku?"
Lelaki itu mengangguk seraya menatapnya dari balik cermin. "Perintah langsung dari Ratu."
Lena menyentuh mata liontin itu. Ia merasakan denyar panas menyentuh dadanya. Penata rias dan penata rambut menilai hasil kerjanya dan setelah memastikan semuanya sesuai dengan perkiraan, mereka meminta Lena untuk berganti pakaian.
Penata rias, yang merupakan perempuan Asia dengan kulit cokelat memesona, membantunya melepas jubah mandi dan memasang gaun dari bawah. Gaun itu melesak, membalut setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna.
Ia dapat membiasakan diri dengan bahu dan lengannya yang begitu terbuka. Tapi tidak dengan belahan yang nampak menyembul dari dadanya. Liontin yang ia kenakan justru makin menonjolkannya.
Setelah mengenakan heels setinggi tiga belas senti, penata rias dan penata rambut sibuk membereskan barang-barang mereka sebelum akhirnya undur diri. Lena sendirian di kamar tamu istana ini. Ia menyibukkan diri dengan mengamati setiap sudutnya.
Kamarnya barangkali setengah kamar Ben dan Cassie. Namun seluruh perabotan kayunya terasa sama, dengan ranjang megah berada di tengah ruangan dan lemari kayu setinggi dua kali tubuh Lena. Pintu kaca berada di balik bahunya, mengarah ke balkon kecil yang menghadap bagian selatan Hurrington Palace.
Lena mendapat dorongan kuat untuk berjalan ke arahnya. Menikmati petak taman peony dan iris dari ketinggian. Membiarkan hangat senja dan angin musim semi membelai rambut dan kulitnya.
Ia menyandarkan tangan pada pilar batu rendah saat mendengar ketukan di pintu kamarnya. Sosok bertubuh jangkung dengan rambut ikal yang mengenakan kemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam senada dengan celana masuk ke ruangan.
"Greg!"
Lena melintasi ruangan untuk berlari memeluk sahabatnya. Greg membalas pelukannya tak kalah kencang. Meski bekerja di bawah atap yang sama, kesibukan keduanya selama persiapan pernikahan Alex membuat Lena dan Greg bahkan tak pernah berjumpa selama beberapa waktu.
"Aku diminta untuk memberitahumu bahwa seluruh tamu telah datang dan Pangeran telah menunggu di aula."
Lena menarik diri dan menatap Greg. "Baiklah. Temani aku berjalan hingga ke aula, please."
KAMU SEDANG MEMBACA
the Troublemaker Prince
Chick-LitPandemi Covid-19 membuat Lena Wyers harus berhenti bekerja sebagai waitress di salah satu restoran pizza. Satu-dua bulan, ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Padahal ia harus tetap membiayai biaya kesehatan ibudan biaya sekolah adiknya, Louisa. Se...