Setiap manusia memiliki self-defense mechanism ketika merasakan rasa sakit yang hebat. Ada banyak macamnya yang biasa dilakukan makhluk dengan logika dan perasaan tersebut. Salah satunya adalah meyakinkan diri bahwa dia baik-baik saja.
Periode yang paling menyakitkan adalah denial atau penyangkalan tersebut. Hal itu yang membuatku berhenti menonton Drama Korea bertahun-tahun dan berhenti menulis novel karena semakin diingat, semakin menyakitkan. Aku menggantinya dengan berolahraga. Kegiatan menggebuk samsak dan mengangkat barbel sambil pamer otot triceps – well, otot dan lemak sih dalam kasusku – lebih keren ketimbang jadi jomlo yang sendirian nongki di café. Minimal di tempat gym aku mengenal banyak orang baru. Termasuk salah satunya adalah Arnold Johnson.
Arnold adalah bule Amerika yang baru saja dipinang Club Sepakbola kota sebelah. Pertemuan pertama kami adalah saat pertama kali dia latihan di fitness center tempatku biasa berlatih. Dia sedang syuting iklan suplemen pengganti makanan brand dari Fitness Center kami. Dia pribadi yang ramah dan menyenangkan di luar dari penampilan fisiknya yang kekar dan sedikit mengintimidasi dengan rambut gondrongnya. Aku tidak pernah suka cowok dengan rambut gondrong, Arnie pengecualiannya.
Aku tidak benar-benar peduli dengan kehadiran Arnie sampai ketika dia mulai berbaik hati membuka percakapan dan mengajari beberapa gerakan dasar weightlifting. Jujurly, waktu itu sih aku sengaja minta saran sama dia. Yah aku sih tidak berniat sungguh-sungguh pdkt yah, cuma iseng. Eh kok gayung bersambut. Hari berikutnya, waktu dia ada pertandingan di kotaku malah sempet bisa meet-up.
Nothing but the wind, it must be the first and the last for us. The next day, I stalked everything about him and found out his girlfriend on his social media. Not a real surprise tapi lumayan berbekas karena tiba-tiba si cewek stalking di sosial mediaku, melihat semua stories yang hari itu aku buat. Setelah itu Arnie tidak pernah membalas pesanku. voila, ada yang ketahuan pacarnya!
Hari itu di café yang sama, aku bisa nangis-nangis cerita ke kedua sahabat recehku ini.
"Untung ya belum sampai ngapa-ngapain." Celpi geleng-geleng kepala sok bijaksana waktu aku selesai bercerita. Dan seperti biasa, Tiara masih sibuk bertelepon dengan mama-mama sosialitanya. Sedang aku sibuk menscroll sosial media dan melihat berkali-kali foto Arnie.
"They look good together," ujarku. Aku tersenyum sedih sebenarnya karena Arnie sangat cute untuk ukuran pria berotot dan sangar seperti bule yang lain. Tapi aku bukan lagi di usia yang harus berlama-lama galau karena calon gebetan ternyata udah ada pawang, kan?
"Udah udah.. Apaan sih.. kalau bule tipe gini mah di perusahaan suamiku banyak. Ntar yah, ada co-worker Oscar yang lumayan cakep. Lo suka yang suka ngegym kan? Ada tuh. Samperin aja, pura-pura ngegym di hotel tempat mereka tinggal sementara." Tiara menyela pembicaraan tidak berfaedah antara aku dan Celpi sementara ponsel masih nangkring cantik di telinganya.
"Hmm, apa aku se-desperate itu?" Aku melenguh antara sedih dan mencoba menghibur diri.
"Beib, usaha dan doa itu bersama-sama kerjanya. Saling kolaborasi. Ya kamu disuruh nyoba dating app nggak mau takut kena scam. Nah yang ini prospeknya bagus. Tapi ya hati-hati aja, biasanya mereka nyari Ani-ani doank." Tiara mengelus pundakku pelan, wajahnya nampak ikut prihatin. Melihat perubahan ekspresi sahabatku ini, rasanya aku pengin jumpalitan.
"Nggak apa-apalah. Dicoba dulu. Anggap aja iseng-iseng berhadiah. Kamu bilang kudu dapat gandengan sebelum adek lo married akhir tahun depan? Nah.. Biasanya mereka kalau cocok langsung deal!" Celpi mengepalkan tangannya. Tampaknya dia lebih bersemangat dibanding kami semua. Tiara ikut mengangguk meyakinkan.
Aku menghela nafas. Kedua sahabatku ini sama-sama di usia 29 tahun. Tahun depan kami masuk angka keramat 30 tahun. Tiara sudah menikah dari usia 24 tahun selulusnya kuliah. Oscar juga tipikal husband material yang diidam-idamkannya. Mereka berpacaran setahun lalu menikah tanpa drama yang berarti. Kehidupan Tiara adalah yang paling ideal di antara kami bertiga. Sementara bekerja sebagai manager di perusahaan kontraktor bapaknya, Tiara juga ibu rumah tangga seorang pejabat BUMN di kota kami yang tentu saja gajinya dua digit. Meski circlenya penuh dengan warna warni petinggi dan orang penting di kota, Tiara tetap menyempatkan untuk membahas hal receh bersama kami.
Celpi alias Sylvia Maharani si ratu kecantikan yang berakhir gonta ganti pacar dan belum ingin serius dengan siapapun. Pengalaman broken home masa kecilnya membuat Celpi tidak terlalu percaya pernikahan. Dia memilih menjadi Miss Independent. Tapi circlenya yang luas sebagai salah satu selebgram kota membuatnya cukup terkenal di antara cowok-cowok keren. Hanya saja Celpi tidak mengenalkanku pada satupun karena dia tahu track record mereka.
"Jangan sama dia. Dia cuma seorang daun muda yang suka ngejar tante-tante demi nambah investasi," bisik Celpi suatu kali ada seorang cowok muda yang mengerling padaku di tempat gym.
"Njir.. Gue tante-tante banget donk ye.." Aku melenguh, melotot pada Celpi yang pura-pura tidak melihatku.
Dan aku?
Di antara ketiganya, aku yang paling drama. Semua berawal dari rencana pernikahanku yang gagal 6 tahun lalu. Dengan mantan pertama yang namanya tidak ingin kusebut. Terlalu menyakitkan buatku.
Dan kalian tahu apa, sampai hari ini mungkin aku merasa dia lah yang bertanggungjawab atas keadaanku yang tidak kunjung menemukan penggantinya.
Jika 6 tahun lalu aku sudah menikah dengannya, mungkin hari ini aku bukannya sibuk mencari gebetan tapi sibuk mencari SD untuk anak kami yang mau masuk sekolah, seperti Tiara.
Aku menikmati kesendirianku, bersenang-senang dengan berbagai fase, berharap siapapun ternyata adalah jodoh yang dikirim Tuhan untukku. Tapi selalu berubah menjadi cerita drama yang tidak ada habisnya. Di saat itu, satu-satunya mantra yang bisa kuucapkan sebagai self-defense mechanism-ku adalah...
"Huh, bodo amat.. Mau si Arnold, siapapun.. paling-paling berujung udah punya cewek juga... Gwenchana.. Gwenchana..." Aku mengangkat gelas mocktail-ku dan mengajak bersulang kedua sahabat recehku.
Meski mereka tidak paham maksudnya tapi Tiara dan Celpi setuju dengan toss kami.
"Gwenchana... Gwenchana..." seruku, mengangkat gelas ke udara.
"Toss buat Gwen.. Tahun ini menikah!" Tiara mengikutiku.
"Toss buat Gwen.. agar tidak dilangkahi sama adiknya!" Celpi ikut menambahkan. Menohok sih, tapi ya sudahlah. Gwenchana!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwen-chana [Season 1 Completed]
RomanceGwen-chana Namanya Gwen dan dia cewek terdrama yang pernah hidup di dunia. Kata orang Jawa tipikal "ora nduwe udel" alias tidak pernah punya rasa malu dan rasa capek. Gwen disukai teman-temannya karena sifatnya yang tidak mudah marah ketika diajak...