22. Ajudan Viral

19 1 0
                                    

Jejak digital itu kejam!

Itu sudah aku buktikan beberapa saat yang lalu ketika aku harus berhadapan dengan klien yang kurang puas dengan pekerjaan EO kami. Dia menyampaikan keluhan melalui media sosial lalu sempat viral di tiktok. Padahal waktu itu bukan sepenuhnya salah EO kami karena ternyata vendor yang pernah bekerjasama dengan kami yang bermasalah. Itulah yang membuat klien kami marah. Tapi video tersebut sudah terlanjur viral di media sosial. 6 bulan lamanya kami mengalami banyak hujatan dan ulti dari para pelanggan yang sudah membooking kami untuk tiga bulan ke depan. Meski tidak ada yang membatalkan karena sistem kami yang menghanguskan DP yang sudah dibayarkan jika batal.

Tapi tentu saja belum ada penambahan bookingan setelah itu. Kami berusaha keras dengan berbagai konten klarifikasi dan pemulihan nama baik setelah berhasil mengungkapkan kebenaran di balik ketidakpuasan pelanggan tersebut. Semua di era digital seperti ini seperti makan buah simalakama. Mending durian sih ya enak. Mau tidak menggunakan media digital tentu saja tertinggal, tapi memakainya harus dengan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Tapi kali ini sepertinya aku yang menjadi korban. Tiba-tiba banyak tamu tidak diundang yang mengunjungi beranda sosial mediaku. Yang paling banyak terlihat adalah di story yang biasanya hanya dilihat oleh orang-orang yang kukenal kini dipenuhi dengan orang-orang yang tidak kukenal.

"Video ini yang viral?" tanyaku pada Celpi dengan setengah memejamkan mata karena jahitannya menutup hampir seperempat bagian mataku.

Celpi mengangguk. "Yes. Gila! Akting lo keren banget!"

"Akting pale lu!" Aku menggeplak kepala Celpi saking keselnya. "Kalau aku Cuma akting nggak pake dijahit."

"Auchh.." Aku merasakan nyeri yang menyentak ketika aku berusaha bergerak untuk memukul Celpi.

"Udah nggak usah banyak gerak. Jahitanmu rapet juga lho. Kayak habis caesar tuh." Celpi menunjuk kepalaku. "Untuk nggak pitak."

Aku meringis. Aduh! Udah wajah nggak mulus-mulus banget malah sekarang kena luka parutan kayak gini. Kayaknya bakal lama sembuhnya. Belum lagi bekasnya. Masa aku harus operasi plastik untuk ini?

"Tok.. Tok..." pintu kamar rawat inapku diketuk dari luar. Celpi membukakan pintu dan mempersilahkan tamu kami masuk.

"Oh.. Reza..."

Deg! Ngapain dia kemari?!

"Sudah sadar ya?" tanyanya pada Celpi. Sementara aku hanya bisa mendengar suaranya tanpa bisa melihatnya karena leherku kaku untuk melihat ke arahnya.

"Sudah." Celpi menjawab dan aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat ke arahku.

"Ada mummy ya? Jelek sekali!" dengus Reza, dengan senyum menyebalkan menatapku. Ingin rasanya aku cakar wajahnya yang songong itu. Coba saja mataku tidak tertutup separuhnya begini.

"Gara-gara siapa ini!" ujarku mendengus tidak kalah sebal.

"Gara-gara kamu kegatelan mau satu bus sama Mas Bupati lah!" sahutnya dengan nada menyebalkan seperti biasa.

"Ehemm..." Celpi berdehem, sebelum akhirnya berpamitan karena ada telepon yang masuk. "Sorry ya.. bentaran gue keluar dulu."

Tinggal aku berdua dengan manusia setengah salmon yang tidak punya hati karena sudah dijual ke resto Jepang ini. Reza berjalan mendekat dan menatapku lekat-lekat. Meskipun rasa kesal menyelimuti hatiku sejak saat terakhir aku beradu mulut dengannya, tapi ditatap orang yang pernah menjadi segala-galanya bagiku itu tetap mendebarkanku.

Tiba-tiba tangannya terulur dan menyentuh perbanku. Aku menahan nafas.

"Kau harus rajin-rajin kontrol ke dokter. Sekaligus membersihkan dan mengganti perban sebelum dicabut jahitannya. Kau sama sekali tidak berubah. Clumsy sekali. Tidak bisakah kau melindungi dirimu barang sekali? Tidak bisakah kau berhati-hati dan menjaga diri agar tidak terkena cairan panas, jatuh atau terkunci di kamar mandi barang sekali saja?"

Suara dalam itu membuatku tercengang. Dia, Reza Prabowo yang kukenal sebelum dia terhasut oleh keluarganya yang menolakku. Suara Reza yang kucintai sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu yang mana yang Reza sebenarnya.

"A-Aku..." Aku terbata. Duh, Gwen! Ini bukan saatnya deg-degan.

Aku melihat sebentuk senyum samar disana.

"Aku khawatir kamu kenapa-kenapa." Suaranya tercekat, ada kegelisahan di dalamnya. Tangan itu mulai meraih tanganku. Sepersekian detik, aku rasa jantungku berhenti berdetak.

"I-itu kenapa kau menggendongku keluar?" tanyaku lirih, mencoba menatap Reza. Meski aku takut kalau ini ternyata cuma mimpi.

Reza tersenyum kecil diiringi anggukan kecil.

"Aku benci mengatakan hal ini. Aku benci mengakui bahwa aku merasa bersalah padamu selama bertahun-tahun. Tapi aku tidak pernah berani mengungkapkannya. Yang ada setiap kali bertemu denganmu, aku menaikkan egoku dan meneriakimu. Gwen.. Maafkan aku..."

Aku nyaris tersedak nafasku sendiri ketika mendengar pernyataan itu. Semua perkataannya selama ini apa? Egonya menutupi rasa bersalahnya?

Tiba-tiba hatiku ingin meledak karena rasa sakit yang tertahan selama ini. Rasa nyeri yang lebih menyakitkan dari sakit di kepalaku. Rasa sakit yang aku hiraukan selama ini. Tiba-tiba berdenyut-denyut menyerang dadaku. Aku memeganginya dengan tanganku. Rasa nyeri di ulu dadaku.

"Gwen, are you okay?" tanya Reza, nampak khawatir karena tiba-tiba aku terisak-isak.

"Kau.. Pria kejam yang kukenal! Kenapa kau kembali!! Kenapa kau kembali setelah sekian lama?! Kalau benci, benci saja.. kalau kau menghina aku.. hina saja terus.. jangan menghina, lalu lembut padaku. Lalu berkata-kata seolah-olah kau menyesal membatalkan semua pertunangan kita! Kau jahat!!" Airmataku mengalir sederas air terjun Tumpak Sewu di musim Penghujan. Banjir!

Reza menarikku ke dalam pelukannya. Sepersekian detik aku merasa ini semua cuma mimpi. Sampai pintu kamarku terbuka.

"Hai.. Maaf-maaf.. acaranya baru selesai dan saya..." Mas Bupati masuk ke dalam kamarku.

Aku dan Reza membeku. Mas Radit juga terpaku sejenak lalu berbalik. "Ups, maaf-maaf.. Aku menganggu kalian sepertinya."

Reza buru-buru melepaskan pelukannya dan berdiri mengejar Mas Bupati. "Mas, uhm, maaf. Saya..."

Mas Radit berdiri di depan pintu tempat Reza menghadangnya. "Ahaha.. Jadi benar ya dia mantanmu? Kalian baru saja balikan atau bagaimana?"

Mas Radit memandang ke arahku. Dan aku menggeleng cepat-cepat.

"Jadi kamu tidak jadi ngefans sama aku donk!" Mas Radit menatapku sok kesal. Dan wajah beliau yang lugu itu jelas membuatku tertawa.

Reza tertawa malu-malu sambil memandangiku dan Mas Radit bergantian.

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang