8. Mas Bupati VS Mas Mantan

21 3 0
                                    

Kacau!

Baru juga kedua kaki dan badanku bisa normal tanpa tremor di depan Mas Bupati, si mantan sialan itu justru dengan sengaja menumpahkan segelas kopi di lenganku. Aku tidak tahu si Reza memang berharap aku pergi dari sini secepatnya atau memang dia mencoba mengajariku debus ketika menaruh kopi di depanku justru dia menumpahkannya.

"Maafkan saya.. Saya rasa karpetnya perlu dibenahi kembali." Reza melihat ke arah bawah dan memang ada ujung karpet yang mencuat membuatnya kehilangan keseimbangkan dan menumpahkan kopi panas yang dibawanya. Dan aku sangat sial berada paling dekat dengannya.

Aku meringis melihat pergelangan tanganku yang memerah. Rasa perih menjalar ke seluruh lenganku. Untung saja sepasang tangan dengan sigap meraih tangan kiriku yang mulai melepuh.

"Ayo, harus dibasuh dengan air mengalir selama 15 menit ini..." Dan aku semakin melongo ketika yang dilakukan pemilik sepasang tangan itu adalah membawaku menuju wastafel ruang kerjanya.

"M-Mas.. saya bisa sendiri..." ujarku, bukan cuma malu-malu tapi sungguh malu-maluin. Sementara yang lain memandangiku dengan kening berkerut. Mungkin mereka kira kulitku badak kali ya, dengan ketumpahan kopi sepanas itu masih tetap glowing dan makin kinclong gitu.

Reza buru-buru menyahut dan menggantikan posisi Mas Radit. "Sampun, Mas. Kulo mawon." Yang artinya, sudah Mas, saya saja.

Aku melotot ke arahnya. Jika saja Badarawuhi mencari suami, aku akan ajukan Reza sebagai calonnya. Minimal dia bisa pargoy.

Mas Radit awalnya ragu-ragu tapi setelah melihat kesungguhan Reza seperti seorang Tunas Pramuka sejati yang siap mmengobati setiap lara hati – eh apa sih ini – akhirnya Mas Radit setuju melepaskan tanganku dan membiarkan Reza mengambil alih.

Aku benci mengakui bahwa tangannya yang kekar itu adalah tangan yang sempat aku rindukan dan aku tangisi beberapa bulan – tepatnya 2 tahun – sejak kami berpisah. Aku juga benci mengakui aku senang tidak menemukan cincin melingkar di jarinya.

Tapi bayangan foto pernikahannya dengan Hana tidak bisa tidak membuatku sedih dan terluka. Kami berpacaran cukup lama tapi yang tersisa hanya kenangan dan nota. Iya, nota makan kami berdua. Alkisah kami sering sharing biaya ngedate. Bukannya apa-apa, waktu itu kami belum punya pekerjaan yang tetap. Aku sendiri masih merintis usaha WO dan EO bersama teman-temanku. Belum banyak klien yang kami punya waktu itu. Reza sendiri seringkali menjadi field director. Hubungan kami dari awal memang tidak direstui oleh orangtua Reza, terutama Mamanya. Keluarga Reza merupakan keluarga yang terpandang. Tapi keadaan mereka berubah jauh ketika Papanya jatuh sakit.

"Sudah nih... Aku beri salep pereda nyeri dan melepuhnya dulu." Reza menarik tanganku sehingga aku dan tubuhku tentu saja, menjauh dari ruangan tersebut.

Huh! Nggak bisa lihat orang seneng nih orang. Aku baru saja bisa menikmati bercakap-cakap secara dekat bersama Mas Bupati, eh si nyeleneh ini sudah berdiri di tengah-tengah kami.

"Sini, tanganmu..."

Aku meringis ketika Reza mengoleskan salep luka itu di atas pergelangan tanganku yang melepuh. Rasa sakitnya luar biasa menyengat. Ternyata kulitku sudah melepuh dan berair sehingga terdapat gelembung-gelembung air di tengahnya.

"Nah yang seperti ini harusnya dicoblos jadi keluar airnya..." Baru saja Reza memperagakan gerakan mencoblos dengan jarinya. Tentu saja aku menjerit dan memalingkan wajahku ketakutan.

Reza tersenyum melihatku. Seriously, senyumnya itu sedikit kurindukan. Entah sudah berapa lama aku tidak melihatnya tapi itu membuatku mengingat aku sudah pada tahap fitting baju pernikahan kami. Dan gaun itu masih ada di lemari rumah lamaku. Aku menghabiskan seluruh tabungan masa mudaku untuk membuat gaun designer yang tercantik sebagai dream wedding dress-ku. Sebenarnya aku ingin menjualnya tapi entah kenapa aku menyimpannya.

Apakah ini pertanda aku akan bertemu kembali dengan mantan? Entahlah aku tidak pernah percaya pada sistem balikan dengan mantan.

Terutama kalau mantanmu sudah menikah. Meski ngomong-ngomong dimana istrinya? Aku tidak pernah melihat Hana sejak terakhir aku menyaksikan mereka menikah melalui unggahan di sosial media.

"Kau.. tahun ini 30 tahun kan..." ujarnya pelan. Aku tidak ingin menjawab. Sudah tahu nanya. Situ orang apa Dora the Explorer? Tanya mulu!

"Memangnya kenapa?" jawabku ketus.

Reza tersenyum kecil sambil menyeka tanganku yang basah oleh air keran dingin. Rasa panas masih menyengat disana.

"Kemarin Gita meneleponku. Dia ternyata berpacaran dengan Bagas, adik sepupuku dari Papa..." ujarnya perlahan sambil meratakan salep pereda nyeri di tanganku.

"uhmmm." Aku menjawab sekenanya.

"Gita bertanya kalau-kalau aku bisa kembali padamu. Dia tidak ingin melangkahimu, tapi dia tidak melihatmu memiliki seorang pacar pun," ujar Reza dengan gamblang. Aku melotot, lalu manyun.

"Apa-apaan sih Gita!" dengusku sebal. Maksudku ini kan sudah ranah pribadi, meskipun dia adikku. Tapi kenapa harus menurunkan derajat diri sendiri dengan berkata demikian pada orang yang sangat menyakitiku!"

"Dia hanya bercanda.. waktu dia berkata, seandainya Kak Reza dan Kak Gwen jadi menikah.. Kak Gwen tentu tidak menjadi gadis Kresek yang terlunta-lunta seperti saat ini." Reza menggedikkan bahunya. "hanya itu."

Tiba-tiba semua cuplikan kata-kata dan perlakukan Reza dan keluarganya terlintas di mataku. Yang seperti ini bisa-bisanya Gita minta dia kembali padaku. Aku buru-buru menarik lenganku dan hamppir saja mengacungkan jari tengah ke arahnya, sebelum itu terjadi aku mengacungkan telunjukku.

"Justru aku bersyukur tidak jadi menikah denganmu! Dengan begitu aku tahu bahwa kau tidak layak untukku!"

Dan aku ngeloyor pergi bak pahlawan kesiangan yang lupa pakai celana dalam ala Superman. Dalam hati, beuh, kok gue keren nih! Andaikan ada kamera muter yang mengambil ekspresi marahku dari segala sisi,mungkin akan lebih menyenangkan.

Sejenak aku lupa kalau luka bakarku sudah mulai "meletus" kembali.

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang