24. Mantan Calon Mertua

10 1 0
                                    

Kepalaku berdenyut-denyut nyeri. Bukan lagi karena bekas jahitanku yang barusan diganti perban. Tapi lebih ke berita yang dibawa Gita pagi ini ketika menjengukku di rumah sakit.

"Cik, sakitnya kan di jidat doang. Ngapain itu sampai sekarang masih rawat inap?" Gita sudah meracau pagi-pagi di kamar VIP ku yang tenang.

"Heh, Git, biarin aja. Cicikmu kan dapat fasilitas dari itu Mas Bupati. Biarin lah sesekali anggap aja staycation," ujar Mami, membantuku bangun dari tempat tidur.

"Jidat doank.. Nih..." Aku membuka selimutku dan lututku yang masih memar membiru disana. "Hasil rontgen sudah keluar dan ada otot yang mlungker atau apa gitu."

"Ah, akal-akalan aja tuh.. Biar dimanjain kan. Tuh mantan biar tiap hari kes—Mmmppp.." Aku buru-buru membungkam mulut Gita yang duduk di sisi ranjangku.

Mami yang sibuk menata buah di meja sebelah tempat tidur memandang kami dengan tatapan curiga. Aku dan Gita saling berpandangan. Jelas dari sorot mataku memarahinya karena terlalu banyak omong.

"Aku lihat cicik kemarin ngapain aja sama Reza!" bisik Gita di telingaku, lalu meleletkan lidahnya. Wajahku sontak memerah. Aduh!

"Mantan siapa yang dimaksud? Reza?" Mami buru-buru mendekat ke tempat tidurku. "Mama dikirimin lho dari grup arisan ibu-ibu dan grup senam Dasa Wisma. Video Reza menggendongmu itu benar-benar bikin ngiri ibu-ibu circle Mami. Mami ditanyain donk, kok nggak bilang-bilang kalau punya calon mantu ganteng gini.. Komandan polisi, ajudan bupati pula!"

"Trus Mami jawab gimana?" Gita memancing Mami yang semakin semangat bercerita.

"Ya Mami jawab.. Mereka udah lama pacarannya tapi putus. Nggak tahu ya kok tiba-tiba deket lagi.. Kalau jodoh nggak akan lari kemana!" Mami terkekeh bahagia. Belum pernah aku melihat Mami tertawa sebahagia itu sebelumnya. Apalagi akhir-akhir ini Mami bukan hanya kepikiran tentang acara pertunangan Gita tapi juga karena merasa sedih Gita harus melangkahiku.

"Mami..." pekikku tertahan. Antara gemas dan galau. Sepertinya sesimple itu Mami melupakan yang telah terjadi di antara kami semua. Meski sempat marah-marah tidak mengijinkanku dekat dengan Reza, tapi tiba-tiba tertawa bahagia seperti itu. Ah, aku semakin galau.

"Ya udah sih.. Balikan aja..." Gita bersiul kecil sambil menepuk pundakku. "Duda keren gitu..."

Yah, status Reza yang baru itu membuatku berpikir keras. Tapi apa masih relevan untuk zaman sekarang ini kalau aku terlalu khawatir tentang status seseorang? Apa aku terlalu kolot?

Baru saja aku menyanggah, tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar dan Gita buru-buru membukakan pintu. Tebak siapa yang datang? Mas Bupati? Bukan!

"Selamat pagi.. Maafkan saya pagi-pagi sudah kesini..." Suara renyah dari Nyonya Prabowo menyapa kami. Seperti sapuan angin muson di ruangan ini, tiba-tiba kami semua terdiam. Mami apalagi. Cuma bisa melongo.

Tentu saja Reza di belakangnya dengan senyum sopan menyapa Mami dan Gita. "Selamat pagi, Tante.. Gita.."

Giliran aku yang menelan ludah. Astaga. Apa yang kemarin terjadi saja masih tergambar jelas di ingatanku. Kini pria yang parfumnya masih melekat di tubuhku itu sudah datang kemari.

"Eh, Reza.. Mbak Santi," sapa Mami berusaha tersenyum meski aku tahu bagaimana perasaan Mami yang sebenarnya. Mami dan Mama Reza berpelukan dan bercipika-cipiki seperti layaknya dua sahabat yang lama tidak bertemu.

Sementara Reza mendekat ke tempat tidurku. Dia mendatangiku dan mengecek dahiku yang baru diganti perban. "Bagaimana? Masih sakit?"

Hmm, sejak kapan dia seperhatian ini? Ada apa sih nih orang-orang? Mau nge-prank?!

"Eh iya, sudah baikan. Ini tadi sudah diganti perban." Aku menjawab sesingkat mungkin, grogi.

"Baguslah. Lalu sudah bertemu dengan physio nya?" tanyanya kembali.

Aku menggeleng. "Sepertinya nanti siangan."

Mami dan Mama Reza mendekat ke arah tempat tidurku. Mereka lalu mengelilingiku seolah aku sakit parah saja. Atau mereka sedang bersiap untuk meng-exorcist-ku? Tahu kan semacam ibadat pengusiran setan yang dipakai orang Katolik.

Tapi itu bukanlah hal yang terutama karena tiba-tiba Mami dan mama Reza ada di ruangan yang sama. Mereka semua berkumpul, seolah ini hari yang sempurna dan penuh tawa. Padahal sejarah kami tidak seperti itu.

"Untung Reza langsung membawamu ke rumah sakit. Jadi kamu tidak akan kenapa-kenapa.." Mama Reza mulai berkata dengan gaya pongahnya. Aku melirik ke arah Mami yang menghela nafas.

"Mam.." Reza menyergah Mamanya untuk berkomentar lebih jauh.

Untungnya Mama Reza cukup paham akan hal itu. "Tante kesini untuk menjengukmu, Gwen. Dan sebenarnya ada yang ingin Tante omongkan juga kepadamu. Kebetulan juga ada Cik Debby dan Gita."

Aku memandang Mami dan Gita bergantiannya. Lalu mengangguk dan mempersilahkan Mama Reza mengungkapkan apa yang beliau ingin sampaikan.

"Saya ingin meminta maaf untuk semua yang telah saya lakukan pada hubungan kalian, dulu... dulu sekali. Saya yang salah karena telah mengorbankan Reza sebagai alat penghapus hutang perusahaan properti kami yang bangkrut. Saya uhm, meminta Reza menikahi Hana sebagai jaminan apa yang telah kami pinjam pada Papa Hana saat itu. Dan ..."

Reza berdiri tidak jauh dari sang Mama, tapi ini paling membuatku terkejut. Rahasia kenapa mimpiku langsung kandas kala itu.

"Dan Reza diminta masuk ke angkatan oleh pamannya. Karena itu Pamannya akan berjanji melunasi seluruh hutang kami kalau Reza mau masuk Kepolisian. Reza melakukannya untuk kebaikan-kebaikan kami."

Aku termenung cukup lama. Sebelum bisa membuka mulut dan bertanya, "lalu maksud Tante menceritakan semua itu sekarang apa?"

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang