6. Awarding Moment

15 2 0
                                    


Ketika ditanya "sudah move on atau belum?" jawabnya bukan sekedar kata "sudah" yang berarti memiliki hubungan baru, kekasih baru, melupakan kenangan-kenangan bersama lalu haha hihi seolah semua baik-baik saja. Lebih dalam dari itu adalah, "apakah kau memaafkan dirimu sendiri karena gagal menjalin hubungan? Apakah kau berdamai dengan keadaan dan berhenti mempersalahkan orang lain?" Move on tidak sesimple mencari yang penggantinya, buddy.

Bagiku Reza adalah masa lalu. Seperti halnya kita tidak akan tertawa pada humor yang dilemparkan dua kali, dan berapa kalipun kita membaca buku tetap endingnya tidak akan berubah. Nah begitu pula hubungan kami. Tapi lucunya, semesta seakan mulai memberikan punchline. Seperti tiba-tiba aku bisa satu mobil dengan mantanku itu. Demi apa?

Jadi ceritanya pagi ini dibangunkan dengan paksa oleh gedoran pintu kamar. Biasanya aku mengatur alarmku untuk bangun sekitar pukul setengah 6 pagi. Tapi karena aku baru tidur jam setengah 4 pagi, alhasil aku tidak menyetel alarm. Dan aku bertekad untuk tidak bangun kecuali Jung Kook datang melamarku. Tapi masalahnya yang ada bukan lamaran Jung Kook yang datang, melainkan Mami yang ngomel-ngomel.

"Gweeennn... bukannya pagi ini kamu ada upacara?" Mami sibuk menggedor-gedor pintu kamarku ketika dengan satu mata aku mencoba mengembalikan kesadaran dan melirik ke arah jam dindingku.

"Gweeeennn... bangun!!! Ini ada yang mencarimu!" suara Mami masih berisik dengan 10 oktafnya yang bisa membangunkan Beruang Kutub hibernasi.

"Gweeeennn... Reza bilang kamu harus segera datang. Penerimaan hadiahmu hari ini diserahkan Pak Bupati sendiri!"

Ketiga kalinya, nyawa tiba-tiba kembali dan membuatku meloncat dari tempat tidurku. "Hah? Mas Bupati? Penerimaan hadiah?"

Aku buru-buru melihat ponselku. Benar saja, 20 kali panggilan tak terjawab dari dua mahkluk pra-sejarah, Tiara dan Celpi. Dan satu lagi nomor yang tidak dikenal. Aku buru-buru membuka pintu kamar dan melihat Mami berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamarku. Rambutku awut-awutan dan daster yang kupakai punya lobang besar di bawah ketiak. Daster yang membuat aku kejar-kejaran sama Mami pasalnya Mami sempat mau membuang daster itu.

"Mamiiii.. kenapa nggak bangunin Gwen dari tadi siiihhh?" gerutuku sambil menggaruk kepalaku. Mami tidak menjawab malah melotot dan memberi isyarat dengan kepalanya.

"Hah? Napa lagi Mihh?" tanyaku cemberut. Mami bukannya menjawab malah memberi isyarat agar aku menoleh ke belakang. Aku mengikuti arah pandangan Mami dan benar saja, kejutan!

"R-Reza!?" Aku buru-buru menutupi bagian dasterku yang sobek dan menutup mulutku dengan sebelah tangan yang lain. "K-kapan kamu.. eh ngapain?"

Reza masih berdiri di tempatnya. Dia mengenakan kemeja putih dan jas hitam serta dipermanis dengan dasi merah. Dia tidak menjawabku malah memandang ke arah Mamiku.

"Permisi Tante, saya tidak bermaksud mengganggu. Saya kemari untuk profesionalitas dan saya menjemput Gwen karena sudah ditunggu Mas Bupati untuk menerima penghargaan "Creative Youth 2023" seperti yang telah disampaikan kepada Gwen seminggu yang lalu setelah acara Senam bersama Kader PKK." Suara Bariton Reza memang menenangkan. Bagaimanapun suara itu yang menemani tidurku selama nyaris 3 tahun tanpa jeda. Sleep call atau waktu itu namanya entah apa. Yang pasti aku masih ingat suara ngoroknya di akhir setiap telepon.

Mami yang biasanya ngomel dengan suara melengking, tiba-tiba tersenyum normatif ke arah Reza. Mami mungkin tidak ingin bersikap kasar atau terlalu baik. Mami hanya bersikap sebagaimana mestinya memperlakukan tamu.

"Terima kasih ya usah menjemput. Tapi kamu seharusnya tidak usah repot-repot lho. Sayang kalau seragam kamu kena debu masuk ke rumah kecil kami ini." Mami menjawab sambil menowel pundakku, mengarah padaku, Mami berkata, "Mandi buruan! Ditunggu Mas Bupati. Siapa tahu kamu bisa mendapatkan hadiah dan hatinya sekaligus!"

Aku berdecak kesal, "Mami!!" Tapi tidak membantah. Aku berjalan masuk ke kamar, setengah berlari menarik handuk dan alat mandi dan secepat kilat melaksanakan ritualku agar tidak bau jigong dan belekan!

***

Mimpi apa si Gwen ini. Dari sepanjang sekolah, aku tidak pernah menerima penghargaan yang sampai membuatku bertemu dengan Bupati. Jangankan Gubernur atau Presiden. Bener kata orang kalau semua ada masanya. Meski masanya nyaris expired karena tahun batas perlombaan itu usia 30 tahun. Tahun ini adalah tahun terakhir karyaku dipatenkan dan mendapatkan penghargaan "Creative Youth 2023" yang langsung diberikan oleh Mas Bupati. Kalau tidak karena Tiara yang mensupportku untuk mendaftarkan karyaku sebagai nominasi.

Dan hari ini aku berhadapan kembali dengan Mas Raditya. Suatu momen membanggakan bagiku adalah berdiri di depan idol crush-ku untuk di notice tapi dengan sebuah prestasi yang cukup signifikan. Hatiku yang berbunga-bunga dan siap-siap mengajak selfie beliau. Untuk itulah aku membawa ponsel sambil berjalan ke arah beliau, menunggu giliranku dipanggil.

"Gwen Kennedy, sebagai penerima penghargaan "Creative Youth" Kategori Karya tulis Fiksi Terbaik 2023. Untuk itu kami persilahkan Mas Bupati untuk memberikan penghargaan secara langsung." MC, seorang protokol yang aku kenal mempersilahkan aku maju ke arah Mas Raditya.

Aku sudah bersiap untuk menyodorkan kamera ponselku, ketika Mas Radit berkata pelan, "Lho.. kamu ternyata. Selamat ya.. Keren.. Tapi jangan lama-lama, gak pakai selfie."

Aku yang sudah bersiap dengan kameraku ternyata mendapatkan penolakan halus yang membuatku tersenyum kecut. Sepersekian detik kemudian, Mas Radit menepuk pundakku memberi semangat.

Kalau tahu yang namanya frostbite alias yang tiba-tiba mati rasa karena dingin, nah kurang lebih mungkin itulah aku yang biasanya bisa jumpalitan nggak berhenti, sekarang tiba-tiba kalem dan gemeteran. Aku tidak bisa merasakan kakiku menjejak tanah. Senyumnya Mas Radit membuatku lumer selumer-lumernya, di sisi lain sentuhannya di bahuku membuatku membeku. Sepersekian detik aku kehilangan kemampuanku untuk merasakan.

Aku berjalan dengan hati berbunga-bunga, lebih dari sekedar menang lotere. Jackpot! Senyumnya memang seindah itu. Belum lagi seragam jas hitam dan dasi merahnya yang dandy.

"Sudah menghalunya?" Suara itu kembali menggangguku. Aku mengernyit ketika sepasang tangan menarikku ke pinggir. "Sini. Kau lebih baik menunggu di ruangan beliau. Beliau ingin berbicara denganmu secara pribadi."

Aku jelas terbelalak. "Hah? Aku? Beliau? Siapa?"

Reza berdecak tidak sabar. "Kau ini.. Tidak berubah sama sekali lemotnya.. Beliau, Mas Bupati. Kamu diminta menunggu di kantor beliau. Ada proyek yang hendak diberikan kepada setiap pemenang "Creative Youth Award". Jelas sampai sini?"

Reza menggoyang sedikit bahuku, kedua matanya menatapku erat-erat. Aku melirik ke arah kedua tangannya yang berada di pundakku bergantian. Tidak ada cincin dimanapun. Ah mungkin dia tidak akan memakai cincin itu karena sedang bertugas.

Aku mengangguk dan menggedikkan bahuku perlahan. "Oke, mari kita ke ruangan beliau. Tolong tunjukkan jalannya."

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang