26. Keputusan Penting

12 1 0
                                    

Mereka bilang jodoh itu bukan di tangan Tuhan tapi di tangan manusia itu sendiri. Ada yang dengan berusaha, ada yang dengan pasrah saja. Ada yang dikatain sebagai pemilih sepertiku. Ada yang masih muda tapi bertemu dengan jodohnya lalu menikah tanpa drama.

Sekali lagi, jodoh itu kembali di tanganku. Aku yang memiliki kekuatan untuk menolak atau menerima. Reza kembali ke kehidupanku dengan statusnya yang baru. Bukan status yang aku benci darinya. Tapi bagaimana dia mempermainkan komitmen sehidup semati yang diucapkan di hadapan Tuhan.

Terakhir aku menerima hasil stalking Celpi dan Tiara tentang Reza memang benar adanya kenapa keluarga Reza meminta dia menikahi Hana kala itu. Hana sudah hamil di luar nikah dengan seseorang yang dia sendiri tidak tahu siapa. Sepertinya One night stand. Dia kelabakan ketika ternyata dia hamil. Dan bergulirlah cerita yang selama ini kukira hanya ada di novel-novel dan film. Begitulah Reza dan keluarganya lebih memilih mengkhianati janji untuk menikah denganku demi menyelesaikan masalah finansial mereka.

"Kalau menurut gue ya.. ini bukan Cuma utang biasa. Tapi semua kan bisa dibicarakan tanpa harus meninggalkan loe begitu aja kan?" ujar Celpi waktu itu. Aku termenung. Semuanya semakin buntu di pikiranku.

"Gini aja deh, Gwen.. Lo masih ada hati nggak sama Reza?" Tiara tumben sangat bijak. Mungkin kejadian Melvin jatuh sakit karena kelalaian Nanny nya itu membuat Tiara sekarang lebih menghargai kebersamaan dengan orang yang disayangi.

Aku memandang Tiara dan Celpi bergantian. Seakan di wajah mereka ada jawaban yang aku cari. Tapi aku tidak melihat apapun di sana kecuali tahi lalat Celpi yang sudah dari tahun Onta wacana akan di operasi, tapi tidak jadi karena kata Suhu tahi lalatnya membawa hoki. Kalau di wajah Tiara tentu saja ada skincare harus puluhan juta dari sang suami. Sudahlah, dibanding aku yang masih pakai skincare diskonan berburu di tanggal kembar pasti kalah jauh.

"Aku tidak tahu..."

"Kau pasti tahu Gwen. Hanya mungkin kau tidak ingin mengutarakannya." Tiara menepuk pundakku pelan, memberiku semangat untuk menyatakan isi hatiku.

Aku terdiam. Rasanya aneh, tapi aku berusaha jujur dari hatiku yang terdalam. "Aku sebenarnya.. sangat kecewa dan terluka akan sikapnya. Aku tidak ingin mengulangi hal yang sama lagi. Tapi.. aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Setelah ini pertunangan adikku dan aku pun harus segera memiliki pacar."

"Beb.. Itu bukan masalah. Kamu tahu kan kalau kakak tertua dari suamiku juga dilangkahi. Tapi dia baik-baik saja. Dia direktur muda dan sekarang sibuk keliling dunia. Live your own life, darling. Let them be.. percayalah, yang udah married kayak gue, pengennya masih lama melajang. Bawaannya kangen bisa jalan-jalan sendiri di Mall tanpa bawa rentengan, anak dan nanny. Enjoy your time, dear. Lo bakal nyesel kalau nggak loe manfaatin waktu lo sekarang."

Aku melongo. Celpi sampai ngiler. Ini kali pertama Tiara menjadi sangat bijak. Sepertinya makan asam dan garam kehidupan pernikahan merubah cara pandangnya akan hidup.

"Ti.. Gue nggak nyangka.. loe sebijak ini," sahutku, aku tahu mataku kini berkaca-kaca tapi biarlah. Aku memeluk Tiara dengan haru.

"Tahu nggak, Gwen. Kalian itu spesial banget di hidup gue karena kehadiran kalian mengalihkan gue dari kehidupan pernikahan gue. Iya, semua kelihatan perfect di luar. Tapi namanya rumah tangga itu tetap ada tantangannya. Saran gue, jangan pernah menikah karena tuntutan usia atau keadaan. Dilangkahi itu adat yang tidak mengizinkan, secara agama sepertinya tidak ada larangan. Namanya jodoh manusia ya. Tapi bener deh, cari suami kudu pelan-pelan. Jangan langsung ambil yang kamu suka tanpa pertimbangan. Keluarganya juga kudu dipertimbangkan. Kayak gue gini ya, masalah bukan dari gue atau Oscar tapi dari bokap nyokapnya Oscar. Kadang juga dari adiknya. Jadi tetap aja ada pergumulannya. Mending diukur dulu. Sekiranya keluarganya terlalu sulit, mending mundur deh. Kasihan lo ntarannya. Lo nggak bisa happy karena ada aja yang ngricuhin rumah tangga lo." Tiara mengajari kami panjang lebar. Aku manggut-manggut mendengar kuliah singkatnya itu. Sementara Celpi nyemilin styrofoam karena donat kentang yang dipesannya sudah habis duluan.

"Nah itu sih.. Semua terserah lo." Tiara tersenyum manis. "Eh ngomong-ngomong, bill nya bayarin dulu ya. Kartu kredit gue limit nih, habis dibuat beli Iphone 15 plus plus."

Aku dan Celpi berpandangan. Pura-pura tidak mendengar.

***

Begitulah hari ini aku memberanikan diri untuk menemui Reza di kantornya. Ya, kantor Bupati tempatnya sehari-hari bekerja kalau Mas Bupati tidak sedang kemana-mana. Aku ingat bagaimana aku ingin sekali masuk ke ruangan beliau. Tapi begitulah, kadang ketika kita melepaskan keinginan kita dan berusaha untuk menikmati apa yang ada, justru ada saja jalan terbuka.

"Gwen.. Ada apa kemari?" tanya Reza ketika menyambutku di ruang tamu di depan ruangannya.

Aku berdiri perlahan karena lututku masih sakit, meski tidak perlu sampai di gips tapi tetap memakai pelindung lutut.

"Aku.. Uhm, aku ingin mengembalikan ini Za..." Aku menyerahkan cincin yang ada di dalam kotak beludru. Ya, itu adalah cincin pertunangan kami. Aku masih menyimpannya. Mungkin ini salah satu tanda bukti bahwa aku benar-benar melepas Reza.

Reza menatapku dan kotak perhiasan yang aku ulurkan padanya. Tapi karena dia tidak mau menerimanya, maka aku meletakkannya di meja. Reza menatapku dengan pandangan bingung.

"Aku ingin kita berpisah baik-baik. Kalau dulu kamu meninggalkanku dengan alasanmu, aku mau bilang kalau sekarang aku sudah memaafkan dan melepaskanmu. Tapi maaf, aku tidak bisa menerimamu kembali. Ada hal-hal prinsip yang tidak bisa aku langgar dan itu menjadi keputusan bulatku. Semoga kamu mengerti hal itu. Kita kenal dan berhubungan baik-baik, maka kita berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing dengan baik-baik pula." Aku sendiri kaget mendengar perkataanku. Bisa sebegitu dalamnya yah. Wah, pasti ini karena aku sepanjang perjalanan mendengarkan sebuah lagu dangdut yang liriknya kurang lebih tentang berpisah baik-baik.

Reza termenung. Aku menunggunya bereaksi. Tapi sepertinya dia cukup bijak untuk tidak drama berlebihan di ruang kerjanya sendiri.

"Aku sudah menyatakan apa yang ingin aku nyatakan. Aku pamit ya, Za," ujarku, sesantun dan sebaik mungkin. Aku berdiri perlahan dan berjalan ke arah pintu.

Reza ikut berdiri dan memegangiku. Tapi aku menepisnya. "Tolong kau tidak perlu menjelaskan apapun."

Wih, aku sok kuat nih. Udah kayak wanita independent gini!

Tapi Reza berkata, "aku Cuma mau memastikan kamu nggak kesasar lewat jalan keluar."

Aku menelan ludah. "Ya udah kalau begitu."

Reza tidak berkata apapun. Hanya sesaat terakhir sebelum aku masuk ke dalam mobil di bantu Gita yang menemaniku tapi menunggu di mobil, Reza berpesan.

"Terima kasih Gwen pernah mengisi hidupku. Aku mencintaimu dulu dan sejujurnya sampai hari ini. Tapi aku tahu aku salah dan kau berhak mendapatkan yang lebih baik. Doaku selalu untukmu."

Dan kedua mata itu menatapku. Duh Gusti! Ini kalau semua perkataanku itu dicabut kembali bisa nggak sih? Ini beneran lho! Kan bisa aja aku cengengesan dan bilang, "hehe ini cuma bercanda kok Za."

Tapi tidak. Aku sudah berpikir masak-masak, dari masak nasi sampai masak telor. Sudah tapa brata sampai Tapa mutih. Ini jalan yang terbaik karena Reza sendiri sudah banyak red flags.

Hanya saja gaun pengantin itu tetap akan kugunakan sebagai bridemaid di pernikahan Gita. Kata orang, kalau dilangkahi sang kakak harus memakai baju pengantin yang sama dengan adik yang melangkahi. Oke baiklah!

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang