4. Mengejar Mas Bupati

26 3 0
                                    

Jangan pernah keluar rumah dengan seadaanya, sebagai anak gadis haruslah minimal mengenakan make up tipis dan baju yang layak. Itu adalah wejangan Emak yang selalu kuingat. Kenapa? Salah satu alasannya adalah mungkin ada seorang pangeran berkuda yang tiba-tiba numpang pipis di Minimarket sebelah rumah ketika kamu sedang membeli tissue dan tampon. Well, dalam kasusku adalah MAS BUPATI!

"Sudah belanjanya, mbak? Mau nambah 1 botol lagi susu kedelainya mbak lagi diskon. Atau mau nambah sosis telur-nya, mbak? Masih hangat." Sapaan yang biasa bagi semua kasir minimarket bagi setiap pengunjung. Dan tiba pada giliranku yang kutanggapi dengan menguap lebar-lebar.

Aku menggeleng-geleng mantap. "Nggak Mbak."

"Atau tambah susu balitanya, Mbak..."

Aku melotot. "Mbak, apa aku kayak ibu-ibu punya balita?" Aku menekuk wajahku dengan sebal. Dasterku berayun karena angin yang tiba-tiba berhembus. Aku kira ini semacam efek di film tapi ternyata seseorang berkemeja hitam dengan topi yang sangat familiar buru-buru membuka pintu.

"Mbak, nunut ke kamar mandi ya..." ujar pria itu, sambil buru-buru berlari masuk bahkan sebelum Mbak Kasirnya menjawab.

Aku masih tercenung sambil memastikan mataku tidak salah. Kenapa pria itu terlihat familiar? Apa karena aku tadi malam terlalu lelah lembur menulis update di novel onlineku dan memandangi foto Mas Bupati sampai aku terngiang-ngiang wajahnya.

Aha! Mas Bupati!

Pria itu sudah menyelesaikan panggilan alamnya yang tiba-tiba saat dia menghampiriku – menghampiri kasir, lebih tepatnya – sambil menyerahkan sebotol air mineral dan kopi botolan ke mbak-mbak kasir yang masih melongo.

"S-sudah mas? T-tidak mau nambah susu keledai.. eh keledai maksud saya kedelai? Lagi diskon beli 2 gratis 1..." Mbak Kasir itu terbata.

Mas Bupati menggeleng. Dia tersenyum. Ketika melihatnya dari dekat seperti ini membuatku sadar bahwa aslinya lebih cakep dibanding foto yang kupandangi tadi malam. Bahkan si Mas sempat menatap ke arahku dan tersenyum lembut.

Lembut banget kayak gula kapas yang lumer di mulut. Tanpa aku sadar, beliau menjentikkan tangan di depanku.

"Mbak.. Itu.." Mas Bupati yang memiliki name tag tertulis di sana "Raditya" itu menunjuk ke mataku. "Masih ada beleknya."

Dan aku spontan memalingkan muka. Ingin kuberkata kasar tapi aku ingat dan sadar diri bahwa aku bangsa lelembut. Sudah sepantasnya tidak berkata kasar. 

Pertemuan pertama ini sungguhlah tidak memikat!

***

Terlepas dari pengalaman memalukan waktu itu, aku bertekad kali ini menghadiri acara undangan dengan Tiara ini dengan sebagaimana mestinya. Aku bahkan menjahitkan sebuah kebaya kontemporer bunga-bunga agar terkesan classy dan elegant semacam ibu-ibu pejabat. Ini aku meniru dari sosial media para istri pejabat yang berlalu lalang di feeds-ku. Well, tidak harus menghalu berlebihan tapi alangkah baiknya jika pertemuan keduaku ini berakhir mengesankan.

Atau setidaknya itu ekspektasiku. Masalahnya, Tiara baru memberitahuku di pagi hari, setelah kami turun dari mobilnya menuju alun-alun kota.

Tiara mengernyit melihat aku yang ribet dengan kebaya dan selendangku yang terjuntai. "Gwen.. Uhm.. Kamu yakin mau senam bareng ibu-ibu PKK dengan kebaya?"

Saat itulah aku melihat ke sekeliling. Tiara nampak anggun dengan terusan panjang warna kuning lengkap dengan celana panjangnya. Tunik cantik dengan aksen batik di pinggirnya. Sementara aku, kebaya lengan panjang dan rok lilit yang menyusahkanku berjalan. Aku menelan ludah. Aku hendak berbalik pergi ketika Tiara menahanku.

"Eh, mau kemana?" tanyanya, menahan lenganku.

Aku menggaruk dahiku yang mengernyit kebingungan. "Uhm, sebaiknya aku lepas rok lilitnya. Aku pakai legging panjang jadi uhm, kurasa atasan kebaya kontemporer masih bagus untuk acara senam."

Tiara tidak lekas menjawab. Aku tahu dia juga merasa bersalah karena lupa menjelaskan detail acaranya adalah "Peresmian Program Ibu dan Anak Sehat oleh Kader PKK, disertai senam bersama."

"Baiklah, dari pada orang-orang melihat padamu seperti orang lagi pawai 17 Agustusan," pungkasnya lalu menunjuk sebuah toilet di dekat tempat parkir VIP.

Tanpa ba-bi-bu aku berlari menuju toilet tersebut dan segera merombak total busana yang aku pakai. Kebaya bunga-bunga ini cukup manis dengan rok lilit yang hanya menutup sampai batas paha dan diteruskan dengan legging hitam yang kukenakan. Aku melihat beberapa kelompok ibu-ibu Dharma wanita Persatuan nampak mengenakan kostum serupa. Baguslah, aku bisa membaur di antara mereka.

Begitu aku siap pergi dan mencoba membuka pintu toilet, yang ku alami sungguh di luar dugaan. Pintu toiletnya macet! Aku mencoba menggedor pintu tersebut sambil berteriak minta tolong, aku menarik-narik sekuat tenaga pintu kayu itu.

"Tolong... Ti...Tiara... Please.. Bukain.. Buka.." aku berteriak panik.

Saat aku berusaha menggedor pintu untuk kedua kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka.. bergeser dan terbuka...

Tampak seseorang dari luar sana membukakan pintu itu untukku. Aku melongo saat orang berkacamata hitam itu menunjuk sebuah tulisan kecil di sudut pintu.

GESER

Aku bahkan tidak sempat mengucapkan terimakasih karena orang itu sudah berlalu secepat kilat. Aku ragu kalau ternyata pria itu mungkin bukan manusia melainkan penunggu toilet Kantor Pemda. Hii, aku bergidik dan buru-buru lari menyusul Tiara yang sudah bergabung dengan timnya.

Aku terpaksa minggir ketika serombongan orang berseragam hitam mengawal seorang laki-laki jangkung yang sibuk melambai ke arah ibu-ibu yang sudah histeris.

"Waa.. Calon mantuku..." seru seorang ibu sambil mencoba meringsek maju dan mencubit pipi pria tersebut. Yup, siapa lagi kalau bukan Mas Raditya, Bupati muda yang sedang naik daun itu.

Di tengah pemandangan riuh rendahnya ibu-ibu yang menghadang rombongan Mas Raditya, aku sempat-sempatnya berpikir. Apakah Mas Radit pernah kekunci di kamar mandi kayak aku tadi ya? Mungkin dia lupa habis dari WC sambil bawa hape baca-baca postingan sosial medianya, lalu mau buka pintu lupa kalau pintu WCnya pintu geser.

Aku sama sekali tidak memperhatikan atau berusaha maju karena percuma saja, pasti kalah dengan ibu-ibu itu. Sehingga aku memilih menunggu di ujung panggung bersama pegawai-pegawai KOMINFO yang sibuk memotret Bos mereka. Sementara aku? Karena saking gabutnya, aku mencoba LIVE di salah satu platform sosial mediaku.

Ajaib! Sosial mediaku yang awalnya sepi penghuni bak kota mati, yang kalau aku upload story paling banter 200 orang yang lihat itu, kini tiba-tiba ramai. Semua orang menonton LIVE yang berisi konten Mas Raditya lagi senam bersama ibu-ibu PKK.

"Krak!" Tiba-tiba sebuah tangan menjulur melalui kepalaku dan menarik ponsel yang ku julurkan sampai ke atas kepala demi mendapatkan gambar yang terbaik itu.

Aku hendak protes dan berteriak kesal ke orang di sampingku. Tapi ketika aku menoleh, justru aku tercengang.

"Hai Gwen.. Long time no see..." ujarnya. Tanpa senyum di bibirnya, tapi aku tahu tatapan mata di balik kacamat hitam itu menembus jantungku begitu rupa.

"Reza?"

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang