9. Mantan VS Mami

14 1 0
                                    

Kata orang Jawa, melangkahi atau dilangkahi adik itu membuat kita semakin susah jodoh. Tapi karena aku blasteran Thionghoa, aku rasa hal tersebut tidak bisa diterima sepenuhnya. Masalahnya peranakan Thionghoa juga memiliki tradisi yang serupa. Jadi mau memakai adat manapun intinya kalau aku tidak segera menikah maka ya.. bisa jadi yang terburuk yang terjadi.

Tapi itu kan kata primbon Jawa dan Thionghoa. Saat ini aku mau mencoba percaya bahwa mendapatkan calon suami harus jelas bibit bebet bobotnya. Apa mau jadi drama ke sekian kalinya pula? Masih mending ketika berpacaran bisa putus. Lalu kalau sudah menikah apa seenaknya bisa cerai? Buatku sih BIG NO.

Masalahnya saat ini adalah kok bisa-bisanya Gita justru memberitahu Reza tentang pertunangannya? Maksudnya apa ini? Jangan-jangan si anak tengah itu sedang merencanakan ingin aku kembali padanya. No, BIG NO!

Pertemuanku kali ini tidak berjalan mulus. Apalagi kalau tidak karena Reza dengan penuh dendam menumpahkan kopi panas ke arahku. Aku tidak tahu apa dia memang dibayar untuk melayani pejabat publik tapi boleh seenaknya begitu?

"Tenang saja, kapan lagi kamu diantar langsung oleh ajudan bupati?" ujar Reza dengan penuh percaya diri, mencoba memundurkan mobil dinas yang dipakainya mengantarku dengan satu tangan ke belakang sementara tubuhnya mengarah ke belakang.

Aku menahan nafas. Pria ini tetap sama mempesonanya seperti saat kencan pertama kami. Well tidak sepenuhnya mempesona karena waktu itu justru aku yang lupa menaikkan retsleting rok dan kelepasan kentut gara-gara habis makan seblak sejam sebelum kencan. Aku harus menyalahkan kembali kedua teman ghaibku, si Tiara dan Celpi yang tega-teganya menculikku sejam sebelum aku pergi kencan untuk sekedar mencoba warung seblak baru di ujung jalan.

Tanpa aku memberi petunjuk arah pun Reza sudah tahu kemana harus mengantarku. Rumahku tidak pernah berubah sejak pertama kali dia mengantarku pulang. Dan begitu pula Mamaku ketika menyambutnya. Meski kali ini tentu sangat berbeda. Hanya ada dengusan dan pandangan sinis ketika Mami melihat Reza di depan pagar.

"Mih, aku pulang..." sapaku sambil meringis memegangi tanganku. Mami tidak menghiraukan anggukan kepala dan sapaan singkat Reza. Mami buru-buru melihat tanganku yang melepuh.

"Maaf ya Tante. Saya yang seharusnya bertanggung jawab karena menumpahkan air panas ke tangan Gwen." Reza menunduk, meminta maaf.

"Dikira anakku mie instans seduh apa pakai disiram air panas. Kenapa ga air keras sekalian biar jadi bonsai..." gerutu Mamiku yang jelas membuatku melotot.

"Ya ampun, Mami.. Tega banget sama anak sendiri," dengusku, tidak kalah ngambek di depan mami dan Reza. Sudah umur 30 ngambek? Apa itu umur.. umur itu hanya angka, katanya.

"Masalahnya Mami juga sudah sumpek lihat anak gadis tertua Mami malah suami aja belum ada. Pacar apalagi." Mami melirik tajam ke arah Reza, dan aku tahu percakapannya akan menjurus kemana.

"Coba waktu itu kamu sudah menikah. Tidak akan ribut-ribut lagi seperti saat ini. Tidak harus menumpang orang asing, suamimu bisa menjemput sekalian membelikan Mami brownies coklat," ujar Mami dengan suara lantang nan cempreng seperti biasanya.

Aku mencoba melirikk ke arah reza yang tersenyum getir. Dia tahu arah pembicaraan ini mengarah kemana. Tapi dia tidak menjawab sepatah kata pun.

"Sudah? Apa perlu dibayar ongkir kirimnya?" Mami menanyai Reza yang masih mematung di depan kami.

Aku menggeleng pelan. "Mih!"

"Apa?" Mami tiba-tiba nyolot ke arahku. "Besok kamu kan ada perkenalan dengan anaknya Cik Siu Lan. Itu si Edric yang suka cosplay jadi Jong Kok BTS..."

"Jooong kukk.. Mamiii..." ujarku gemas. Tapi Mami bukan yang pantang menyerah jika tidak membuatku keki.

"Iya siapalah itu yang ditindik di hidung. Heran itu cowok cakep-cakep malah pengen jadi sapi." Mami menoleh ke arah Reza yang urung pamit. "Udah, Tante males lihat kamu lagi. Kalau endingnya cuma mau menghina keluarga tante.."

"Mih..." sergahku. Aku buru-buru menarik lengan Reza untuk menuju ke arah pagar, mempersilahkan dia pulang.

Tapi Reza menahan langkah kakinya. Dia menggenggam tanganku yang masih ada di lengannya.

"Mumpung saya disini... perkenankan saya berbicara sedikit tentang kesalahpahaman kala itu, Te..." Reza mencoba membuka suara.

Mami terdiam. Dari gerak gerik Mami, beliau tidak percaya dengan perubahan sikap Reza. Mami mengamati Reza dari atas sampai bawah tanpa terkecuali.

"Mau ngomong apa?" sahut Mami sedingin-dinginnya es di kotak es balok si Kokom tetangga sebelah.

"Saya mohon maaf jika waktu itu saya telah menyakiti hati, Tante, Gwen dan sekeluarga.. saya tidak bermaks-..."

"Cukup!" Mami mengarahkan tangannya ke arah Reza. "Jika hanya kata-kata semu untuk meminta maaf, percuma. Karena yang kau lakukan adalah menyakiti kami dengan perbuatanmu. Dari situ kami sudah menilai kau tidak pantas berada di rumah tua ini. Sudah pergilah saja!"

Reza mencoba menjawab kembali, tapi aku buru-buru menariknya ke pagar. "Sudah ya.. kita bertemu lagi besok. Besok Mas Bupati mau bertemu denganku. Terima kasih sudah mau mengantarkanku."

Aku mengusir Reza, tapi itu lebih baik dari pada Mami kehilangan kontrol lalu ngamu-ngamuk kayak singa kelaperan. Aku mengunci pintu pagar setelah memastikan Reza sudah pergi dari rumahku. Saat aku berbalik tampaklah Mami dengan kemoceng ajaibnya berkacak pinggang.

"Aduh, sialan..." gerutuku pelan agar jangan sampai terdengar Mami.

"Buat apa ngajak dia balik ke rumah? Hah? Mau dikata-katain lagi keluarga Miskin? Penerima Bansos gitu? Apa nggak bisa cari gantinya yang lebih baik? Sudah besok pokoknya kamu harus mau ikut perjodohan dengan anaknya Cik Siu Lan!"

Aku Cuma bisa mengekor dengan langkah gontai mengikuti jejak Mami masuk ke dalam rumah. Alamat sudah harus berinteraksi dengan anggota BTS tower si Edric Jongkok.

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang