14. Blind Date

18 1 0
                                    

Menikah itu bukan pelarian dari segala hal yang mengecewakan hidup kita. Misalnya gebetan kita ternyata tidak suka sama kita, lantas kita mau menerima 'siapa saja' itu untuk menikah dengan kita demi mendapatkan status dan 'balas dendam'? Pikir lagi.

Aku paling anti dikenalkan dengan orang yang aku tidak suka baik secara fisik, terutama secara verbal. Aku suka berbicara dengan orang yang membuatku merasa didengar. Mereka memberiku ruang mengekspresikan kekesalan, kekaguman, semua hal. Aku merasa dicintai ketika seseorang membalas pesanku, memberiku sekedar emote love di setiap akhir percakapan. Aku merasa didengar ketika bercerita itu bahasa cintaku.

Masalahnya hal itu tidak ada pada Edwin. Oke, sebelumnya perkenalkan ini Edwin, Koko dari Edric anaknya Cik Siu Lan. Jika rencana Celpi menjodohkanku dengan Ernie gagal total karena si Ernie mau balik ke negaranya dan rencana Tiara tidak kunjung bisa dilakukan karena Mas Bupati lagi sibuk wara wiri keluar kota, maka Gita dan Mamiku memiliki satu kandidat lagi, yaitu Edwin.

Berbeda dari Edric yang suka cosplay jadi Jung Kook, Edwin guru sekolah minggu yang baik hati dan kalem. Menurut rekomendasi Gita yang mengenalnya dari kakak perempuan sepupunya teman kuliahnya, Edwin adalah orang yang tidak banyak omong. Tipikal cowok baik-baik yang bisa mengimbangiku yang dominan ini.

Mari kita coba si Edwin. Pertemuan pertama kami adalah Panca Date. Alias ada lima pasangan yang jalan-jalan dan nongki bersama. Yang pertama adalah kakak perempuan dari sepupunya teman kuliahnya Gita, bersama suaminya. Yang kedua dan ketiga adalah teman gereja Edwin yang sudah berkeluarga yang mengajak serta anak-anaknya. Lalu yang keempat salah satu pasangan muda mudi gereja di usia 25an yang sedang bucin-bucinnya. Kemana-mana digandeng. Bahkan ceweknya ke toilet saja ditemeni, ditunggu dari luar toilet cewek. Ya siapa juga mau ngintipin ceweknya. Lebih ke arah tawanan sih itu bukan lagi pacar.

Anyway, yang terakhir tentu aku dan Edwin. Dari awal perkenalan, Edwin sudah menunjukkan senyum terbaiknya. Dia tersenyum dan memperkenalkan diri.

"Edwin Go," ujarnya memberikan tangannya untuk ku jabat. "Panjangnya adalah Go.. Go.. Power Rangers!"

Aku nyengir. Dia sudah tertawa heboh. Baiklah, garingnya sampai ke tulang!

Kedua, penampilannya Edwin jauh sekali dari yang aku harapkan. Okelah tampangnya masih tipikal yang bisa diajak kondangan tanpa harus membekalinya dengan topeng Upin Ipin. Tapi baju yang dipakainya cenderung sangat apa adanya. Kami memang tidak sedang makan dan janjian bertemu di tempat mewah. Tapi café kami minimal cukup cozy. Dan hari ini penampilannya adalah kaos partai yang gambarnya sudah luntur.

Jelas dia tidak serapi yang aku inginkan. Sementara aku suka pria rapi dan wangi. Tentu saja ditambah dengan pria yang pengertian dan mau tahu keinginan wanita. Masalahnya yang model seperti itu semakin sedikit. Antara pria itu takut mengkonfrontasi ketika sang wanita bekerja, juga pria itu memang berpendidikan dibawah standar yang seharusnya. Jadi mau diberikan kesempatan seperti apapun, tetap pria-pria ini kurang bisa memimpin.

Eh kok jadi melantur.

Jadi intinya Edwin bukan termasuk idamanku. Terutama ketika dia mulai berbicara dan asyik sendiri tanpa memberiku jeda untuk bercerita.

Meskipun demikian, aku mencoba untuk memberi kesempatan kedua. Meski kencan buta kali ini cukup melelahkan. Bukan hanya karena Edwin yang mencoba melucu tapi aku jadi merasa terbully, tapi juga karena sikapnya yang kurang elegant dalam memperlakukan wanita.

"Maklumin aja, dia kurang pengalaman. Udahlah Cik, bagus juga dia seumuran." Gita tetap berusaha meyakinkanku untuk mencoba. Demi waktu yang singkat ini, okelah aku mencoba untuk membalas pesannya. Tapi semakin aku membalas pesannya semakin ilfil aku nyatanya.

"Tahu perbedaan kamu sama monyet apaa?" tanyanya dalam sebuah percakapan pesan.

"Apa?"

"Kalau monyet bisa mencari kitab suci, kalau kamu bisa mencari suami.. huahahaha..."

Heh? Ni orang sadar apa nggak sih ngomong gini? Pertama, aku disamain sama monyet. Monyet mencari kitab suci, maksudnya Sun Go Kong kan? Okelah minimal dia dewa kera. Tapi kok sensitif sekali membahas 'suami'? emang sepede itukah dia bakal aku mau sama dia?

Buru-buru aku block kontaknya. Aduh, nih orang nggak jelas deh! Aku jadi teringat ketika kemarin kami makan bareng di cafe dengan teman-temannya itu. Waktu aku balik dari toilet, aku dengar dengan jelas salah seorang dari mereka berkata.

"Santai saja. Dia nggak punya banyak pilihan. Toh dia sudah nyaris 30 tahun. Palingan dia juga mau aja sama kamu."

Dari situ saja aku sudah sakit hati banget. Hanya kalau bukan karena Gita yang membuatku bertahan, mungkin aku sudah menyuntik mati dengan Asam Sulfat pria sok iyes itu.

Sementara esok paginya aku, Mami dan Gita fitting baju untuk pertunangan Gita dan Leo. Di hari itu hatiku mencelos. Enam tahun yang lalu aku begitu bahagia bisa fitting dengan Reza. Lalu momen pre-wedding yang tidak terlupakan di Gunung Bromo dengan tema pangeran berkuda yang akhirnya hanya pura-pura dinaiki karena Reza trauma dengan kuda!

"Gwen, Mami minta kamu segera juga mencari calon. Si Edwin itu lumayan lho. Cik Siu Lan itu baik orangnya. Ntar kalau tidak mau tinggal di rumah mereka ya kamu beli rumah sendiri. Mengingat kebiasaanmu tukang kentut suaranya kayak meriam tempur gitu, Cik Siu Lan pasti jantungan." Di sela-sela fitting pun Mami masih sempat memberi nasihat.

Aku menghela nafas. Lelah dengan semua nasihat yang sama dan diulang-ulang. Sudah malas rasanya menjawab apapun itu permintaan Mami. Kalau dirasa-rasa, dilangkahi tidak buruk juga. Istrinya Kaesang juga melangkahi kedua kakaknya. Mereka melakukan serangkaian upacara adat. Mungkin untukku bisa ditambah dengan ruwatan.

"Mami itu dari usia 20 sudah menikah makanya kamu umur segini Mama Papa masih muda dan kuat. Nah kalau kamu begini nanti punya anaknya susah lho.. bagaimana nanti masa produktifnya.. banyak hal kan yang harus diperhatikan. Cinta itu akan datang dengan sendirinya. Nggak perlu cari yang kamu cinta banget.. biasa aja.. kayak Mami dan Papi lho..." ceramah Mami makin panjang.

Mamiku itu bucin sebucin-bucinnya sama papi. Dibilang nggak cinta-cinta banget? Ah, aku merasa jiwa melankolisku ini karena mamaku lagi mellow banget waktu hamil aku. Talentku menulis itu juga pure dari mami. Mami sangat suka menulis hal-hal yang puitis dan melankolis. Dan sekarang Mami bilang tidak perlu mencari yang suka banget? Hanya gara-gara usia?!

"Mami itu kan..."

"Halo.. Halo.. Eh, iya..." Aku mengambil ponselku dan menelepon Tiara. Aku mengkode Mami untuk meminta waktu menjawab telepon. "Iya Ti.. Iya, aku ikut. Badminton kan? Jam 4? Oke-oke.. bentar lagi aku otw.. momong Melvin dulu? Oke gampang. Iya.."

Aku menutup teleponku. "Mih, Tiara ngajakin main badminton. Bye mi!!"

Aku buru-buru ngeloyor pergi sebelum Mami sadar kabur!

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang