20. Launching City Trans Bus

12 1 0
                                    

Aku tidak tahu bagaimana lagi harus menutupi rasa malu karena ketidaktahuanku. Buatku batas-batasku sudah jelas. Aku tidak akan menginginkan milik orang lain. Entah itu pacar apalagi tunangan. Jadi sudah pasti aku tidak akan menaruh perhatian lebih pada milik orang. Belajar dari nilai hidup Emak, aku tidak ingin menyakiti orang lain karena baik dan buruk yang kulakukan nantinya akan kembali kepadaku juga.

Aku termangu memandangi laptopku. Moodku untuk menulis sudah hilang. Sudah satu jam aku duduk menatap senja di café favoriteku untuk menulis. Sebuah café di kaki bukit yang memiliki pemandangan kota dari ketinggian. Bagiku yang sangat suka pemandangan alam dari ketinggian, café bertajuk Suraloka ini menjadi tempat penuh inspirasi dan relaksasi. Tapi tidak kali ini.

Apa aku perlu dirukyah ya? Apa peleburan dosa? Atau apa gitu yang menghilangkan sial dari kisah asmara yang tidak pernah beres. Biasanya sih aku bisa bilang "Gwaenchana" alias aku baik-baik saja. Tapi semakin dekat hari pertunangan Gita, aku semakin galau. Bullshit kalau aku tidak takut dan khawatir. Bagaimana kalau ternyata aku sama sekali "tidak laku" nantinya?

"Kringg...." Ponselku yang berdering pun nyaris tidak kuperdulikan. Sampai pramusaji yang mengantar pesananku mencolekku.

"Mbak, ponselnya bunyi lho."

Aku tergelagap lalu menatap Mas pramusaji dengan cengo. Sampai dia harus mengulangi kata-katanya yang membuatku ngeh.

"Oh.. Maaf.." Aku menyahut ponselku dan melihat nama Sidney di layar.

"Hai.. Sorry, aku uhm, di cafe ini." Aku mengucek mataku yang sedikit berair. "Bagaimana?"

"Besok ada waktu nggak?" tanya Sidney dari ujung sana.

"Ada rapatkah?" tanyaku, seperti kebiasaan EO kami kalau Sidney tiba-tiba mengajak bertemu berarti ada sesuatu yag penting.

"Ada undangan dari Mas Bupati. Tapi aku malam ini harus keluar kota. Besok tolong diwakili ya untuk Launching City trans yang videonya digarap management kita."

Seperti angin surga menyapaku. Mas Bupati? Ketemu lagi donk kita besok. Meski tidak terlalu banyak harapan untuk bisa kenal dekat dengan beliau tapi memandang beliau in person sedikit banyak membuatku bersemangat.

"Oke. Siap. Jam berapa? Dress code apa?" tanyaku sejelas mungkin dari pada salah kostum seperti waktu itu. Mending siap-siap dari sekarang.

"Formal biasa aja. Kemeja batik boleh. Nanti ada city tour naik bus bareng Mas Bupati gitu. Jadi persiapkan diri saja."

"Siap!" ujarku dengan penuh semangat, sambil membayangkan baju mana yang akan kupakai. Harusnya tidak akan sulit karena aku memiliki beberapa koleksi batik khas daerahku yang biasa aku jika harus terjun sebagai penerima tamu atau MC dadakan. Nah saatnya memakainya.

Setelah selesai berbincang dengan Sidney lengkap dengan pembahasan tentang bagaimana kelanjutan proyek film, aku menutup teleponku. Tiba-tiba moodku naik dan aku menyelesaikan lebih dari satu chapter untuk novel onlineku.

***

Pagi yang indah, matahari bersinar cerah. Ayam jantan berkokok dan burung-burung gereja bercuitan riuh rendah. Tetangga para biasa sedang bergibah. Aku menyapa mereka hanya karena formalitas karena tahu di balik itu mereka sedang membicarakanku.

Narasi yang sama setiap hari.

"Heran ya, mau dilangkahi adiknya tapi biasa aja tanpa beban?" ujar si tetangga A.

"Apa jangan-jangan sudah pernah?" ujar si B yang makin julit.

"Pernah apaa?" si C yang masih lugu bertanya-tanya.

Aku yang mendengarnya dari kejauhan Cuma bisa menggeleng-geleng. Kadang ya, menjadi single di usia yang tidak lagi muda adalah tantangan tersendiri. Menjadi celaan tetangga itu nomor sekian. Mereka tidak tahu kalau pria sesuai kami menginginkan seseorang yang lebih muda dan pria di bawah kami tentu terlalu muda bagi kami. Pria yang di atas kami? Tentu lebih banyak mereka yang sudah menikah. Yang belum menikah beberapa red flags men. Now, it's getting harder to get a man.

Tapi sudahlah, mereka juga tidak peduli. Yang ada di pikiran mereka kan, pria banyak dimana-mana ada. Iya, banyak. Tapi bagaimana dengan akhlaknya? Finansialnya? Katanya aku kebanyakan milih. Well, masalahnya yang bisa dipilih aja nggak ada. Dan yang aku pilih, biasanya tidak pernah memilih aku balik.

Di tengah segala pemikiran yang carut marut itu aku berangkat menyongsong acara Launching City Trans. Sebuah gagasan dari Mas Bupati untuk membantu transportasi di perkotaan dan kecamatan. Sesuatu baru dan segar tentu saja karena membantu banyak orang.

Setibanya disana, beruntungnya aku karena tidak perlu adegan terkunci di kamar mandi, atau tersiram air panas lagi. Seorang protokol mempersilahkanku duduk di salahh satu bangku yang disediakan bagi tamu undangan. Wih, biasanya yang intip-intip dari kejauhan sekarang jadi tamu undangan beneran. Mimpi apa yah aku semalem?

Eh, wait aku mimpi digigit ular. Kata Emak sih, mimpi kayak gitu artinya deket jodoh. Aduh-aduh, jadi makin meriang ini membayangkan siapa yang akan kutemui hari ni. Siapa lagi kalau bukan Mas Bupati!

"Mas Raditya memasuki tempat terselenggaranya acara. Hadirin dipersilahkan berdiri!" seorang MC dari Protokol mempersilahkan para tamu untuk berdiri. Tepat di saat itu Mas Radit masuk dan menyalami satu persatu tamu di baris depan dan kedua.

Aku kebetulan di bangku kedua! Dan senyum mengembang ketika tangan kami akhirnya berjabatan.

"Lho, Gwen... Datang juga? Terima kasih ya sudah datang."

Dan suara itu terdengar sangat lembut menyapa telingaku. Ini orang terbuat dari apa ya? Kok bisa semanis dan selembut ini?

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang