Dalam sebuah cerita kita mengenal yang namanya alur, klimaks dan anti-klimaks. Kalau biasanya kita mendapati klimaks dari semuanya itu perumitan masalah yang utama, lalu perlahan mulai ada titik terang. Tapi di kisah hidupku sepertinya semuanya klimaks yang tidak berujung.
Buatku ketika Reza memilih pergi dan aku sudah move on artinya aku sudah tidak akan membuka kembali cerita tentangnya, apapun keadaannya. Entahkah ada alasan di balik semua kejadian di masa lalu kami, tapi bagiku masa lalu adalah masa lalu. Biarkan itu semua menjadi sejarah yang berharga.
Pengakuan, permintaan maaf dan restu yang tiba-tiba diberikan oleh Mama Reza itu mengejutkan. Jika itu terjadi setahun setelah aku putus dari Reza itu mungkin bak oase bagiku yang depresi. Tapi hal itu sudah tidak berarti apa-apa lagi. Aku butuh sendiri. Jauh dari kericuhan mereka yang datang dan pergi tanpa permisi. Seenaknya sendiri pergi dan seenaknya sendiri datang. Emangnya aku terminal bus?
Ngomong-ngomong soal bus, hasil dari jatuh kemarin ternyata lebih parah dari dugaan. Ada salah satu uratnya yang terjepit sehingga akan sangat sakit kalau dipakai jalan, terlepas luka-luka jahitanku sudah sembuh. Hufh, mencoba bus berujung petaka.
Mungkin petaka itu tiba-tiba menjadi berkah terselubung ketika aku sampai di klinik physiotherapy yang disarankan oleh dokter, tebak siapa yang aku temui disana?
"Ernie, is that you?" Aku nyaris terpekik kaget karena siapa yang aku lihat disana. Kami ada di satu ruangan tempat para atlit melatih kembali persendiannya.
"Gwen.. Hi.. What's up?" Ernie tersenyum padaku, selama seorang Physio nurse membimbingnya melakukan beberapa gerakan dasar.
"Well, little accident. What happened with you?" Aku memperhatikan bagaimana dia berlatih perlahan untuk meningkatkan kekuatan kakinya.
"Broke my ligament from the last match." Ernie nyengir membalasku. Oh pantesan aku tidak melihatnya di pertandingan-pertandingan terakhir. Mungkin dia sudah dalam pengobatan.
Kami berpisah untuk melakukan terapi kami masing-masing. Aku tidak terlalu memusingkan harus basa basi apa pada Ernie karena aku sama sekali tidak berharap ngobrol dengannya. Tapi ternyata dia berada di dekatku ketika sesi selesai dan kami sempat berbincang-bincang.
"Long time no see.." ujarnya. Aku mengangguk, duh, mau ngomong apa lagi ya? Masa aku harus bertanya, apa kabar pacarmu yang suka stalk aku? Atau, kira-kira kalian ada rencana kewong atau malah putus?
Yang terlempar dari mulutku hanya, "Been good.. all good, but yeah, injured a little."
"Haha.. how come?" Dia masih sama seperti yang dulu. Selalu baik hati dan ceria. Aduh, coba kamu sudah tidak punya pacar.
Aku menjelaskan bagaimana aku bisa jatuh karena kecelakaan itu dan kronologi singkatnya. Arnold atau yang biasa aku panggil Ernie tertawa mendengar ceritaku.
"You're so clumsy," ucapnya, membuatku tertawa kecil, dengan sentuhan di kepalaku itu membuatku sedikit malu-malu.
"So, when will you leave?" tanyaku karena dia bercerita akan balik ke negara di off season ini.
"Next month, I guess. After I've done the medical treatment," sahutnya menatap kakinya yang sudah cukup kuat.
"Well, I'll miss you then..." ujarku tersenyum simpul.
"You're not missing me now?" celetuknya, dia memang orang yang paling suka bercanda selama aku mengenalnya.
"Should I? your girlfriend will be angry with me." Aku mengedikkan bahuku.
"My ex? We broke up 2 months ago," jawabnya dengan wajah tersenyum tapi terlihat sekali dia terpaksa.
"So sorry..." Aku bahkan tidak tahu harus bahagia atau sedih mendengarnya.
"Never mind. Distance." Dan aku paham maksudnya dia dan mantannya berpisah karena jarak di antara mereka. Thailand dan Indonesia, yah, lumayanlah ya. PP tiket pesawatnya bisa buat makan sebulanan lebih kan tuh.
Keheningan jatuh di antara kami. Ini terasa aneh karena biasanya kami sangat suka bertukar cerita. Dia bisa bercerita apapun tentang kehidupannya. Aku tinggal memancingnya sedikit dan dia bercerita panjang lebar. Satu hal yang kusuka dari Ernie, dia menyukai apa adanya. Aku belum pernah merasa insecure di depannya. Dia menyukai gadis sederhana, agak tomboy dan pencilakan. Jelas ini aku banget!
Apalagi pintu terbuka lebar untuk kembali mendekatinya.
"Gwen.." sapanya, aku menoleh. Ternyata dia sudah berdiri dan bersiap akan pergi karena jemputannya sudah tiba.
"Are you free tonight? There's a good movie I want to watch. Wanna come along with me?" tanya Ernie yang membuatku asli melongo.
"Hah.. I mean.. I think yeah, I'm free.. but I can't go anywhere alone." Aku memandangi lututku dengan sedih.
Ernie tersenyum lagi, "Aku akan jemput kamu jam 7. Okay?"
Dan aku yang giliran makin kaget karena Ernie tiba-tiba berbahasa Indonesia meski dengan logat yang masih aneh. Tapi aku suka mendengar suaranya. Aku tersenyum dan mengangguk.
Ernie tampak bersemangat dan dia melambai padaku sebelum berjalan ke mobil jemputannya dari club. Aku tersenyum membalasnya tapi dengan pikiran yang ruwet. Apa-apaan ini? Kemarin Reza, sekarang Ernie. Jadi apakah aku harus memilih?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwen-chana [Season 1 Completed]
RomanceGwen-chana Namanya Gwen dan dia cewek terdrama yang pernah hidup di dunia. Kata orang Jawa tipikal "ora nduwe udel" alias tidak pernah punya rasa malu dan rasa capek. Gwen disukai teman-temannya karena sifatnya yang tidak mudah marah ketika diajak...