-🌤-
.
.
Lutut Senja seketika tak bertenaga saat matanya menangkap jelas siapa sosok lelaki tinggi yang kini tengah berdiri tepat didepannya. Menatapnya intens dengan aura tak terterjemahkan.
Tadi, pagi-pagi sekali, saat semua karyawan perusahaan masih belum berdatangan, Senja dan kepala divisi bernama Sabda yang barusan dibicarakan Nadine, Marlo dan Juki sudah bertemu. Dengan momen pertemuan yang tentunya tak Senja harapkan untuk terulang kembali.
Tak ada bedanya dengan Senja yang masih terkejut dan mencoba mencerna dengan baik kenyataan yang kini tengah menyapanya, Sabda pun tengah berjuang mati-matian menahan perasaan terkejutnya.
Sabda tak takut, tentu saja. Di ruangan itu justru dirinyalah yang punya kekuasaan paling tinggi, tidak Novita apalagi Marlo. Pria berhidung mancung itu hanya sedang kesal, bukan takut. Hatinya terasa sesak saat mengetahui bahwa gadis yang membicarakannya barusan adalah orang yang sama dengan yang tadi pagi-pagi sekali mengancamnya tanpa tahu sopan santun.
Sabda membenarkan lengan kemejanya yang masih rapi, mati-matian berlagak kalau ia tak terkejut. Tak hirau dengan semua mata yang kini tengah mengamati wajahnya.
Sambil terus mempertahankan tubuh tegap yang ia atur sedemikian sempurna, Sabda yang sebenarnya sungguh tak menyangka akan bertemu lagi dengan Senja akhirnya bersuara untuk pertama kalinya setelah bisa berdamai dengan rasa terkejutnya, kalimatnya jelas mengultimatum Senja tapi matanya tajam menatap ke arah Novita, "saya datang ke ruangan ini sehabis rapat karena ada beberapa hal yang harus saya cek langsung. Tapi mengingat keadaannya begini, maka lima menit dari sekarang saya tunggu siapa pun di antara kalian yang datang ke ruangan saya untuk menjelaskan apa pun yang bisa dijelaskan."
Marlo dan Juki serentak menelan ludah, takut-takut berani menatap ke arah Novita.
"Begini Pak Sabda, sebenarnya dua gadis yang ada di ruangan ini bukan pengunjung, mereka— mereka—," Novita berusaha menjelaskan, memainkan jemarinya demi meredakan kegugupan. "Mereka adalah—"
"Jelaskan nanti di ruangan saya. Apa kamu tak mendengar ucapan saya tadi, Novita?" Sabda memotong cepat kalimat Novita yang belum tuntas tersampaikan. "Saya tak memintamu untuk menjelaskannya di sini."
Sabda berlalu tanpa melihat lagi ke arah para karyawannya usai kalimatnya tuntas terutarakan. Membalik badannya dan meninggalkan ruangan Novita sambil mengepal erat sepuluh jemari tangannya. Menahan entah apa yang ditahan.
...
"Kenapa dengan Pak Sabda pagi ini? Apa dia belum sempat sarapan? Atau orang tuanya sakit?" Nadine melenguh panjang, mengurut pelipisnya kasar. Bertanya pada dirinya sendiri dengan mengeraskan suaranya, "Pak Sabda kok mendadak mengerihkan gitu ya? Biasanya penuh maaf dan ramah senyum."
Marlo reflek memperagakan gerakan muntah usai mendengar kalimat Nadine. Lalu mencibir ke arah Juki untuk mengajak karibnya itu ikut menertawakan Nadine.
Namun Puji yang sedari tadi tak banyak bersuara, dalam keadaan seperti itu diam-diam mendekatkan wajahnya ke wajah Senja, lalu berbisik dengan hati-hati, "kita belum mulai loh Ja, baru juga mau masuk ruangan. Mulutmu membuat semuanya mengkacau 'kan? Aku kode juga apa tadi, diam aja udah."
"Ya mau gimana lagi Ji, aku nggak tau bakalan jadi begini." Senja balas berbisik. Menatap Puji dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku mana nyangka bakalan ada bapak itu di belakang kita. Lagian niatku baik kok, biar kita bisa cepet akrab ama Pak Marlo dan yang lain, nggak ada tujuan jelek. Sungguh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Non-Fiction[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...