Keping 12 : 'Iya'

142 15 3
                                    

-🌤-

.

.

Selama ini, bagian yang sering terabaikan dalam hidup adalah bagaimana hebatnya cara Allah menyediakan, mendekatkan bahkan memberikan langsung kesempatan-kesempatan untuk menapaki jalanNya.

Sayang, karena dangkalnya rasa, kurangnya peka, hari-hari dibiarkan berlalu begitu saja tanpa bisa menghisap jutaan berkah yang ada.

Rutinitas hidup menjadi alasannya, tanggung jawab kerja menjadi alibinya, dan yang terparah dari semua itu adalah membuat pembenaran bahwa hati masih belum merasa terpanggil untuk datang memapah kepadaNya.

Masih muda. Masih bertenaga. Masih ingin buktikan segala. Masih mau rasakan semua. Untuk memahami ilmu agama, ah nanti-nanti sajalah, toh taubat ada masanya.

Lalu bagaimana jika Allah sudah berkehendak walau hati sama sekali tak pernah merasa siap? Ya tentu saja apa yang Allah inginkan, itu yang akan terlaksana. Seperti malam ini misalnya, Senja sudah rapi dengan setelan tertutup dan sopannya. Berjilbab anggun, berpakaian santun dan berdandan seadanya, tanpa bulu mata palsu, tak pakai perona pipi, benar-benar menihilkan wewangian.

Bahu gadis manis itu naik turun tak karuan. Ia tak bisa lagi terus berlagak sok santai setelah tahu bahwa sebentar lagi dirinya akan berjumpa dengan orang tua Sabda, si atasan ahli eksploitasi rasa yang baru ia kenal.

Sejak Sabda memberikan alamat rumah kepadanya sebelum pulang dari kantor, sejak itulah Senja merasa kalau hidupnya kini bukan lagi miliknya.

Tapi sungguh ia tak bisa berbuat apa-apa setelah Sabda menganggap diamnya sebagai sebuah persetujuan. Apa mau dikata, gadis manis itu memang butuh uang, butuh tempat tinggal, dan butuh semua yang Sabda tawarkan.

Jika status magangnya berubah, tentu ia akan mengurangi jam kerja paruh waktunya. Atau menyetujui saran Sabda untuk mengundurkan diri dari The Golden Shine.

Lihatlah malam ini, permintaan Sabda yang tak bisa ia tolak karena uang, membuatnya libur kerja sebagai pramusaji. Dan entah mungkin tak akan pernah masuk lagi jika Sabda benar-benar membuat Robi memberhentikannya.

Senja berangkat sendirian, naik taksi online. Dan sesuai kesepakatan baru hanya akan bertemu Sabda di tempat tujuan.

Setelah seharian letih menepis banyak pertanyaan rekan kantor yang datang padanya karena penasaran apa yang Sabda katakan, ingin tahu apakah Sabda marah atau tidak, malam ini Senja harus menahan letih dua kali lipat karena ia mesti menemui ibunda Sabda dengan misi penyampaian bahwa ia adalah wanita yang akan Sabda nikahi.

...

Senja keluar dari kontrakannya sekitar pukul tujuh malam, dan kini, setelah lima puluh menit dalam perjalanan, Senja benar-benar berdiri di depan pagar rumah Sabda. Gemetaran. Nyaris ingin buang air kecil.

Tapi setidaknya, meski merasa gemetaran, gadis itu mendapat penghiburan dari penampilannya sendiri saat ia melihat pantulan bayangannya pada logam pagar rumah Sabda.

Sudah lama sekali rasanya ia keluar malam tak mengenakan jilbab. Ia selalu saja berdandan habis-habisan saat menghabiskan malam di The Golden Shine.

Pertemuan singkatnya dengan Sabda ternyata memberikannya sebuah kesempatan yang berbeda. Ia tak harus berdandan dewasa lagi, dan tak diminta untuk melepas tudung kepalanya lagi.

Ada rasa terima kasih samar di dada Senja saat ini, tapi ia tak tahu kepada siapa rasa terima kasih itu harus ia alamatkan.

Senja mengetuk pelan gerbang logam rumah Sabda, bersuara keras sambil mengucapkan salam usai ia berhasil berdamai dengan rasanya sendiri.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang