Keping 21 : Berterima Kasihlah

88 13 8
                                    

-🌤-

.

.

Puji benar soal perkataannya. Ruangan kerja Senja, tempat di mana Novita, Nadine, Marlo dan Juki mengais rezki di dalamnya mendadak berubah arah kesibukan. Jika sebelumnya penghuni ruangan itu berkutat dengan layar komputer dan lembar kertas saja, maka pagi ini aktivitas normal itu terupgrade tanpa bisa dicancel.

Bukan hanya sebagai kepala subdivisi, Novita rangkap menjadi ketua interogasi. Mengunci Senja dengan banyak pertanyaan kepo. Dan jangan lupakan soal Nadine, gadis seperempat bule dengan proporsi tubuh semampai itu menjadi yang terdepan mendesak Senja. Untung Juki dan Marlo—meski sangat ingin tahu apa yang terjadi cukup bisa menahan diri. Mereka berdua menolak secara sadar untuk mendalami peran gosiper handal, takut kebablasan jadi ahli ghibah soalnya.

"Khya Senja Rahayu, gigit lidahmu kalau seandainya kau berdusta." Novita memegang segulungan kertas. Menepuk-nepuknya kasar ke telapak tangan. Sempurna meniru kepala rombongan tawuran tingkat bocah ep-ep yang gagah berani. "Kau apakan Pak Sabda sehingga beliau mau meminta maaf atas kesalahanmu, hm? Mana di tengah banyak orang lagi. Jelas-jelas kau yang membuat kegaduhan di dalam rapat, kenapa Pak Sabda malah ikut-ikutan menanggung beban dari celetukan asalmu?"

Senja tahu ini akan ia alami dihari pertama usai peristiwa rapat berlalu. Mata gadis pemilik senyum menggugah kesadaran itu menyipit. Berpikir keras agar tak keliru memberikan jawaban.

"Jangan bilang padaku kalau kau dan Pak Sabda sebenarnya ada hubungan khusus selain hubungan di tempat kerja." Nadine memotong cepat. Rok rimpel pastel sebetis miliknya berkibar lembut saat ia melangkah mendekati tempat duduk Senja. "Aku sudah berusaha semalaman suntuk untuk tak berpikiran yang aneh-aneh, Senja. Tapi kenapa keadaan kemarin itu membuatku merasa ada yang aneh di antara kalian berdua?"

Posisi Senja saat ini sebenarnya sama sekali tak menguntungkan. Di meja kerjanya, ia di kepung empat orang senior tanpa diberi jeda untuk bisa bergerak bebas. Bahkan Puji dipaksa duduk diam di sudut timur ruangan agar Senja tak mendapatkan pembela.

Sejak peristiwa rapat kemarin Senja belum berjumpa dengan Sabda. Gadis itu langsung pulang ke kontrakannya usai jam kerja berakhir. Sementara Sabda, tentu Senja tak ingin mencari tahu apa yang dilakukan pria itu. Akan pecah peperangan antar kampung jika Senja memaksakan diri menghadap ke ruang kerja Sabda.

"Kenapa kau diam saja, Senja? Apa pertanyaanku dan Mbak Novita barusan amat susah untuk dijawab?" Nadine menaikkan nada bicaranya. Matanya melotot tak tanggung-tanggung.

Juki yang ada di sebelah Nadine mencoba menenangkan rekan kerjanya. "Tenang dikit napa Nad. Si Senja bukan tersangka curanmor. Dia juga nggak abis bangunin polisi tidur di gang sebelah. Nanyanya jangan pake urat kecentet ya. Tenang bisa 'kan tenang?"

Nadine menatap sinis ke arah Juki. "Kita nggak sedang berada di posisi yang sama Juki. Kau tak akan pernah tahu apa yang aku rasa."

"Tapi Nad, Juki nggak salah juga. Kalau kau mendesak Senja seperti itu, justru kami nanti yang merasa kalau kau yang sebenarnya punya hubungan spesial dengan Pak Sabda." Marlo pantang ketinggalan menyanggah. "Kau terlihat seperti korban perselingkuhan yang menuntut keadilan soalnya."

Nadine terkekeh pelan. Mencebikkan bibirnya ke arah Marlo. "Bagus kalau aku terlihat seperti korban perselingkuhannya Pak Sabda. Berarti aku tokoh utamanya."

Novita menepuk pundak Nadine, mengingatkan bawahannya itu untuk kembali fokus pada misi.

"Oke Senja, sudahi diammu, ayo jawab pertanyaanku tadi." Nadine meletakkan sepuluh jemarinya di atas meja kerja Senja. Mengintimidasi dengan maksimal. "Kita masih banyak kerjaan yang mesti diselesaikan. Mari cepat tuntaskan perkara ini!"

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang