-🌤-
.
.
Andai kata cincin yang Senja kenakan kini dapat bersorak, maka benda itu akan bersorak dengan kencang untuk mengabarkan keadaan aliran darah yang mengaliri jari-jari tangan sang gadis. Deras mengkacau.
Gadis manis dengan senyum memukau itu benar-benar tengah berjuang menenangkan amukan darah yang ada di dalam tubuhnya. Satu, Sabda berlari mengejar langkahnya adalah kebahagiaan. Dua, Sabda menjadi yang pertama menyadari ada yang berbeda dijemarinya adalah kebahagiaan dan tiga, Sabda yang terlihat menyejajarkan posisi berdiri mereka adalah kebahagiaan.
Seolah-olah Sabda yang tadi tak merespon sapaannya saat di depan Herman dan Mayzahra adalah Sabda yang berbeda dengan yang mengejarnya kini.
Wajah datar milik pria itu, senyum irit yang hanya timbul sekali-sekali, dan tatapan serius tanpa ada kelembutan, Senja tak melihat semua itu melekat pada Sabda yang sekarang tengah mengatur langkah berjalan di sebelahnya.
"Jadi maksud Pak Sabda yang lucu itu aku?" Senja mengerjapkan matanya. Patah-patah berjalan menyeimbangi langkah Sabda.
Sabda mengangguk. Tak ada keraguan dalam anggukan pria itu.
Dua manusia itu kini berjalan bersisian di koridor gedung, tepat di lantai tempat divisi mereka berada. Memanfaatkan waktu sempit yang mereka miliki sebelum kembali ke ruang kerja masing-masing.
"Aku bukan Raditya Dika, Pak. Apanya yang lucu?"
"Siapa Raditya Dika? Masa lalumu?" Sabda bertanya santai. Merasa tak ada yang salah dengan kalimat tanyanya.
"Heh?!" Senja menarik mundur wajahnya. Tak percaya Sabda tak kenal dengan nama publik figur sesanter Raditya Dika. "Bapak nggak tau ama Bang Radit? Dia suaminya Mbak Annisa, selebgram terkenal itu loh Pak."
"Oh, jadi masa lalumu suami orang?" Wajah Sabda sedikit menggelap. Ia tak menyangka istrinya pernah punya hubungan dengan suami orang.
"Haaa?" Senja menghentikan langkahnya. "Kenapa dengan Bapak, Pak?"
Sabda ikut menghentikan langkahnya, "saya tidak kenapa-napa. Saya hanya sedikit kaget karena baru tahu masa lalumu adalah suami orang."
Senja menepuk keningnya keras. Lalu bergegas merogoh telepon pintarnya yang ia masukkan disaku rok, menggulir laman internet dan mencari seabrek informasi tentang dua publik figur pertiwi yang barusan ia mention.
"Baca ini Pak!" Senja menghadapkan layar ponsel pintarnya ke arah Sabda. Menengadah utuh. "Maksudku aku bukan Raditya Dika itu adalah aku bukan stand up comedian Pak, jadi aku nggak ada lucu-lucunya. So, nggak usah anggap aku ini lucu. Publik figur yang sekarang Bapak lihat fotonya ini adalah seorang komedian, dia yang Raditya Dika itu, dia yang lucu. Bukan aku. Oke?"
Sabda mengalunkan kembali langkahnya usai matanya memahami informasi yang Senja ulurkan. Tersenyum tipis setelahnya. "Baguslah kalau si Radit itu nggak ada hubungan apa-apa denganmu. Selebriti ternyata."
Senja menggeleng kencang. Geregetan dengan atasannya itu. Senja menyimpan kembali ponselnya untuk kemudian menyusul langkah Sabda, "orang-orang pada tahu nggak sih Pak kalau Bapak aslinya sangat menyebalkan? Ahli mancing-mancing amarah."
"Orang-orang tak pernah menantang saya untuk jatuh hati padanya. Hanya kamu manusia aneh tapi nyata yang berani melakukannya." Sabda memelankan laju langkahnya, ada dua orang karyawati yang berjalan di depan mereka. "Jadi wajar kalau kamu mendapati saya sedikit berbeda saat bersamamu. Jika kamu merasa kesal dengan perbedaan yang kamu dapati, itu bukan urusan saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Non-Fiction[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...