Keping 32 : Saya Bukan Kamu

104 17 8
                                    

-🌤-

.

.

Kalau masih ada yang penasaran apakah benar atau tidak waktu berhenti saat diri dihadapkan pada hal-hal tak terduga yang memompa jantung berdetak ekstra, maka tanyakan saja langsung pada Senja dan Sabda.

Mereka mungkin mengalaminya hanya dalam hitungan detik. Namun dipikiran masing-masing seolah-olah kejadian yang mereka lalui belangsung berabad-abad lamanya. Ditambah lagi keduanya bukan makhluk yang pandai menyembunyikan kecanggungan. Jadi sangat terlihat jelaslah betapa awkward keadaan yang menimpa mereka.

Tak ada tegur sapa, tak ada balas senyum, bahkan saat tak sengaja bertatap wajah, baik Senja maupun Sabda, keduanya reflek saling berpaling. Kompak menghindar. Padahal keduanya satu tempat tinggal, satu tempat kerja dan bukan kanak-kanak lagi.

Gegara sapu dan serangga, Sabda kehilangan kata-kata untuk mengajak Senja berangkat kerja bersama. Lelaki tinggi dengan pahatan hidung paripurna itu memilih berberes setelah subuh dan keluar begitu saja. Langit masih belum cerah seutuhnya tapi Sabda memutuskan untuk berangkat kerja secepat yang ia bisa. Mungkin mau membantu petugas kebersihan mengepel lantai lobi, atau mengantar sarapan pagi para petugas jaga. Apa pun itu, setidaknya tak lagi berada di ruangan yang sama dengan Senja.

Dan Senja tentu sangat berlega hati mendapati Sabda keluar unit satu jam lebih pagi dari biasanya. Dengan begitu gadis manis itu bisa lebih leluasa membenahi diri sebelum berangkat kerja. Setidaknya menyiapkan mental agar ingatannya tak lagi menjajah dadanya.

Sabda tak tahu, pasca kejadian semalam, usai pria tinggi itu menggenggam tubuhnya erat dengan wajah khawatir yang tak dibuat-buat, Senja tak bisa tidur sedetik pun.

Cengkraman erat jemari Sabda yang menopang punggungnya, tatapan mata Sabda yang bisa ia lihat dari balik ujung-ujung rerambutan sapu saat sapunya ia rendahkan sedikit, segala keheningan yang ada, seluruh kecanggungan yang tercipta, pusaran di perutnya dan kebingungan di kepalanya, Senja tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Selesai mematutkan penutup kepala bewarna coklat muda, Senja sempat memegang sejenak pinggangnya. Lalu menggeleng sekuat yang ia bisa demi membunuh ingatannya. Berbicara dengan suara yang cukup keras untuk menasihati dirinya sendiri. "Udah Senja, udah! Nggak usah diingat dan nggak usah sok-sok tersipu. Belibet nanti baru tau rasa!"

Maka demi merestart isi pikirannya, gadis itu rela kembali ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Tak masalah jika harus ganti baju dan kerudung yang lain. Sejak semalam memang sudah tak ada yang terlihat normal dengannya.

Senja memilih taksi online alih-alih bus kota untuk keberangkatannya kali ini. Ia butuh privasi. Agak sedikit memalukan jika nanti ia teringat wajah Sabda semalam yang begitu close up di depan matanya lalu orang-orang di dalam bus menatapnya aneh karena geleng-geleng sendiri.

Hanya saja, saat hendak mengambil uang cash di dalam dompet sebelum taksi yang ia tumpangi berhenti di depan Djaya Construction, napas gadis manis itu tiba-tiba memberat. Matanya baru saja terkunci pada sebuah benda yang ia selipkan di sudut dompet. Masih dalam plastik yang tergulung selotip bening dibagian ujung, benda itu diam tak bergerak menyapa penglihatan Senja. Bulat, mengkilap, elegan dengan lubang besar di tengah yang semuat dengan jarinya.

Tentu saja benda itu adalah cincin yang Sabda gunakan sebagai mahar pernikahan mereka. Angkanya cukup menggiurkan, ada permata zamrud sebesar biji durian di tengahnya. Maksudnya, biji durian yang diperkecil hingga ratusan ribu kali. Estetik dan sangat cocok terselip di jemari.

Senja tak tahu apa yang mendorongnya, biasanya gadis itu begitu ogah mengeluarkan cincin itu dari dompet. Tapi pagi ini, Senja malah mengambil cincin itu dan memakainya. Ada semu merah di ujung pipi dan puncak hidung gadis manis itu saat ia sukses menyematkan cincin.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang