Keping 31 : Sapu dan Serangga

149 15 5
                                    

-🌤-

.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Senja menarik napasnya dalam-dalam. Berdiri di belakang Sabda sambil menahan seluruh gemuruh dalam dadanya. "Pak, gimana ini Pak? Kalau orang yang ada di luar sana lihat aku ada di dalam unit Bapak malam-malam gini, apa yang akan dia pikirkan tentang kita?"

"Apapun yang akan dia pikirkan, maka itu urusannya. Sama sekali tak ada yang bisa saya lakukan untuk mengendalikan isi kepalanya."

Senja mengerjap tak percaya. "Kalau dia berpikiran buruk tentangku, bagaimana? Dia pasti tahunya Bapak belum nikah 'kan? Masa' seorang Sabda yang terkenal menjaga wibawa dan single nyimpan hadiah sabun colek di dalam unit? 'Kan nggak lucu kalau aku dituduh yang aneh-aneh Pak."

"Menyimpan hadiah sabun colek? Maksudnya?" Sabda mengerutkan dahinya. Blank.

"Piring cantik, Pak. Hadiah sabun colek itu 'kan biasanya piring cantik." Senja menimpali cepat, lalu mengeja huruf yang ia ucapkan dengan percaya diri, "C-A-N-T-I-K, gitu loh Pak. Bapak menyimpan gadis cantik dalam kamar, gak bahaya tah?"

Cantik. Sabda sukses terkekeh. "Kalau begitu, jika dia bertanya, tinggal jelaskan saja bahwa kita sudah menikah, apa susahnya?"

"Pak!" Senja menggigit ujung lidahnya. "Jangan jahat jadi orang ya Pak ya. Cukup manfaatkan aku untuk bunda, tapi tidak untuk kenalan Bapak yang kata Bapak juga aku kenal itu. Ra sudi!"

Mendengar ucapan gadis itu Sabda reflek mengangkat jemari kanannya ke awang untuk menyentuh pucuk kepala Senja. Namun seketika tersadar dan mengundurkan niatnya secepat kilat. "Kamu bukan benda, kenapa pasrah sekali merasa dimanfaatkan?"

"Eh?!" Senja tersentak sejenak, "iya ya. Kok bisa-bisanya lidah ini ngomong begitu?"

Sabda sempat mengirim pesan pada tamunya untuk menunggu sebentar sebelum ia membukakan pintu. Jelas pria tinggi dengan pahatan hidung paripurna itu tak melakukannya tanpa alasan. Sekarang ada Senja bersamanya, seperti kata Sumayah, gadis itu berhak memutuskan semua yang terbaik untuk dirinya sendiri. "Jadi, kamu mau bagaimana? Pilih bersembunyi di kamar atau ikut di samping saya menemui tamu ini?"

Mata Senja membesar tanpa kendali. Reflek menepuk lengan Sabda sambil tersenyum selebar yang ia bisa. "Oh ya iya Pak, aku 'kan bisa ngumpet di kamar sampai tamunya pergi. Kenapa nggak kepikiran dari tadi?"

"Karena kamu memberi ruang untuk rasa panikmu lebih besar dari pada untuk kemampuan berpikir jernihmu." Sabda mengelus pelan lengannya. "Katanya tidak ada sentuhan fisik dalam pernikahan ini. Kenapa mendadak memukul saya?"

"Ehehe. Replek Pak." Senja memasang tampang polos tanpa dosa, lalu berlari terbirit meninggalkan Sabda sambil melambaikan tangan, memberi kode minta maaf karena telah memukul lengan pria tinggi itu cukup keras.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang