Keping 16 : Suasana Hati

84 15 2
                                    

-🌤-

.

.

Makan siang sambil mengurus urusan bisnis, bertemu rekanan di dalam suasana santai, membahas hal serius di antara renyahnya kudapan adalah bagian tervaforit banyak pengusaha dalam membangun bonding yang kokoh.

Tapi siang ini, bagi Sabda, suasana semacam itu layaknya kiamat sugra. Ia harus menahan sesuatu, di mana semakin ia tahan, ia merasa semakin tak nyaman.

Rekanan di sebelahnya, seorang wanita yang terlampisi rapi dengan kain, yang hanya menyisakan mata tanpa tahu seperti apa rupa senyumnya berhasil mencuri habis rasa nyaman Sabda. Bahkan lelaki itu lupa kalau tadi ia sempat tersenyum saat Senja menghubunginya.

Untungnya Sabda unggul dalam masalah menyembunyikan rasa. Jadi baik si wanita, satu rekan di hadapannya dan dua rekan lain di sampingnya tak tahu kalau kini ia sedang tidak baik-baik saja.

Hampir satu jam lamanya, akhirnya kesepakatan sementara pun dibungkus, Yayasan Rumah Ramah Yatim yang dikelola secara pribadi oleh Mayzahra dan adiknya setuju untuk mengambil penawaran Djaya Construction sebagai media partner. Membangun gedung yayasan tersebut dari nol.

Sabda tentu saja tak menyangka bahwa hari ini ia akan berjumpa dengan Mayzahra. Ia ikut makan siang hanya karena menemani rekannya bertemu calon klien, tadi mereka sempat rapat dengan direktur utama di luar kantor soalnya, lokasinya persis berdekatan dengan lokasi rekan Sabda yang sudah janjian dengan pihak Yayasan Rumah Ramah Yatim, maka sekalian saja.

Sabda mana tahu kalau Mayzahra orang yang telah membuat janji dengan rekannya. Lagian pikirnya, Yayasan Rumah Ramah Yatim sama sekali tak terlihat ada sangkut-pautnya dengan Dawul Ilmi, pesantren tempat ia menimba ilmu dulu.

"Saya tak menyangka bahwa kita akan berjumpa lagi, Ustazah. Sudah lama rasanya." Sabda berbasa-basi, berdiri di hadapan Mayzahra tapi tak menatap perempuan itu.

Mereka kini baru saja keluar dari restoran. Tiga rekan Sabda sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil mereka, meninggalkan Sabda, Mayzahra dan putra kecil perempuan itu di parkiran.

Mayzahra tentu tak datang sendiri ke acara pertemuan. Ia membawa putra kecilnya yang baru berusia empat setengah tahun bersamanya, Faqih.

"Ana juga nyaris lupa dengan antum, Sabda. Kalau tadi tak antum ingatkan, mungkin ana tak akan tahu." Mayzahra memegang erat pergelangan tangan putranya, matanya fokus mencari di mana letak mobilnya. "Antum benar-benar berubah soalnya. Terasa sekali ana sudah menua melihat mantan murid juga sudah tak lagi bocah belia."

"Kita hanya berbeda beberapa tahun, Ustazah. Jangan terlalu menuakan diri." Sabda tersenyum kikuk. Menyesal setelah sok akrab membahas perbedaan usia antara dirinya dan sang guru.

Mayzahra akhirnya menemukan di mana letak mobilnya, namun ia lengah dari memegang kuat anaknya. Akibatnya sang anak berlari cepat tanpa peduli apa-apa. Berlonjak penuh tenaga. "Faqih! Didekat Bunda aja. Nanti ada kendaraan lewat, Faqih bisa terserempet."

Sabda reflek ikut berlari, mengejar Faqih dengan telinga yang tetap aktif menangkap semua kalimat Mayzahra. Lelaki tinggi berhidung mancung itu menggendong sang bocah sambil membawanya pada Mayzahra setelah berhasil menangkap si bocah.

"Afwan kalau kami merepotkanmu, Sabda." Mayzahra mengambil Faqih yang Sabda turunkan dari gendongan. Kembali memegang erat pergelangan tangan putranya.

"Aman Ustazah, aman. Saya tak merasa direpotkan kok."

Mayzahra mengangguk seadanya. Lalu menasihati putranya pelan, "Faqih itu anak baik, dan anak baik pasti nggak grasak-grusuk. Abah dikuburnya senang kalau tahu Faqih mau patuhi Bunda. Faqih sayang Abah dan Bunda 'kan?"

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang