-🌤-
.
.
Jemari Sabda erat memegang kemudi mobilnya. Laju memecah kepadatan jalan raya dengan kecepatan konstan. Lelaki tinggi berhidung mancung itu baru selesai memenuhi pinta Mayashka untuk makan siang bersama. Tak menolak ajakan sang teman karena merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan meski diawal sempat bimbang dengan maksud tersembunyi di balik pesan yang Mayashka kirimkan.
"Kamu pernah berjumpa dengan putra kakakku ini sebelumnya 'kan Sabda? Bukan bermaksud untuk menambah beban pikiranmu, aku ingin sekali kau menjadi pengganti sosok ayah untuknya."
Sabda menginjak pedal gasnya dengan rahang bawah yang menguat. Membayangkan kalimat panjang Mayashka membuatnya serasa ingin melahap marka jalan.
"Kita sudah kenal lama. Aku tahu siapa seorang Sabda. Abah dan Ning Zahra juga tahu. Jika kau tak keberatan untuk mempertimbangkan tawaranku, aku ingin kau menjalin hubungan serius dengan kakakku. Informasi tentangmu sudah aku dapatkan dari sekretaris tempatmu bekerja, kau masih sama sepertiku rupanya. Masih belum punya penyempurna setengah agama. Maaf jika kata-kataku terkesan lancang, aku hanya ingin berterus terang."
"Apa-apaan ini ha?" Sabda mengeraskan suaranya. Berbicara sendirian di dalam mobil. Bertarung dengan isi pikirannya.
Jika Sabda terus bergerak dengan kecepatan yang sama, maka ia akan sampai di Djaya Construction sekitar lima belas menit lagi. Dan itu cukup untuk membuatnya tak terlambat masuk kerja usai istirahat siang.
Sabda mengembuskan napasnya kuat-kuat. Merasa geregetan tak tertahan dengan keadaan yang kini menyapanya. Mayzahra kembali didatangkan padanya usai ia harus mempertanggungjawabkan Senja karena telah menyeret paksa gadis itu ke dalam permasalahan hidupnya.
Ibarat sedang ada di meja makan, Sabda harus menghabiskan gulai kepala kakap yang tak ia sukai ketika cumi bakar kegemarannya dihidangkan setelah beberapa suap ia menyendok gulai kepala kakap itu. Ia tak boleh mengganti menu seenaknya, ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia makan setengahnya. Tapi sungguh ia tak berdaya, cumi bakar di hadapannya terlihat begitu enak.
...
Tidak ada yang terlepas dari mulut Novita selain kata pujian dan sanjungan untuk dua karyawati magangnya. Membawa Senja dan Puji menemui seorang Adnan Greek yang pemilih ternyata adalah tindakan yang tepat.
Untung Novita tak kepo tentang percakapan terakhir antara Senja dan Adnan. Makanya Senja merasa tak perlu menjelaskan perihal itu pada Novita. Lagian apa yang Adnan katakan padanya sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan.
Sebenarnya tadi Senja sempat risau memikirkan apa yang akan terjadi padanya saat ia mengingat bagaimana wajah Adnan yang terlihat kesal ia perlakukan seperti itu. Tapi ketika hatinya meyakinkan bahwa tindakannya sudah benar, rasa risau gadis dengan senyum manis itu mulai memudar sedikit demi sedikit. Lagian Adnan begitu lancang mengingatkannya soal The Golden Shine disaat pria itu tak seharusnya membawa-bawa urusan pribadi dijam pekerjaan.
Dan semakin dekat kewaktu pulang, rasa risau yang gadis itu tanggung justru malah digantikan dengan perasaan lega karena terus-terusan mendengar sanjungan Novita yang tertuju untuknya.
"Kalau dipuji dan terus dibanggakan Bu Novita seperti ini, bertemu dan berdebat dengan Pak Sabda setiap jam pun akan aku lakukan dengan senang hati." Senja cekikikan. Ia berjalan sendirian menuju halte bus. Namun pikirannya berisik, bercengkrama tak henti-henti. "Mudah-mudahan kerja sama dengan perusahaan roda-roda maut itu bisa terwujud. Jadinya aku dan Puji lancar jaya diangkat menjadi karyawan tetap."
![](https://img.wattpad.com/cover/360904849-288-k716559.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Non-Fiction[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...