-🌤-
.
.
Hati adalah muara segala. Jika tenang, maka akan tenang semua. Dan jika bergejolak, maka kacaulah jadinya. Itu karenanya perkara hati menjadi perkara yang sulit ditemukan ujung penyelesaiannya. Terlau dalam. Terlalu luas. Terlalu banyak ruang-ruang.
Sabda sadar sekali kalau hatinya kini sedang tidak baik-baik saja. Sekuat apa pun ia mencoba untuk menenangkan gejolak yang terasa, beristighfar, berusaha membuang jauh-jauh pikiran buruknya, tetap saja ia tak bisa melawan was-was yang menyapa.
Ia tak suka melihat Senja akrab dengan Marlo, itu aneh di matanya, itu melanggar pemahamannya. Tapi bagaimana pun ia tak suka, ia tak tahu mesti berbuat apa. Jangankan menyampaikan keberatannya pada Senja, menerima keadaan hatinya yang kini sedang bergejolak pun ia tak kuasa.
Lelaki berhidung mancung itu menikahi Senja dengan alasan yang ia rasa sudah tepat, ia tahu bahwa ia tak akan tertarik pada Senja, dan ia lebih tahu kalau Senja sangat tidak menyukainya. Namun ketika baru seumur jagung mereka bersama, ia nyaris lupa kalau Senja sebenarnya hanyalah pengalihan, bukan pilihan.
Sumayah memang tak salah dengan kecurigaannya, Sabda menolak menikah selama ini tentu bukan karena alasan sederhana seperti belum siap berumah tangga, masih mengumpulkan keberanian, takut tak bisa jadi imam yang baik atau alasan lain semacamnya.
Mayzahra Khairunnisa, sosok itu yang ternyata berhasil membekukan niat menikah Sabda, menyurutkan hati pemuda itu untuk berumah tangga karena ia merasa jika bukan Mayzahra yang akan menyempurnakan setengah agamanya, ia tak akan menerima wanita manapun dalam hidupnya.
Selepas keluar dari pesantren, Sabda sangat bersemangat berkuliah. Berharap saat ia sudah jauh lebih mandiri, ia bisa kembali ke pesantren untuk meminta sang Ning pada Abah Syahid. Sayang, baru saja ia menginjak semester tiga, Mayzahra sudah dipinang seorang ustad mapan tanah Borneo. Di mana hal itu mengantarkannya pada sebuah penyesalan akan ketidakberaniannya meminta Mayzahra. Yang membuatnya mati rasa dan tak peduli pada perempuan lain selama mereka bukan Mayzahra.
Kagum tak terucap, kasih tak kesampaian, cinta terpendam yang berujung kesepian, apapunlah itu namanya, dua belas tahun terakhir, begitulah cara Sabda mengarungi rasa.
Teman-teman pesantren yang berjibun, kenalan kuliah yang berganti-ganti, juga rekan di dunia kerja yang terus bergulir tak satupun bisa menghangatkan bekunya lorong jiwa Sabda. Tidak satupun.
Bahkan ibunda sang pemuda sudah lelah memintanya untuk membuka hati. Usaha si ibu tetap kembali kehasil yang sama tak peduli bagaimanapun caranya, bahwa sang anak selalu menolak siapapun wanita yang dikenalkan padanya.
Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya setelah satu dekade lebih Sabda bertahan dalam kekhilafannya, sosok seorang Senja yang sungguh berbeda jauh dari Mayzahra berhasil menggoyang kencang dinding bekunya. Membuatnya takut dan ragu dalam sekali tarikan napas. Bingung pada dirinya sendiri.
Sabda berdiri di depan kaca jendela ruang kerjanya. Menatap hiruk pikuk jalanan yang ada di hadapannya. Tadi langsung menghilang dari ambang pintu ruangan Novita setelah mengeluarkan kalimat perintahnya untuk Senja. Dan kini malah berakhir dalam ketermenungan yang tak bisa ia putuskan solusinya.
"Pagi Pak, ini Senja, datang ke ruangan Bapak untuk protes. Apa aku diperkenankan masuk?" suara Senja nyaring terdengar dari balik pintu, langsung masuk tanpa menunggu jawaban Sabda.
Sabda sedikit ternganga saat mengetahui Senja kini hanya berjarak dua meter di depannya. "Apa saya mengizinkanmu untuk masuk?"
"Apa aku setuju dengan keputusan Bapak yang secara sepihak menambah tugasku tanpa alasan yang jelas?" Senja balik menyerang. Tak hirau dengan pertanyaan Sabda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Non-Fiction[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...