Keping 1 : Ancaman Anak Bau Kencur

467 26 5
                                    

-🌤-

.

.

Tertuju pada bagian yang ada di halaman 12, kolom keempat dari kiri, dengan headline bercetak tebal yang digarisbawahi, mata Sabda kencang menelurusi susunan huruf demi huruf yang terpampang pada layar telepon pintarnya.

"Harga tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah, turun 0,05% hanya dalam waktu setengah jam setelah pasar perdagangan saham dibuka. Kini pelaku pasar tengah menanti kebijakan Bank Indonesia, akankah lembaga keuangan itu menaikkan suku bunga acuan atau tidak. Semua pergerakan bergantung hanya dengan satu putusan kebijakan." Sabda mengangguk pelan usai membaca cepat paragraf pertama pemberitaan tersebut dengan suara yang terdengar jelas, lalu berdecak pada dirinya sendiri setelahnya, "melemah setelah setengah jam dibuka, cukup masuk akal."

Kini, di antara dua belas kursi kosong dan meja rapat yang masih bersih dari tumpukan dokumen dan berkas-berkas laporan, Sabda Ammar Ankara sudah duduk dengan setelan kebanggaannya, kemeja biru langit, celana bahan hitam dan pantofel navy mengkilap. Memandangi layar telepon pintarnya sesekali, mengamati keseluruhan ruangan sesekali, dan berdecak pelan sesekali.

Ini bukan yang pertama kali bagi pria itu untuk datang ke kantor pagi-pagi sekali. Sebelum-sebelumnya lelaki berhidung mancung itu juga pernah melakukan hal yang sama. Namun tidak sepagi seperti sekarang.

Sabda melakukannya tentu bukan tanpa alasan. Ia datang pagi-pagi sekali ke kantor, meninggalkan apartemennya secepat mungkin sesaat setelah berbenah adalah demi untuk melupakan ucapan ibunya saat ditelepon kemarin. Terlalu tak ingin memusingkan soal jodoh. Sebisa mungkin menjauh dari buku yang sang bunda pinjamkan, Menjemput Bidadari Surga dengan Iman.

Sabda menarik napasnya panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Tak lagi minat memerhatikan pemberitaan terkait harga tukar rupiah yang kini masih terpampang di layar telepon pintarnya.

Pria itu mengetukkan telunjuk kirinya ke permukaan meja dengan sudut mata yang fokus mengamati jam tangannya, menghitung mundur detik jarum jam yang sebentar lagi akan mengantarkan pagi tepat kepukul setengah tujuh.

"Masih satu setengah jam lagi, masih lama jika digunakan untuk menunggu." Sabda bergumam pelan pada dirinya sendiri, lalu berdiri dari duduknya sambil merapikan lipatan kemejanya dengan malas. Menyambar cepat telepon pintar dan tas kerjanya.

Lelaki tinggi bersurai hitam dengan manik coklat itu melangkah ke arah pintu keluar, berjalan meninggalkan ruang rapat, bermaksud menuju ruang sholat yang ada di ujung lorong koridor lantai dasar. Ingin menghabiskan waktu menunggunya di sana.

...

Sabda baru saja selesai menuntaskan doa-doa panjangnya dan sedikit terganggu dengan bunyi-bunyi tak jelas yang berasal dari arah belakangnya, tempat di mana shaf sholat perempuan berada. Padahal tadi selama ia sholat, ruangan itu hening seperti tanpa bunyi-bunyian.

Ruangan itu hanya berukuran dua kali tiga meter saja dan ditengahnya dibatasi dengan kain pembatas seadanya. Maka apapun aktivitas yang menimbulkan suara yang ada di dalam ruangan itu sungguh tak bisa untuk tak terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Bunyi senandung, gesekan kantong plastik, gema telapak kaki melangkah, dering telepon genggam, serta apapun 'lah itu, semuanya pasti terdengar.

Tentu saja bagi Sabda yang sengaja memilih musholla untuk menghabiskan waktu bertenang agak tak nyaman dengan bunyi-bunyi yang ada di belakangnya. Ia menyadari kalau ia hanya berada di dalam ruangan itu sendirian, tak ada sepatu lain di pintu masuk selain sepatu dirinya soalnya. Lagian kantor masih sepi, masih terlalu mustahil jika ada orang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tanpa ia sadari mengingat pintu masuk ruangan itu hanya ada satu, dan itu pun berada dideretan shaf laki-laki, di samping kanannya.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang