Keping 4 : Senyum Samar

99 16 1
                                    

-🌤-

.

.

Senja mengguncang kepalanya keras saat keluar dari gedung Djaya Construction Tbk, menatap lesu lalu lalang kendaraan di jalan raya yang seperti seterikaan sibuk didepannya.

Perusahaan kenamaan pusat kota yang bergelut dibidang konstruksi bangunan itu adalah magnet yang menarik banyak minat generasi muda. Rata-rata, mereka lulusan teknik sipil, para arsitektur junior dan semacamnya akan menargetkan Djaya Construction Tbk. sebagai perusahaan yang harus ada dalam daftar karir mereka.

Dan sangat disayangkan sekali, disaat telah berhasil memasuki Djaya Construction Tbk. Senja justru merasa menyesal. Baru hari pertama magang, ia sudah menumpuk banyak tanggung jawab berat yang lahir dari kecerobohannya sendiri.

"Arrrgh!" Senja melepaskan teriakannya serentak dengan bunyi klakson bis kota yang lewat.

"Aku bilang juga apa, diam aja Senja, diam aja. Masalah nggak akan datang kalau kamu ikutin caraku, diam dan senyum-senyum kecil, nggak perlu tanggap dan aktif menggosip." Puji menatap Senja dengan tatapan kasihan, paham sekali kenapa temannya itu bereriak. "Jika aja kamu nggak bersemangat menimpali pancingan Bu Nadine dan Pak Juki sampai-sampai berani ngomongin Pak Sabda, pasti kamu nggak akan dikasi banyak tugas seperti sekarang."

"Puji, aku nggak mau lagi magang di sini. Nggak mau lagi ketemu Pak Sabda."

"Jangan nambah-nambah masalah deh Senja!"

"Aku nggak mau Puji. Aku nggak mau pokoknya!" Senja menggoyangkan bahunya kencang, membuat ujung jilbabnya ikut bergoyang liar, menatap Puji sambil mengerucutkan bibirnya. "Kita minta pindah kantor aja yuk? Ke perusahaan sepatu yang ada di depan sana juga oke kayaknya."

Puji tak menjawab, tangannya pelan memukul dahi Senja sambil menggeleng-geleng kecil. Lalu melangkah cepat meninggalkan temannya itu.

Senja berlari menyusul Puji, sama sekali tak melihat ke belakang, ke arah gedung tempat ia magang. Gadis itu berteriak lantang memanggil temannya tanpa peduli dengan karyawan lain yang mungkin akan memerhatikannya, "Puji tungguin! Puji tungguin aku!"

"Moh!" Puji menimpali cepat, tak menoleh ke arah Senja. Mati-matian menahan tawa sambil terus memacu langkah kakinya.

"Tungguin aku atau aku sumpahin kamu bakalan punya masalah juga sama Pak Sabda—"

"Senja!" Puji memutar badannya utuh ke arah Senja, memotong ucapan temannya sambil memeragakan gerakan mengunci bibir.

Membuat Senja hanya bisa tersenyum usai melihat ekspresi wajah Puji karena sadar seketika kalau ia tak seharusnya menyelesaikan kalimatnya. Ada banyak orang yang kenal dengan Sabda di sekitar mereka.

...

Sabda berdiri di depan jendela kaca besar di ruang kerjanya yang menghadap langsung ke arah jalan raya sambil memegang dua lembar kertas ditangannya dengan tampang yang tak dapat dijelaskan.

Tadi selepas istirahat siang, Sabda benar-benar disibukkan dengan berbagai hal. Mulai dari menyelesaikan kekeliruan yang tertera pada nota kesepahaman dengan dua klien berbeda, meeting mingguan dengan seluruh kepala subdivisi perencanaan untuk pelaporan agenda, bertemu dengan direktur utama hingga mengangkat panggilan telepon ibunya yang sudah menghubunginya lebih dari lima kali hanya dalam hitungan dua puluh menit.

Sabda menghembuskan napasnya perlahan. Wajahnya masih menyisakan bekas wudu asharnya yang belum utuh mengering.

Dikepalanya kini tersusun banyak hal yang harus ia selesaikan satu-persatu, dan yang paling mendesak di antara semua yang mendesak adalah permintaan ibunya. Meski bagian itu sama sekali tak ada hubungannya dengan tanggungjawabnya sebagai kepala divisi perencanaan, tapi bagian itu pulalah yang menyita pusing berkepanjangan tanpa jeda. Membuat Sabda sering kali merasa sesak dan jengah karenanya.

Menikah dengan pilihan sendiri atau menerima pilihan dari sang bunda, sungguh Sabda tak mengingnkan ada pilihan di antara kedua opsi itu. Ia masih merasa belum siap, hitungan usia tak serta merta membuatnya berani mengarungi rumah tangga selepas hatinya yang pernah ia buka untuk seseorang dipaksa ditutup kenyataan dengan rasa pilu yang masih membekas.

Lagian ini kota besar, kesibukan sudah cukup menyita perhatian tanpa harus memedulikan apa tanggapan orang. Toh dengan statusnya yang masih membujang, Sabda justru sedikit bisa lebih fokus dalam karirnya. Memanfaatkan ilmu yang diserapnya selama jenjang pendidikan dengan sebaik-baiknya.

Sabda menarik napasnya perlahan, lalu menghembuskannya juga dengan perlahan. Memejamkan matanya sejenak untuk kemudian kembali membukanya.

"Bunda nggak mau tau ya Sabda, kalau sampai bunda belum dapat kepastian darimu, bunda yang akan bertindak sendiri. Kamu tinggal tunggu saja pilihan bunda. Dan kalau bunda udah milihin, kamu bunda larang untuk protes."

Sabda mengurut batang hidungnya perlahan, terbayang utuh kata-kata sang ibu disambungan telepon tadi.

"Kamu jangan cari alasan sibuk kerja sampai nggak sempat menikah ya Sabda. Kemarin bunda cari tahu tentang temen-temenmu, rata-rata mereka udah punya anak tiga sekarang. Kenapa anak bunda masih gitu-gitu aja dan nggak ada perubahan soal hubungan serius dari tahun ketahun? Mau sendiri sampai tua kamu?"

Sabda terbatuk kecil saat memorinya berhasil memutar ulang kalimat panjang ibunya. Sedikit meremas kerta yang ia pegang tanpa sadar.

"Pokoknya bunda cuman bisa noleransi kamu sampai pertengahan tahun ini, nggak mau nambah tahun lagi untuk alasan kamu yang selalu berulang. Baca buku yang bunda pinjamkan sampai selesai ya. Dan ingat Sabda, hanya kamu satu-satunya penerus darah ayahmu di keluarga kita. Bagi bunda, keenggananmu menikah adalah masalah besar keluarga kita."

Sabda nyaris meremuk lembaran kertas yang ia pegang karena serasa mendengar kembali ucapan ibunya sebelum sambungan telepon terputus. Namun seketika ia tersadar kalau kertas itu tak mungkin ia remuk sebab ia telah susah payah memintanya sambil menjaga wibawa di depan Novita.

Lelaki berwibawa lulusan terbaik magister manajemen kampus kota kembang itu kini tengah memegang dua lampiran karyawan magang yang tadi ia minta pada Novita, data diri Senja dan Puji.

Dan demi membuang semua ingatannya soal percakapannya dengan sang ibu, Sabda memilih untuk memokuskan dirinya membaca kata yang tersusun pada lembaran kertas yang tengah dipegangnya kini.

Hebatnya, sesaat setelah Sabda selesai mengeja huruf terakhir dari lembaran data diri Senja, matanya yang kebetulan ia bawa menatap ke arah luar jendela tiba-tiba menangkap dua sosok yang ia yakini adalah pemilik dari lampiran data diri yang ia pegang.

Pertemuan tak mengenakkannya dengan Senja baru terjadi hari ini, jadi Sabda tentu tak lupa seperti apa setelan yang gadis itu kenakan dan bagaimana gestur tubuh sang gadis.

Walau melihat dari ketinggian empat lantai, Sabda sama sekali tak meragukan tebakannya.

Dan anehnya, semakin ia menguatkan tebakannya kalau dua gadis yang berdiri di depan gedung adalah Puji dan Senja, Sabda semakin merasa tak enak hati. Padahal harusnya ia tak perlu merasa seperti itu. Karena selain Puji dan Senja, tentunya ada banyak karyawan lain yang keluar dari gedung, berjalan ke halte bus atau mengendarai motor masing-masing yang sebenarnya pemandangan semacam itu sudah biasa di mata Sabda.

Tapi Senja yang kini sedang bersama Puji justru berhasil menarik fokus perhatian Sabda tanpa bisa lelaki itu hindari.

Lihatlah kini, mata Sabda jelas menyaksikan kalau Puji menyentuh wajah Senja dan meninggalkan Senja setelahnya dengan langkah kaki besar-besar, lalu seperti adik yang ditinggalkan kakak, Senja berlari kecil menyusul langkah Puji.

Sabda tentu tak tahu persis apa yang dua perempuan itu lakukan di bawah sana, namun saat melihat betapa lucunya cara Senja berlari menyusul Puji, tanpa sadar Sabda mengukir senyum samar diwajahnya.

Lalu setelah dua detik terlewat dan ia tahu ia tak seharusnya tersenyum hanya karena menyaksikan momen itu, Sabda reflek memukul bibirnya pelan dengan lembaran kertas yang ia pegang. Merasa malu pada tingkahnya sendiri.

.

.

-tbc-

28 Januari 2024

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang