Keping 10 : Tolong Saya, Senja

103 13 0
                                    

-🌤-

.

.

"Kenapa Bapak peduli dengan haram atau tidaknya hidupku, baik atau tidaknya caraku mendapatkan uang? Kenapa Bapak peduli hm?" Sabda mengetuk-ngetukkan telunjuk kanannya pelan ke permukaan meja. Duduk tegak sambil menghadap lurus ke depan. Lelaki itu masih belum bisa menghilangkan gema suara Senja yang sedari semalam terus menggempur gendang telinganya. Meninggalkan rasa bersalah yang tak terselesaikan.

"Kenapa juga saya peduli dengan kehidupan gadis lancang itu? Iya kan? Kenapa harus?" Sabda bergumam pelan, bertanya bingung pada dirinya sendiri. Kali ini sudah mengadu dua telunjuknya rapat, mengangkatnya ke awang-awang. Tidak mengetuk-ngetukannya lagi ke permukaan meja. "Apakah itu benar kepedulian? Atau jangan-jangan hanya wujud dari kerisihan?"

Sabda tersenyum lebar sesaat setelah ia menemukan alasan untuk ketidaksukaannya melihat Senja bekerja sebagai pramusaji. Untung pemikiran itu melintas sebelum si jangkung merasa frustasi dengan gema suara Senja yang berputar tanpa henti dipikirannya. "Ya, ya, ya, barangkali saya hanya risih. Bukan peduli. Saya bertindak dan berkata seperti itu padanya karena saya risih, bukan karena saya peduli. I got the point."

Semalam, selepas Senja mengajukan pertanyaan, Sabda meninggalkan gadis itu begitu saja tanpa memberikan jawaban. Ia masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh Senja untuk segera pulang tanpa merespon tanya sang gadis. Sabda mengabaikan Senja bukan karena ia tega, tapi karena ia sendiri pun tak tahu jawabannya apa.

Maka pagi ini, ketika hari baru dimulai, Sabda ingin membuang jauh-jauh momen yang ia alami semalam. Karena jika diingat-ingat terus, ia merasa semakin malu pada dirinya sendiri.

...

Di atas meja kerja Sabda kini sudah ada tiga lapis map kertas berisi dokumen yang harus ia tanda tangani, pemberitahuan surat elektronik yang harus ia tanggapi dan rencana jumpa wakil direktur yang akan ia penuhi. Bukannya enggan dengan semua rentetan kerjaan yang akan ia tempuh, Sabda justru merasa bersemangat.

Lelaki itu memang sedang menginginkan kesibukan. Sungguh. Karena pikirnya, semakin ia disibukkan pekerjaan, semakin ia tak lagi punya waktu untuk mengingat kekepoannya pada Senja.

Minimal ia harus tetap menjadi Sabda seperti Sabda yang biasanya, yang menjalankan amanah jabatan dengan sungguh-sungguh.

"Pagi Pak Sabda, izin masuk untuk memperlihatkan laporan."

Baru saja Sabda ingin membuka map pertama untuk memeriksa dokumen yang akan ia tanda tangani, suara renyah seorang perempuan sudah memecah keheningan. Membuat Sabda reflek menjawab dan memberikan si pemilik suara izin untuk masuk ke ruangannya.

Ada Nadine dan Senja yang berdiri bersebelahan di hadapan Sabda kini. Namun berbeda dengan Nadine yang berdiri penuh rasa percaya diri, Senja justru memakai kertas yang dipegangnya untuk menutup setengah wajahnya. Membiarkan hanya matanya saja yang bisa Sabda lihat.

"Laporan soal follow up kemarin sudah dibuat, tapi kata Mbak Novita tadi aku harus melihatkannya dulu pada Pak Sabda sebelum mencetaknya diformat formal perusahaan." Nadine berusaha berbicara sesopan mungkin, terlihat begitu sangat santai saat menghadapi Sabda. Padahal di dada gadis itu kini, jantungnya hampir menari salsa.

"Kamu bukannya sudah mengenal saya cukup lama, Nadine?" Sabda menatap Nadine sebentar untuk kemudian menjulurkan tangannya, meminta Nadine memberikan rancangan dokumen laporan yang dibawa gadis itu.

Nadine sedikit terkejut saat Sabda tiba-tiba bertanya soal hal yang menurutnya di luar dari konteks pekerjaan. Gadis cantik dengan kemeja motif pita berwarna merah muda itu susah payah menyembunyikan senyum lebarnya.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang