-🌤-
.
.
Pagi ini, walau mentari di langit sana tidak tertutup awan kelabu seperti kemarin, walau udara tak menyapa dingin sampai ke tulang seperti kemarin, bagi Sabda dan Senja yang kini tengah berdiri berhadapan, cerahnya nuansa seolah hilang dibawa kabur sepenggal-dua penggal kalimat ajakan.
Satu, aku ingin kau menjadi milikku, seutuhnya, sepenuhnya. Dua, jika bukan dirimu yang akan melengkapi setengah agamaku, maka tak ada arti cinta bagiku. Atau bahkan tiga, segalanya kelabu, seluruhnya membiru, jika tiada kau di sisiku, tiada pula cahaya hidupku. Banyak, masih banyak padu padan kata, susunan kalimat, olahan rasa yang bisa diungkapkan lidah untuk menunjukkan kesungguhan, merebut hati dan menghilangkan keraguan.
Sayang, Sabda, pria dewasa yang kini telah matang berkarir, yang punya bertahun-tahun pengalaman menghadapi bermacam tipe manusia, pagi ini malah menggerakkan lidahnya atas dasar keputus-asaan. Meminta hal sakral seperti ia meminta dilepaskan dari lilitan ular. Memelas. Menyedihkan. Dan menyesakkan.
Tolong saya, Senja. Menikahlah dengan saya.
Alih-alih mengajukan jalan keluar untuk hidup Senja yang pas-pasan, bagi Senja, permintaan Sabda seolah terdengar seperti menyuruhnya untuk masuk lebih dalam ke lubang penderitaan.
Sabda masih berdiri tegak tanpa mengubah posisinya, menghadap utuh ke arah Senja.
Sementara Senja kini nyaris terduduk ke lantai. Mati-matian menahan rasa yang tak bisa ia jelaskan. Sedikit pusing dan gemetaran.
"Senja, bisakan kamu membantu saya?" Sabda sadar kalau permintaannya terdengar sangat gila. Tapi ia memang benar-benar tak bisa menarik lagi ucapannya.
"Aku nggak bisa Pak." Senja menjawab cepat. Gadis itu mendapatkan kekuatanya untuk menggerakkan lidahnya sedetik setelah mendengar tanya Sabda. "Aku nggak mau menolong Bapak. Apalagi pertolongan yang aku berikan harus mengorbankan diriku. Sementara Bapak, di mataku adalah orang yang tak mungkin bisa akur denganku."
"Karena kita tak akan bisa akur makanya saya memintamu untuk menolong saya."
Senja menautkan alisnya rapat, terheran-heran menatap Sabda.
"Nanti akan saya jelaskan padamu semuanya. Saya hanya ingin meminta kepastianmu. Jika kamu setuju, maka untuk sekarang itu sudah cukup bagi saya." Sabda menarik napasnya dalam. Menahan gemeretakan di giginya.
"Aku tidak menyukai Pak Sabda. Mana mungkin aku menyetujui ajakan Bapak. Lagian masih banyak hal yang ingin aku lakukan." Senja menimpali sinis kalimat Sabda, sudah lebih santai dari yang sebelumnya. "Kalau pun aku akan menikah, itu nanti-nanti Pak, bukan sekarang. Dan yang pasti tidak dengan Bapak."
"Siapa bilang saya menyukaimu?" seperti Senja, Sabda sudah tak setegang sebelumnya. Gema ucapan bundanya perlahan juga mulai memudar di udara. "Saya memintamu menolong saya untuk menjadi istri, bukan untuk menyukai saya. Sebentar pun tak apa Senja. Saya akan pastikan selama kita menikah kamu tak akan mengalami kerugian apa-apa."
"Apa karyawan di sini tahu kalau Pak Sabda yang mereka segani sebenarnya gini orangnya, Pak? Kok aku ngerih-ngerih takut liat Bapak sekarang ya?!"
"Karyawan di sini tidak ada yang seperti kamu, Senja. Mereka menghargai saya. Bicara selalu memilih kata yang tak akan menyinggung perasaan saya karena saya juga begitu kepada mereka." Sabda melangkah pelan, menuju ke kursinya dengan mata yang tak menatap sedikit pun ke arah Senja. "Baru kamu satu-satunya gadis yang berani menantang saya. Mendesak saya bahkan mengatakan saya jahat dan kelewatan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Nonfiksi[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...