-🌤-
.
.
Niat menentukan segala. Menjaganya agar tetap lurus menjadi beban yang sebenarnya bukan beban jika tak membiarkan kesempitan hasrat dan kedangkalan akal masuk di dalamnya. Sabda tahu tujuannya menikahi Senja untuk apa. Dan meski kini ia sudah sah menjadi suami gadis manis itu, ia benar-benar sanggup memposisikan dirinya disetepat-tepatnya posisi.
Hanya berdua saja, di kelilingi dinding, ada atap, tiada manusia lain yang akan tahu, bagi Sabda itu semua belum cukup untuk membuatnya menggoyahkan niat awalnya. Bahwa ia menikahi Senja agar ibunya berhenti merendahkan diri kesana-kemari demi mencari jodoh untuknya. Bahwa ia menikahi Senja agar dirinya tak berbohong pada sang bunda soal ketidaksetujuannya dipertemukan dengan Alifa, dan juga agar tak menambah titik noda di hatinya saat ia—secara kebetulan atau tidak—terus-menerus terlibat dalam urusan Senja.
Mereka berjumpa dengan awal yang tak menyenangkan, lalu diikuti pertemuan yang semakin tidak baik setelahnya, saling berdebat, terus menyalahkan, bahkan sempat-sempatnya berjumpa di restoran mahal dalam keadaan Senja yang berbeda, semuanya mengantarkan Senja menjadi gadis paling mengganggu ketenangan hidup Sabda dan paling sering Sabda tatap jika dibanding gadis lainnya di perusahaan.
Menghalalkan Senja bagi Sabda adalah jalan terbaik disituasi saat ini. Sebab pernikahannya membuat ia tak perlu lagi khawatir akan warna di hatinya jika ia masih harus terus terlibat dalam urusan Senja. Sudah tak ada lagi batasan untuk menatap Senja melebihi kadar ketidaksengajaan menatap. Sungguh, sudah tidak ada lagi batasan.
...
Usai berkata kesal pada Senja karena gadis itu tak merespon dengan tepat penyambutan ramahnya, Sabda berlalu meninggalkan Senja, berjalan pelan menuju lemari buku yang ia letakkan bersusun tiga di ruang tengah.
Ruangan di unit Sabda memang tak besar dan mewah. Barang-barang yang ada juga hanyalah barang-barang seperlunya saja. Tapi jendela kaca yang seluas dinding dan menghadap langsung ke arah timur menjadikan suasana di ruang tengah unit itu benar-benar terasa elegan. Terlepas dari minimnya perabotan elit yang mengitari, memandang langit lewat jendela kaca yang besar sudah lebih dari sekadar merasa mahal.
"Pak Sabda," suara Senja renyah menyapa Sabda. Gadis itu baru selesai mengganti pakaiannya tapi tak melepas jilbabnya. Berusaha akrab walau hatinya kini penuh dengan asap.
Senja nampaknya sudah melupakan kalimat yang tadi Sabda ucapkan, tak lagi penasaran apa artinya karena kini ia sedang berusaha membangun suasana. Terlalu canggung jika hanya diam-diaman saja. "Pak, dengan semua kemerahjambuan yang terpampang di kamar Bapak, apa Bapak masih bisa tidur dengan nyenyak?
"Warna apa pun, kalau mata sudah terpejam, maka tak ada lagi bedanya."
"Ya tapi lucu aja lho Pak, nuansa kamar Bapak mirip sama kamar ABG pecinta seblak manis, kiyoot. Masa Bapak nggak merasa aneh pas ngeliatin sekitaran sebelum tidur? Kalau Bu Nadine tahu, Bu Nadine pasti langsung tertawa sampai mengeluarkan air mata. Hahaha."
Sabda menoleh ke arah Senja, menggeleng pelan.
"Oh ya Pak, setelah aku menerima gaji magang pertamaku, apa Bapak mau nambah koleksi? Aku hadiahi Bapak sepasang sandal hello kity yang warna pink ya? Atau handuk pink? Hehe. Tapi baju tidur pink seru juga kayaknya, ya kan Pak?"
Sabda terbatuk pelan. Menatap Senja kesal.
"Jangan malu Pak, aku janji ini rahasia antara kita aja kok. Aman mah aman. Bapak cukup percaya kalau kemerahjambuan Bapak akanku jaga rapat-rapat. Nggak akan aku kabari ke Bu Nadine dan Bu Novita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Non-Fiction[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...