Keping 6 : Berbalas Salam

100 14 2
                                    

-🌤-

.

.

Awan kelabu, langit gelap, dan udara yang terasa dingin menjadi kombinasi yang sangat pas untuk menemani tidur pagi setelah terjaga sebentar. Sayangnya hari ini bukan tanggal merah, tidak boleh libur dan tak ada kata tunggu lima menit lagi untuk menyambung tidur yang dirasa belum puas.

Senja sudah duduk di bus kota tujuan halte bus yang letaknya tak jauh dari kantor magangnya. Pergi sendiri tanpa menghubungi Puji karena mereka tinggal di dua lokasi yang berbeda. Baru akan bertemu ketika setelah sampai di kantor saja.

Pagi ini Senja terlihat sangat lelah, maklum, ia baru sampai di kontrakan pukul satu dini hari tadi, lalu harus menyiapkan segala keperluan magangnya dan tidur terlambat karena itu.

Mata Senja sebenarnya berat untuk diajak bekerja sama. Gadis itu merasakan seperti ada anaconda gembul yang menggulung rapat di atas kelopak matanya. Berbeban. Nyaman jika ditutup saja dari pada dibuka.

Sayanganya, baru sebentar gadis manis itu memajamkan mata, sosok Sabda tiba-tiba terlintas, mengomelinya sambil melempar kertas dengan kasar ke arahnya.

Senja terlonjak karenanya, lalu berteriak minta maaf sambil mengusap pelan matanya. Ia tak tahu kalau kemunculan Sabda bukan nyata. Maka saat ia membuka matanya dan melihat banyak pengguna bus menatapnya heran, Senja hanya bisa menunduk malu dan kembali duduk patah-patah kebangkunya.

Gadis berjilbab biru laut itu memukul bibir dan dahinya bergantian, menggerutu asal. "Kau sudah ahli ya Senja bikin malu diri sendiri? Sadar Senja! Sadar!"

Senja tak lagi mau mengangkat wajahnya. Ia merasa bahwa mata para penumpang yang ada disekitarnya masih mengawasinya. Membuatnya merasa malu teramat malu untuk kembali menatap belasan pasang mata itu.

Padahal semalam Senja bekerja, berjumpa banyak orang dan berinteraksi dengan atasannya di The Golden Shine.

Tapi Sabda, entah kenapa Sabda yang baru saja menjadi atasannya seumur jagung dan tak ia kenal-kenal amat malah muncul dalam tidur selayangnya sambil memberikan kesan yang menakutkan. Membuatnya semakin merasa menyesal mendaftarkan diri ke Perkasa J Djaya Construction.

Awan kelabu, langit gelap, dan udara yang terasa dingin nampaknya memang benar-benar wujud gambaran dari perasaan Senja saat ini. Yang semakin dekat dengan kantor, semakin merasa kembung tak jelas.

...

"Sepertinya pagi ini cuaca tidak bisa diprediksi, kita tak tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Kalau kami pergi ke kantor gubernur dengan motor, bukankah akan sangat berisiko, Mbak?" Juki menghadapkan tubuhnya pada Novita, menyeruput kopi hitamnya dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya ke meja kerja.

"Mobilku sedang dibawa suamiku, Juki. Aku datang ke kantor dengan taksi online." Novita langsung paham maksud ucapan Juki. Dan memberikan jawaban yang tak bertele-tele pada pemuda berkawat gigi itu.

Juki tak bisa membalas apa pun ucapan Novita barusan. Ia sudah mendapat kepastian atas apa yang ia inginkan.

"Kalau mau pakai mobil, bawa mobil kantor aja. Biar aku pinjamkan ke bagian sanpras." Marlo yang sedari tadi sibuk mengelap komputernya tersenyum samar pada Juki. Lalu menatap Novita sambil mengedip.

"Emang bakalan dapat kalau kau pinjam ke bagian sanpras? Atas alasan apa? Bukannya biasanya ribet minjamnya?" Juki menyela tawaran Marlo. Menautkan dua alisnya. "Kecuali kalau ada yang pendarahan, baru bakalan dapet."

"Ya udah, kalo gitu retakin dulu kepalamu." Marlo tertawa, mencibir pada Juki. "Semakin banyak darah yang keluar, semakin lancar aku meminjamnya."

Juki kesal, menggertak Marlo dengan tinju di awang.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang