Keping 15 : Tak Pernah Jadi Mantan

93 12 1
                                    

-🌤-

.

.

"Senja bangun! Apa kamu mau mendhuhakan subuhmu?"

"Setelah mandi saya akan pakai kamar sebentar. Kamu dilarang masuk. Lakukan apa pun yang kamu mau lakukan tapi jangan mendekat ke pintu kamar."

"Saya tak terbiasa sarapan. Jika kamu mau buat sarapan, di lemari es ada beberapa bahan, buat untuk dirimu sendiri."

"Oh ya, kalau kamu mau memasak air minum, lebihkan untuk saya segelas. Tolong seduhkan teh tanpa gula. Kotak tehnya ada di dekat wadah bumbu-bumbu."

"Perlengkapan mandimu pisahkan dari perlengkapan mandi saya. Jangan digabung!"

"Lihat langkahmu Senja! Kamu hampir menghancurkan kardus itu!"

"Senja jangan...!"

"Senja kamu tak boleh...!"

"Senja!"

"YA SENJA!"

Atasan atau suami? Senja tak tahu lagi siapa yang sekarang sedang bersamanya. Suara Sabda, sedari ia bangun tidur tadi tak pernah absen menjamah gendang telinganya.

Suasana pagi yang damai seperti di kontrakan tak ia temui lagi. Setelah bertahun-tahun ia mengurus dirinya sendiri, kini ia memiliki seseorang yang selalu berbicara padanya tanpa henti. Aneh di telinganya. Lebih aneh di otak dan hatinya.

Kini gadis manis itu sudah siap dengan setelan formal berangkat kerja, rok hitam yang senada dengan warna jilbab dan kemeja kotak-kotak coklat susu. Sederhana.

"Dari tadi Bapak ngelarang ini ngelarang itu, atur aku begini, atur aku begitu, nggak capek apa Pak?" Senja memberikan Sabda segelas teh hangat tanpa gula. Duduk di sebelah sang atasan yang baru selesai memasang kaus kaki. "Aku aja yang cuman dengerin Bapak ngomong ngerasa capek, masa Bapak yang ngomong nggak capek?"

Sabda tersenyum samar, menghirup teh yang Senja berikan padanya dengan khidmat.
"Saya hanya mengingatkan. Ini pagi pertamamu berada di sini, jika saya tak bersuara untuk mengarahkanmu, kamu pasti akan mengacaukan tempat ini."

Senja mencibir. Setelah itu balik tersenyum samar.

"Teh ini..." Sabda melirik tehnya sejenak, lalu bertanya lancar, "kamu tidak memasukkan racun ke dalamnya 'kan?"

Senja berdiri dari duduknya, melangkah menjauhi Sabda, bermaksud untuk mengambil tasnya. "Kalau permintaan tolong sudah diwujudkan, bukankah harusnya terima kasih yang diucapkan? Kenapa Bapak lupa dengan pelajaran moral sesederhana itu?"

Sabda tertawa pelan. Menatap teh hambar pertama yang disediakan seorang gadis untuknya, lalu menggeleng samar tak percaya.

Lelaki tinggi berhidung mancung itu tak menyangka bahwa Penguasa Langit benar-benar memberikannya kesempatan untuk merasakan pagi yang seperti ini.

Sungguh pagi yang berbeda dari pagi-pagi yang pernah ia lewati. Seseorang bersamanya kini, melihat wajah bangun tidurnya dan mendengar semua ocehannya.

...

Senja turun dari taksi online dengan tegesa-gesa, lalu berlari menuju gedung perusahaan. Jika gadis manis itu tak mempercepat langkahnya, ia akan terhitung terlambat, dan jika ia terlambat, laporan akhir magangnya akan rusak, menyebabkan akan ada nilai kedisiplinan yang tak terpenuhi.

Apartemen Sabda memang dekat dari perusahaan, namun tetap saja jika berjalan kaki akan memakan waktu hampir setengah jam. Karena rute yang memutar. Karena kepadatan pagi yang mengular.

Sabda Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang