-🌤-
.
.
"Pak, kalau nggak mau makan ayam kriuknya, sini untuk aku aja. Mubazir itu nggak baik lho. Sebelum Bapak direkrut bos setan buat jadi member groupnya, izinkan aku menyelamatkan Bapak, oke?!"
Kini, mereka sudah duduk berhadapan disebuah tempat makan pinggir jalan yang memang buka dan tetap ramai bahkan saat dini hari. Sebenarnya bukan pilihan tepat untuk makan makanan berat dijam segini, namun apa daya, Senja memang belum mengisi tenaganya sedari pulang kerja tadi. Dan tawaran Sabda untuk mengajaknya makan setelah melihat penampilan kusutnya bukanlah tawaran yang bisa gadis manis itu buang begitu saja.
Sabda tertawa. Menggeleng samar. Matanya menyipit menatap fokus gelas teh yang ada di depannya. "Jadi kamu tahu kalau orang yang mubazir itu temannya setan?"
Senja mengangguk mantap, tangannya cepat mencocol sobekan daging ayam ke sambal terasinya. "Tentu tau dong. Di panti dulu aku 'kan sering diteriakin ama ibu asuh untuk nggak buang-buang makanan. Kata ibu, panti nggak nerima anak selain anak manusia. Yang buang makanan, yang udah jadi temen setan, disuruh keluar dari panti."
Sabda membuka matanya lebar. Sedikit terkejut. Mengangkat wajahnya ke arah Senja. "Di panti? Kamu... di panti asuhan katamu?"
Senja mengangguk sekali lagi. Mengangkat potongan ayamnya ke awang-awang. Berbicara sebelum mengunyah. "Kenapa Pak Sabda kaget? Nyesel ya maksa nikah? Lagian sih Bapak langsung main ngajak nikah aja. Harusnya Bapak tanya dulu aku ini siapa. Aku 'kan udah bilang kalau aku—"
"Tak punya orang tua atau pun saudara." Sabda memotong cepat ucapan sang gadis. "Ternyata itu bukan alasan asal-asalan untuk menolak kesepakatan yang saya ajukan."
"Bapak kira aku mengarang soal itu?"
Sabda diam. Tangannya kaku menggenggam gelas teh.
Lelaki itu susah payah menarik napasnya. Bergumam di dalam hati. Memasang raut penuh sesal yang sulit ia sembunyikan. "Itu makanya dia terlihat sangat marah dan kesal pada saya saat saya secara sepihak memutus kerja paruh waktunya, tak bertanya terlebih dahulu padanya, tak mencari tahu dahulu siapa dia sebenarnya."
"Kenapa Bapak bengong gitu?" Senja menyadari kalau Sabda terdiam cukup lama. "Pak Sabda terharu dengan kisah hidupku yang sama sekali nggak ada jaya-jayanya? Santai aja Pak, nggak usah tersentuh. Aku orangnya nggak suka dikasihani."
"Jadi selama ini kamu kerja paruh waktu itu benaran untuk mencukupi hidupmu? Bukan untuk mengisi waktu luang saja?" Sabda mengabaikan kalimat Senja. Bertanya hal lain demi memenuhi rasa penasarannya.
Senja tertawa renyah mendengar tanya Sabda yang tertuju padanya. Gadis itu menyesap terlebih dahulu air minumnya sebelum menjawab pertanyaan Sabda. "Pak Sabda atasan yang nggak peka apa gimana sih? Di mana-mana ya Pak ya, mana ada orang ngisi waktu luang mau-maunya kerja ampe tengah malam? Mending rebahin tulang dari pada banting tulang, iya kan?"
"Makanya kamu bilang kalau kamu tak kerja kamu tak bisa makan?"
Senja mengacungkan jempolnya ke wajah Sabda. Mengangguk mantap. "Tapi sekarang udah nggak gitu lagi kok Pak."
"Kenapa?" Sabda menautkan dua alisnya rapat. Fokus menaikkan radar kepo.
"Karena udah ada isi dompet Bapak yang membantuku untuk memenuhi kebutuhan jangkrik-jangkrik di lambungku." Senja tersenyum. Dan senyumnya indah sekali menghiasi wajah.
Sabda cepat mengambil gelas teh yang ada di hadapannya. Menyesap minuman itu demi menutupi keterkejutannya usai disenyumi Senja dengan tulus. Terpaksa menahan panasnya suhu teh. "Pantas Robi tak bisa memecatnya begitu saja. Restoran mewah itu pintar memilih pramusaji mereka. Tahu cara menggunakan aset wajah Senja dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Non-Fiction[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...