-🌤-
.
.
Jika tadi Sabda begitu lega usai mendatangi Adnan untuk menyelesaikan duduk perkara antara pria itu dan Senja, mendapati Senja meneleponnya sembari mengabari kalau Sumayah membawakan makanan favoritnya ke kantor, kelegaan yang sempat menyapa pria tinggi dengan pahatan hidung paripurna itu seolah mengungsi ke Sahara.
Sabda kembali merasa gundah tak jelas, deg-degan tak karuan. Susah sekali menenangkan gejolak di dadanya padahal yang akan ia temui adalah ibunya sendiri. Kemarin-kemarin ia tak begini. Bahkan saat kumpul keluarga, ia bisa menyikapi pertemuan antara Senja dan Sumayah dengan begitu santai.
Hanya karena Senja menantangnya, mencipta kondisi untuknya melibatkan perasaan agar gadis itu bisa mempertimbangkan apakah Sumayah perlu tahu rahasia di balik pernikahan mereka atau tidak sebelum mengakhiri kesepakatan, Sabda mendadak menjadi tak kenal dengan dirinya sendiri.
"Kau tak benar-benar menyukai gadis itu 'kan Sabda? Tadi kesal pada Adnan, sekarang deg-degan karena bunda datang." Sabda memburu langkahnya menuju ruangannya. Berbicara heboh dalam hati untuk menghakimi diri sendiri. "Seandainya semua memang harus disampaikan pada bunda karena kau mustahil melibatkan perasaanmu, apa yang sebenarnya kau takutkan ha? Mengecewakan bunda atau kehilangan Senja?"
Jam istirahat siang tak panjang, siapa saja bisa datang ke ruangan untuk menemuinya. Akan sangat susah sekali dijelaskan jika orang-orang melihat ada Senja dan Sumayah makan bersama di sana.
"Assalamualaikum. Maaf Sabda datang kelamaan, Bunda." Sabda langsung menyongsong ibunya yang terlihat sedang asyik bercerita dengan Senja sesaat setelah ia membuka pintu ruangan. Menyalami wanita tua itu sambil berusaha mengatur warna wajahnya agar tak terkesan canggung. Untung tak ada rekan kerjanya yang lain di sana. "Tadi Sabda ada urusan ke luar."
Sumayah tersenyum lebar, menjawab salam sang putra diikuti celotehan panjang setelahnya. "Tak apa Nak. Sekarang bunda tak perlu ragu lagi buat datang ke kantor kamu untuk antar makanan kapan pun bunda mau, 'kan ada Senja. Kalau kamu tidak sedang ada di kantor, selalu ada mantu bunda yang bisa bunda temui. Iya 'kan Senja?"
Senja mengangguk cepat, tertawa renyah demi merespon tanya Sumayah.
Sabda menatap Senja sejenak usai mendengar kalimat Sumayah. Gadis manis itu tak tahu harus apa selain hanya tersenyum kikuk demi membalas tatapan Sabda.
"Bunda bawa makanan kesukaanmu. Kamu tidak sedang shaum 'kan?" Sumayah cekatan membentang tentengannya. "Bunda buat cumi bakar dan sambal ijo, kebetulan kemarin Shabiya ngirimin cumi banyak banget. Bakalan kliyengan bunda kalau ngabisinnya sendirian."
"Tidak Bun, hari ini Sabda sedang tak shaum."
Tanpa dikode oleh Sabda, Senja ikut menyamai cekatan tangan Sumayah. Membantu ibu itu menyalin lauk pauk ke wadah makan, lengkap dengan nasi. "Biar Senja aja yang ngambilin punyanya Mas Sabda, Bun."
Sumayah tersenyum. Sementara Sabda kaku menelan ludahnya.
"Ngomong-ngomong soal saum yang Bunda dan Mas Sabda mention tadi, apaan itu ya Bun? Hubungannya sama makan siang apa?" Senja polos bertanya, matanya berbinar bak balita haus perhatian. Namun tangannya terulur cepat pada Sabda yang duduk di dekat Sumayah.
Sabda mengambil wadah yang Senja ulurkan, lalu pindah duduk ke dekat sang istri. Reflek menggantikan Sumayah untuk menjawab pertanyaan Senja. "Bukan sa tipis, Senja. Pengucapannya pakai huruf hijaiyah shod. Jadi dilafalkan shaum, tidak saum. Arti harfiahnya menahan diri, lebih lengkapnya mengekang atau menahan diri dari sesuatu."
![](https://img.wattpad.com/cover/360904849-288-k716559.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Sang Senja
Saggistica[CERITA KE 6] 🌤 Kategori : baper mateng "Cinta abadi itu bukan tentang seberapa lama ikatan terjalin, tapi tentang seberapa besar Allah dilibatkan." . Sabda Ammar Ankara telah jatuh pada keanggunan Mayzahra semenjak dirinya masih remaja. Dan pernik...