6

14.9K 1.1K 19
                                    

"Oh tidak, apa kau melecehkanku?!"

Telinga Ardan berdengung, pagi-pagi mendengar suara melengking Keizaro. Kedua alisnya menyatu, melihat bagaimana tingkah Keizaro seakan ia adalah korban pencabulan.

"Berhenti melihatku, seakan aku pria tua cabul yang haus belaian," cetus Ardan kesal.

Keizaro mendengus. "Wah ... kau memang seperti itu, lihat siapa tadi yang memelukku erat, ya Tuhan ... kau pasti sengajakan," ucapnya.

Ardan menghela napas, cerewet, berisik, banyak omong. Itu semua definisi Keizaro. Ardan ingin sekali melempar bocah itu ke laut.

"Oh ya, teruslah bermimpi. Ingat siapa yang malam tadi menangis dan tak mau melepas pelukannya, kupikir itu kau ternyata aku salah, yang semalam hantu gentayangan sepertinya," tutur Ardan, membuat Keizaro menganga.

Keizaro baru menutup mulutnya saat Ardan membanting pintu kamar mandi. Apa yang dikatakan Ardan membuat Keizaro malu sendiri, ia menungging menenggelamkan kepalanya pada bantal, malu atas tingkahnya semalam.

"Ya Tuhan, sibodoh Kei." Keizaro memukul-mukul kepalanya, ia seperti anjing manis semalam. Itu sangat menjijikan, pikirnya.

Keizaro merutuki perbuatannya, saat tengah membayangkan kebodohan semalam, ponselnya berdering. Keizaro langsung mengangkatnya saat nama 'Ayden' tertera di sana.

"Hallo,"

"Hallo, apa aku menganggumu?"

"Tidak,"

"Bisa kau jemput aku di bandara, ibu bilang rumahmu tak jauh dari bandara,"

"Baiklah."

Keizaro mematikan sambungan secara sepihak, Ayden sudah kembali. Ya, beberapa tahun ini pria itu tinggal di luar negeri guna mencapai cita-citanya, bahkan Ayden kuliah di sana dan itu sungguh membuatnya iri, bagaimana kakaknya itu selalu di jenguk oleh ayah dan ibunya hampir dua bulan sekali. Sebenarnya yang membuang-buang uang itu Ayden bukan dirinya.

Keizaro menggelengkan kepalanya, tak seharusnya ia beginikan? Ayden tak tahu apapun, pria itu sudah cukup menderita dengan sakitnya seharusnya Keizaro mengerti dan ikut mendukung keinginan sang kakak.

______

Di sinilah Keizaro sekarang berdiri dilautan manusia yang hilir mudik ada yang datang dan ada yang mau pergi. Dari kejauhan Ayden sedikit berlari menyeret kopernya.

"Aku merindukanmu!" Ayden memeluknya erat, Keizaro hanya tersenyum tipis.

"Kau setinggi ini, ya ampun padahal kita baru tak bertemu beberapa tahun," sambungnya.

Keizaro masih diam, ia melihat betapa manisnya sang kakak walaupun wajahnya pucat tak melunturkan kadar kemanisannya, ia bertolak belakang dengan Ayden, jika ia keras dan sulit di atur Ayden berbeda. Pria itu lembut, halus dan mudah di atur.

"Kei ... "

Lamunan Keizaro buyar saat Ayden melepas pelukannya lalu menatapnya penuh selidik.

"Ada apa?" tanyanya.

Keizaro menggeleng, ia memberikan senyuman manis yang kaku.

"Ayo pulang," ucap si empu. Ia membantu Ayden membawakan kopernya. Keizaro masih tergugu akan kemanisan sang kakak, lihat cara berpakaian Ayden. Itu sungguh luar biasa, layaknya submisif manis pada umumnya, sangat indah.

Selama perjalanan Keizaro hanya diam mendengarkan cerita Ayden yang terdengar menyenangkan. Pria itu berhasil menggaet keinginannya, menjadi seorang dokter bedah. Bukankah itu luar biasa? Ayden definisi submisif paket komplit. Dari dulu Ayden ingin menjadi dokter karena katanya, 'sakit itu tak enak, aku ingin membantu mereka yang sakit agar kembali sehat' Keizaro masih ingat ucapan itu saat dimana kelulusan sekolah Ayden dulu.

Mobil sudah sampai terpakir apik dihalaman rumah, Keizaro turun begitupun Ayden. Dari semenjak menikah ia baru kembali menginjakkan kaki ke rumah ini. Keizaro dan Ayden berjalan beriringan.

Ayden terlihat sangat antusias, ia bahkan memencet bel dengan begitu semangat. Senyumannya semakin riang saat pintu terbuka dan menampilkan sang ibu, Ana.

"Ibu!" Ayden memeluk Ana erat, ia melontarkan gumam penuh rindu pada sang ibu.

"Ibu sangat merindukanmu sayang." Ana menciumi wajah Ayden layaknya sang ibu yang gemas pada anak kecilnya, ia memeluk Ayden membawanya ke dalam, meninggalkan Keizaro yang masih berdiri diluar dengan koper sang kakak.

Keizaro tak pernah merasa benci pada Ayden tapi ia benci pada perlakuan ibunya yang begitu menyayangi Ayden dan membuatnya merasa seperti anak tersisihkan.

Keizaro menyeret koper, ia masuk dengan malas. Di sana, ia dapat melihat sambutan untuk Ayden, meja makan di isi penuh dengan makanan kesukaan Ayden.

"Kau harus segera makan,"

"Perjalanan dari sana pasti sangat melelahkan,"

"Ayden ayolah."

Keizaro hanya menunduk, ia menghampiri meja makan di mana Ayden yang melambaikan tangan menyuruhnya datang.

"Aku akan makan jika Kei juga makan," ucap Ayden.

"Pasti, ayo Kei makan. Cepat duduk."

Dimana nada kelembutan tadi? Keizaro merasa tak mendengar kelembutan dalam nada perintah untuknya, berbeda saat Ana bicara dengan Ayden. Ia duduk di samping Ayden, berusaha mengenyahkan pikirannya.

"Bagaimana kuliahmu Kei?" tanya Ayden.

"Ba-"

"Dia itu tak mencontoh dirimu Ay, kadang ia membolos saat mata pelajaran. Bahkan ibu sampai dibuat pusing dengan segala tingkahnya, kemarin baru saja ia hampir ditahan polisi untung suaminya yang datang," sela Ana.

Keizaro hanya menunduk, benar semua yang dikatakan sang ibu tak ada yang salah.

"Kei ... bukankah kau sudah menikah, aku yakin kau pasti berubah, jadi ibu ... jangan terlalu menekan, Kei masihlah anak-anak," ujar Ayden.

"Ouh, itu karena kau selalu memanjakan adikmu itu, lihat bagaimana ia menjadi pribadi yang berandal," tutur Ana.

Ayden hanya terkekeh, ia mulai menyuapkan makanannya. Sedangkan Keizaro bahkan merasa tak selera dengan makanan yang ada dihadapannya, selain semuanya bukan makanan kesukaannya itu karena perbincangan barusan.

Keizaro hanya memakan nasinya saja, tak ada satupun lauk yang bisa ia makan. Ia alergi dengan makanan kesukaan Ayden, itu nyata bukan mengada-ngada ia memang tak bisa makan dengan semua itu. Dari pada mati lebih baik tak memakannya sama sekali.

Perbincangan Ana dan Ayden berlanjut terdengar asik sampai tak menyadari bagaimana raut datar Keizaro, bagaimana tak nyamannya si empu duduk di samping Ayden.

Keizaro tersenyum nanar melihat tawa keduanya, keluarga bahagia huh? Anak dan ibu yang harmonis? Menyedihkan.






Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang