22

14.4K 1.2K 165
                                    

Keizaro menjenguk Ayden setelah si empu di rawat enam hari ini, mau bagaimanapun pria itu tetap saudaranya. Kondisi Ayden semakin hari semakin buruk, seolah mendukung permasalahan yang tengah terjadi agar segera diredam. Keizaro menatap Ayden tanpa ekspresi. Di sana ada Ardan yang setia duduk menemani Ayden di sebalah kiri dan di kanan ada Ana dan ady, kedua orang tuanya.

Kedatangan Keizaro bahkan seolah angin lalu, bak tak terganggu dengan langkah kakinya atau bahkan dengan suara pintu terbuka, mereka hanya terpaku pada Ayden.

Keizaro menyimpan buah tangannya di atas nakas. Ia melirik Ardan, dominan itu sudah beberapa hari ini tak pulang  ke rumah dan sulit dihubungi tapi saat tempo hari diberi tahu mengenai kondisi Ayden, Ardan langsung datang. Tak adakah niat hati menjelaskan sesuatu padanya? Keizaro tersenyum kecut.

Saat kakinya akan kembali melangkah lagi keluar, suara lemah nan serak milik sang kakak menghentikannya.

"Kei ... "

Keizaro membatu, ia enggan berbalik hanya menghentikan langkahnya saja.

"Mau kemana? Jangan pergi," sambung Ayden. Suaranya sangat serak.

Keizaro seolah tuli ia kembali melangkahkan kakinya sebelum mendengar intrupsi Ardan.

"Jangan pergi selangkahpun dari sini, kemarilah." Ardan berucap dingin.

Keizaro berbalik, ia tersenyum tipis. Kedua matanya menatap orang-orang yang berada di dekat Ayden. Perkataan Ardan seolah mutlak membuatnya tak bisa menolak.

"Aku datang hanya sebentar, hanya ingin memastikan jika Ayden masih hidup," tutur Keizaro.

Ana mendengus, ia beranjak pergi. Entahlah jika berada dalam satu ruangan dengan Keizaro, rasanya panas. Kepergiannya di ikuti oleh Ady, pria itu lebih memilih mengikuti sang istri.

Keizaro masih mempertahankan senyumannya walau dalam kondisi seperti ini, ia menghampiri Ayden lalu duduk ditempat yang tadi ibunya duduki.

"Kau sudah makan?" pertanyaan itu lolos begitu saja.

Bukan Jawaban yang Keizaro terima melainkan derai air mata yang mengalir dari pelupuk mata Ayden, submisif itu  menatap sang adik yang sudah ia sakiti perasaannya.

"Ar, bisakah kau tinggalkan kami berdua?" Ayden berucap lemah.

Ardan tersenyum lalu mengangguk, ia beranjak pergi meninggalkan keduanya.

Wajah pias Ayden sangat kentara, walau begitu seperti biasa wajahnya tetap manis tak luntur akan wajah pucat pasi itu.

Ayden meraih tangan Keizaro, tangisnya semakin pecah saat merasa tangan sang adik yang dulu selalu ia genggam sewaktu kecil. Ayden masih ingat bagaimana tangan itu selalu ter-ulur saat ia jatuh, dari kecil Keizaro yang selalu melindunginya walau ia seorang kakak tapi ia tak pernah bisa menjadi tameng untuk sang adik bahkan ia tak pernah bisa melindungi Keizaro dari amukan ibunya.

"Maaf," ucap Ayden. Ego yang beberapa lalu sempat mengalahkannya kini telah mengembalikan kewarasannya.

"Maaf aku tak pernah menjadi kakak yang baik untukmu, maaf telah menjadi luka dalam untukmu. Aku menyayangimu Kei, sangat. Di saat banyak orang yang menjauhiku sewaktu sekolah kejuruan, kau akan datang menjadi pelindungku. Walau saat itu kau masihlah anak sekolah menengah, kau terlihat begitu kuat. Kau tahu? Dalam hidup ini hal yang sangat aku syukuri adalah menjadi kakakmu," tutur Ayden dengan suara bergetar.

Keizaro membuang pandangannya, ia selalu tak kuasa dengan tatapan lemah itu. Keizaro begitu mengenal Ayden, ia tahu Ayden bukanlah orang yang bisa menyakiti orang lain dan benar saja lihat, bagaimana Ayden menjadi sosok yang lemah kembali bukan Ayden yang keras kepala seperti tempo hari.

Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang