11

14K 1K 131
                                    

"Ayden, dia mengenyam perguruan tinggi atas keinginannya di luar negeri. Kami kurang dekat, mungkin karena cara berpikir yang berbeda." Keizaro mengeluarkan sebatang rokok.

Keduanya tengah menikmati angin sore di balkon ditemani secangkir teh dengan obrolan ringan.

"Berhenti merokok." Ardan merebut rokok ditangan si empu, ia sangat tak suka Keizaro yang merokok.

"Aku membutuhkannya, lidahku pahit. Ya Tuhan aku bukan Ayden yang akan mati jika merokok," cetus Keizaro mendapat tatapan tajam Ardan.

Bagaimana bisa Keizaro bicara soal kematian seringan itu, lagipula sakit atau tidak merokok itu berbahaya.

Keizaro menyerah tak mau merebut rokoknya kembali, entahlah ia tak mau merusak suasana tenang ini.

"Aku tak tahu ke depannya kita akan seperti apa, kita dua orang yang tak sengaja terikat karena perjodohan klasik orang tua. Mama dan ibu berteman baik. Sekarang kupikir, aku akan fokus pada kehidupanku yang sekarang. Hari ini kau perlu tahu jika aku akan mulai membuka hati dan menerima segalanya, cinta datang karena terbiasa." Keizaro menatap Ardan membuat sang dominan membisu dengan ucapannya.

Di saat seperti ini kenapa Keizaro mau menerimanya? Andai submisif ini tahu, Ayden dan dirinya di masa lalu. Bagaimana keduanya saling mencintai, terlebih Ardan, ia sangat mencintai Ayden, mereka berpisah tanpa alasan yang jelas.

"Apa menurutmu lebih baik aku berhenti kuliah? ibu bilang teknik tak akan ada masa depannya dan kupikir itu benar. Aku hanya membuang uangmu saja," sambung Keizaro.

"Pendidikan itu penting," sahut Ardan.

"Aku sudah menikah, aku akan belajar hal lain selain mata pelajaran kuliah. Aku akan belajar mengurus rumah, mengurusmu, dan hal lainnya. Kupikir submisif memang tak akan jadi apa-apa masuk fakultas teknik," tutur Keizaro. Ia memikirkan hal ini dari kemarin-kemarin. Lagipula selama kuliah yang ia lakukan hanya bolos, itu membuang uang saja, benar kata ibunya.

Ardan membawa Keizaro ke dalam pelukannya, ia resah.

"Jangan berhenti, kau tak perlu menekan dirimu sendiri," bisik Ardan.

Dulu Keizaro selalu mengatakan hal itu pada dirinya sendiri, tapi lama-kelamaan Keizaro mulai berpikir apa yang dikatakan Ana semuanya benar. Jika Keizaro tak mau dibandingkan, ia harusnya berubah. Keizaro juga harus melihat sudut pandang Ana padanya, wajar saja ibunya marah karena mau bagaimanapun tak ada yang mau memiliki anak begajulan seperti dirinya terlebih itu submisif.

"Jangan berhenti kuliah, mau menghabiskan hari libur dengan mama? Aku akan memberitahunya, jika kau mau belajar banyak hal darinya." Ardan melepas pelukannya, Keizaro mengangguk setuju dengan usulan Ardan.

Ditengah asik perbincangan, ponsel Ardan bergetar, si empu langsung melihatnya. Itu pesan dari Ana yang menyuruhnya datang ke rumah sakit.

"Kenapa?" Keizaro bertanya.

"Tidak, hanya saja ada sedikit urusan di rumah sakit," sahut Ardan tak sepenuhnya bohong.

Keizaro mengangguk. "Yasudah itu pasti sangat penting, segera pergi sebelum sesuatu terjadi," ucapnya.

Ardan beranjak, yang dikatakan Keizaro benar. Takut terjadi sesuatu pada Ayden, tak biasanya mertuanya itu mengirim pesan. Sedangkan Keizaro hanya diam, masih enggan beranjak dari duduknya. Semilir angin menenangkan, ia masih nyaman.

_______

Di sinilah Ardan berada, di ruang inap Ayden. Ia pikir ada situasi genting yang mengharuskannya datang ternyata bukan masalah serius. Infus Ayden terlepas, membuat Ana khawatir.

"Lain kali ibu panggil saja suster tak perlu menunggu aku, agar menghemat waktu. Takutnya karena waktu kondisi Ayden memburuk," tutur Ardan setelah memperbaiki infus si empu.

Ana mengulum bibirnya. "Ibu panik, karena yang dipikiran ibu hanya menantu yang hebat ini makanya ibu menghubungimu," jelasnya.

"Dan juga ibu ada urusan sebentar, jadi ibu ingin minitipkan Ayden padamu." Ana sedikit memohon pada sang menantu.

Ardan menelan salivanya, menemani Ayden? Ayolah omong kosong macam apa, lagipula kenapa harus dirinya? Kenapa tidak Keizaro saja yang sudah jelas adik kandung Ayden.

"Itu akan merepotkan Ardan bu," timpal Ayden lirih.

"Sudahlah, ibu hanya percaya pada Ardan. Kamu diam saja," ucap Ana. "Yasudah ibu pulang dulu. Ardan titip Ayden ya," sambungnya. Lalu pergi tanpa mendengar jawaban Ardan seolah permintaannya tak bisa ditolak.

Ardan tak habis pikir, ia melirik Ayden yang sama kikuk dengan dirinya. Ardan memilih duduk dikursi, ia tak tahu harus apa.

"Aku tak tahu jika yang menikahi adikku adalah kau," cetus Ayden tiba-tiba.

Ardan mendongak menatap Ayden yang memasang senyum tipis, submisif itu tampak lebih baik sekarang mungkin besok juga bisa pulang.

"Ya, aku juga tak tahu kakak dari pasanganku itu kau," sahut Ardan.

Ayden memejamkan matanya sejenak, pasangan? Apa Ardan sudah melupakannya, seharusnya ia biasa saja tapi saat mendengar kalimat itu membuat sisi hatinya ngilu.

"Kau mencintainya?" ucap Ayden lagi. Sudah lama sekali rasanya tak berbincang dengan Ardan.

"Bukankah itu keharusan? Mencintai pasangan sendiri, tak usah bertele-tele katakan apa yang kau ingin katakan sebenarnya," tutur Ardan.

Ayden menggigit bibir bawahnya, Ardan masih sama dengan Ardannya yang dulu yang selalu peka dalam semua hal.

"Jujur saja aku merindukanmu," ungkap Ayden ringan seakan itu hal biasa.

Ardan membelalak tak percaya, Ayden mengatakan hal itu. Omong kosong.

"Aku tak suka omong kosong," sahut Ardan malas.

Ayden terkekeh, ia mendudukan dirinya. Menatap Ardan lekat, Ardan semakin tampan.

"Aku akan mengatakan segalanya, semua hal yang tak aku jawab beberapa tahun lalu, hal yang mungkin sudah membuatmu membenciku waktu itu, Ardan ... aku akan mengatakannya sekarang, tapi setelah malam ini tolong lupakan segalanya. Tolong lupakan juga penjelasanku," tutur Ayden.

Ardan hanya diam membiarkan Ayden mengatakan segalanya.

"Saat kita bersama itu adalah hal terindah, aku begitu merasa beruntung. Sampai kita menghabiskan beberapa tahun,"

"Tapi nyatanya semuanya tabu, manusia sepertiku tak seharusnya mendamba cinta dan memiliki harapan, seperti keinginanmu yang memiliki banyak anak dan membangun rumah tangga yang manis, saat kau mengatakannya itu seolah menyadarkanku, jika bersamaku kau tak akan bisa mewujudkan keinginanmu."

Ardan mencerna setiap ucapan Ayden, submisif itu sudah menangis.

"Kau tahu kan sekarang? Aku sakit Ardan, ini alasan kenapa aku meninggalkanmu, cepat atau lambat aku akan membuatmu terluka dan aku mengambil keputusan itu, aku tak mau jika suatu saat, aku pergi kau akan begitu terluka," sambung Ayden dengan isakan kecil.

Ardan menatap Ayden dalam diam, jadi Ayden meninggalkannya karena ia sakit? Ardan memang baru tahu jika Ayden sakit, tapi alasan Ayden jauh menyakitkan. Selama ini Ardan pikir Ayden memiliki dominan lain, tapi nyatanya di sini bukan hanya ia yang sangat mencintai submisif itu melainkan Ayden juga. Cintanya setara, sama-sama saling tenggelam dalam cinta yang sama.

"Kau mengerti sekarang? Jadi lupakan mulai sekarang, kau bukan Ardanku lagi. Melainkan Ardannya Keizaro," tutur Ayden lirih, ia membaringkan tubuhnya kembali.

Mendengar itu membuat hati Ardan ngilu, berapa lama Ayden memendam segalanya sendiri? Submisif itu begitu memikirkannya, sedangkan ia bahkan baru tahu jika Ayden sakit, itu pasti menyakitkan bagi Ayden.

"Aku tak tahu harus bagaimana Ay ... pasti sakit bukan? Aku masih dengan Ardan yang sama, Ardan yang dulu mencintai mataharinya. Bahkan fotomu denganku masih tersimpan apik dilaci kerjaku."

_____

Link shopee broken klik di bio ha ....

Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang