10

14.4K 1.2K 60
                                    

Langkah Keizaro terasa berat saat masuk ke dalam ruang rawat Ayden, di sana ia dapat melihat wajah pucat sang kakak dengan selang infus menancap apik dipunggung tangannya.

Ayden lemah, pria manis itu tak bisa dikejutkan. Jantungnya tak baik-baik saja, alasan kenapa kedua orang tuanya begitu menjaga si sulung.

Tatapan tajam dilayangkan Ana saat menyadari kehadiran anak keduanya, ia menghampiri si empu menarik Keizaro kasar membawa keluar.

"Shh ... sakit bu." Keizaro merintih.

Ana seakan tuli, ia menyeret anaknya agar sedikit jauh dari ruangan Ayden. Ia membawa Keizaro ke lorong rumah sakit.

"Kau lihat kakakmu huh?" Ana melepas cengkramannya, ia menekan bahu Keizaro.

"Dia sakit, apa kau tak mengerti sedikitpun?" sambungnya.

Keizaro menunduk menatap sepatunya, ia tak tahu jika perbuatannya akan membuat Ayden masuk rumah sakit.

"Coba kau pikir kenapa aku selalu membanggakan dan selalu menyayanginya-"

"Apa ibu tak menyayangi aku?" sela Keizaro, ia mendongak dengan tatapan sendu penuh luka.

Ana berdecih. "Haruskah?" ucapnya.

Keizaro meremat celananya, ia tak tahu apa salahnya sampai Ana berlaku seperti ini. Ia selalu menyayangi Ana, bahkan saat kecil ia akan selalu menunggu Ana makan lebih dulu dibanding dirinya.

"Bu ... maaf," ucap Keizaro serak.

"Jangan keluar batas Kei, sudah cukup. Kamu sudah cukup berontak, jika sampai kejadian ini terulang lagi, ibu tak akan segan-segan untuk menghukum kamu dan untuk sekarang jangan temui Ayden."

Setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi meninggalkan Keizaro dengan goresan luka yang entah untuk ke berapa kalinya. Semua orang mengkhawatirkan Ayden, tapi mereka mengabaikan luka anaknya yang lain. Keizaro berjongkok menahan sesak di dada, ia menutup wajahnya dibarengi isak tangis.

Keizaro tak pernah menangis saat kena pukul musuhnya tapi jika Ana yang memukul hatinya, ia tak bisa. Ia lemah juga dalam hal itu. Ia merasa sangat bersalah pada Ayden, benar kata Ana bagaimana jika kondisi Ayden semakin memburuk, Keizaro tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa pada Ayden, seharusnya ia tak bertingkah berlebihan, wajar saja ayah dan ibunya begitu peduli pada sang kakak, karena Ayden membutuhkan keduanya.

"Mengalah pada kakak."

Keizaro semakin terisak saat mengingat ucapan ayahnya, ia harus mengalah tapi sampai kapan? Kapan akhir dari semua ini. Ayden membutuhkan ayah dan ibu, tapi Keizaro juga butuh.

Dari kejauhan wanita dengan pakaian modisnya menghampiri si empu, ia mengusap bahu bergetar itu.

"Sayang ... "

Keizaro mendongak, ia menghapus air matanya kasar saat melihat wanita paruh baya yang bahkan kecantikannya tak di makan usia, itu Maria. Mamanya Ardan.

"Mama," ucapnya pelan.

"Mama pikir siapa yang menangis di lorong seperti ini, ternyata menantu manis mama. Bangun sayang, ada apa eum? Apa Ardan menyakitimu?" Maria membantu Keizaro berdiri.

Ditanya seperti ini, bukannya tenang air mata Keizaro malah semakin berlomba-lomba keluar. Di saat ibu kandungnya berkata kasar, mertuanya justru mengeluarkan kalimat begitu lembut.

Maria membawa Keizaro ke dalam pelukannya, ia mengusap punggung si empu tak mau lagi bertanya.

"Ceritakan jika sudah tenang," bisik Maria.

Keizaro menumpahkan segala tangisnya, ia memeluk Maria erat. Hal yang tak pernah ia lakukan pada Ana karena segan, Keizaro ingin menangis seperti ini dipelukan Ana tapi ia takut ia sungkan.

"Luapkan sayang, tak apa."

Keizaro mendongak, menatap kedua mata teduh itu. Tatapan yang tak pernah Keizaro dapat dari Ana, ia menggigit bibir bawahnya menahan isakan.

"Jangan ditahan, menangis saja. Ayo ikut mama, agar semakin leluasa menangisnya." Maria menggandeng lengan Keizaro, membawa si empu ke taman rumah sakit.

Keduanya duduk dibangku taman, membiarkan bahunya dijadikan sandaran oleh sang menantu.

"Mama ... apa aku begitu buruk?" ucap Keizaro tiba-tiba.

"Siapa yang mengatakan hal buruk itu pada menantuku huh?" Maria mengusap kepala Keizaro.

Keizaro menggeleng lemah. "Mama, apa mama benar-benar menerima aku sebagai menantu?" ucapnya.

"Tidak," jawab Maria, membuat Keizaro terhenyak.

"Mama tak menerima kamu sebagai menantu, tapi sebagai putra mama. Kamu sudah menjadi putra mama, jangan merasa sendiri jika ada sesuatu katakanlah terlebih jika Ardan menyakitimu," sambung Maria.

Keizaro sesenggukan, ia tak tahu harus mengatakan apa. Di saat tak ada pijakan justru Maria memberikan pijakan lain untuknya, senyuman hangat dan pelukan hangat Maria begitu menenangkan, beginikah yang dirasakan Ayden dari ibunya?

"Sudah menangisnya, jika tak mau menceritakannya mama tak akan memaksa. Mau makan sesuatu?" tutur Maria.

"Tidak, ngomong-ngomong mama sedang apa di rumah sakit?" tanya Keizaro, ia sudah puas menangis. Walau suaranya jadi aneh, ia tak peduli.

"Mama kontrol kesehatan, eh pas di lorong malah lihat kamu," jelas Maria.

Keizaro mengangguk paham, pantas saja Maria terlihat begitu bugar ternyata ibu mertuanya ini begitu menjaga kesehatan dan pola hidup.

Maria merogoh ponselnya dalam tas, ia menghubungi Ardan. Hatinya jengkel karena anaknya itu malah tidak ada saat Keizaro sedih seperti ini.

"Hallo! Dimana kamu huh?! Cepat keluar, ke taman rumah sakit, jika tidak jangan anggap mama sebagai mama kamu lagi!"

Maria segera menutup panggilan setelah meneriaki sang anak, tak menunggu sahutan Ardan. Keizaro sampai melongo dibuatnya.

"Bentar lagi Ardan akan datang, tenang saja, mama akan menjewer Ardan jika dia nyakitin kamu," ucap Maria membuat Keizaro terkekeh.

Benar saja tak lama kemudian Ardan datang dengan raut menyebalkan, ia menghampiri keduanya.

"Ada apa ma?" ucapnya malas.

"Apa yang kamu katakan?! Ardan, bukannya kamu bilang hari ini jadwal kamu sedikit, lalu kenapa membiarkan Kei menunggu!" cerocos Maria. "Dengar ini, jika sampai mama lihat Kei menangis lagi, mama bener-benar akan marah sama kamu Ardan," sambungnya.

Ardan melirik Keizaro, ia bisa melihat kedua mata sembap dan hidup sedikit memerah itu.

"Sekarang bawa Kei pulang, dan ya ... ingat perkataan mama!" ucap Maria.

"Kei sayang, mama pulang dulu ya. Papa sudah menunggu, jika ada apa-apa katakan saja segera hubungi mama." Maria mengecup pipi Keizaro sebelum pergi.

Sisa Keizaro dan Ardan, Keizaro pikir Maria tak akan pergi begitu saja.

"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Ardan.

"Tidak," sahut Keizaro.

"Apa karena masalah semalam?" Ardan kembali berucap.

"Kei ... lain kali jangan melakukan hal itu, jika kau tahu kakakmu tak bisa dikejutkan seperti itu," sambungnya karena tak ada jawaban dari Keizaro.

"Maaf," cicit sang submisif.

"Sudahlah, ayo pulang." Ardan meraih tangan Keizaro untuk digenggam, membawa si empu menuju parkiran.

Sedangkan dari kejauhan Maria masih ada, wanita itu belum pergi. Ia sengaja melakukan ini agar ada waktu untuk keduanya bicara. Maria berbohong tentang kontrol kesehatan, ia khawatir pada Keizaro saat mendengar cerita Ardan semalam.

"Dulu mama menyukai Ayden tapi sekarang mama jauh menyukai menantu mama, mama tak main-main dengan ucapan mama Ardan."

Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang