17

12.1K 1K 163
                                    

Ardan sibuk.

Itulah yang tertanam apik dalam otak Keizaro, submisif itu bahkan lupa kapan terakhir kali keduanya menghabiskan waktu bersama. Ardan selalu saja sibuk dengan profesinya itu, Keizaro mengerti tapi entah kenapa rasanya miris saja. Setiap kali ia membuka perbincangan Ardan akan menghindar dan memilih tidur.

Keizaro menjadi ragu harus memberi tahu Ardan tentang keadaannya, ia takut apa yang ia harapkan justru melukainya. Terlebih setiap hari Ana selalu mengirimi pesan berupa peringatan agar dirinya tutup mulut tentang kehamilan ini.

Keizaro mengusap anjing yang minggu lalu ia adopsi, ia kesepian. Ia sudah fiks keluar dari universitas, Keizaro tak mau terbebani dengan segala tugas kampus, sudah cukup sikap Ardan yang menjadi beban, bahkan ia tak mengatakan hal itu pada Ardan ralat tapi sang suami sama sekali tak memiliki waktu untuknya, hal itu membuat Keizaro tak bisa memberi tahu Ardan.

"Momo apa Ardan tak menyayangiku?" Keizaro mengangkat anjing putih menggemaskan itu, ia menatap sendu si anjing.

"Kau tahu, usia kandunganku sudah jalan tiga bulan tapi Ardan masih belum tahu," sambungnya.

Keizaro memeluk Momo, entahlah ia asal menamai hewan itu. Ia mengadopsi Momo karena kesepian, setelah adanya Momo Keizaro lebih terhibur.

Ia melirik jam dinding ini sudah pukul sembilan malam tapi Ardan belum juga pulang, Keizaro sudah menghubunginya berulang kali tapi hanya operator yang menjawab.

Di saat kau mulai jatuh dalam samudera perasaan, sayatan demi sayatan terasa ngilu mengucurkan darah dari luka yang tak nyata adanya. Sayatan dan luka itu tak ada bentuknya tapi sakitnya begitu menyiksa, Keizaro selalu berpikir apa Ardan tak peduli lagi padanya? Apa Ardan tak bisa menerimanya?

Pernikahan mereka sudah hampir menginjak setahun tapi tak ada perkembangan sama sekali dalam hubungan keduanya justru sebaliknya, malah semakin merenggang.

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi Keizaro dari Momo, ia segera beranjak menuruni tangga dengan antusias saat melihat Ardan baru pulang.

"Akhirnya, kupikir kau akan pulang larut." Keizaro menghampiri Ardan dengan senyuman manis.

"Bisa kita bicara? Ada sesuatu yang harus kita bicarakan," sambung Keizaro.

Ardan menghela napas. "Aku lelah," sahutnya.

Senyum Keizaro perlahan lenyap,  selalu seperti ini. Seolah hanya Keizaro saja yang begitu antusias dalam hubungan ini.

"Hanya dengarkan aku, itu hanya sebentar," ucap Keizaro. Ia tak mau menunda lagi, lagipula bukankah tak baik menyimpan sesuatu terlalu lama?

"Apa segitu pentingnya?" Ardan menyahut kesal, sungguh ia sangat lelah apa Keizaro tak mengerti? Sampai harus merecokinya seperti ini.

Keizaro meremat celananya, entah sejak kapan Ardanya berubah seperti ini. Ada apa sebenarnya, mana Ardan yang penuh perhatian. Apa semua ini salahnya? Sampai Ardan menjadi pemarah seperti ini?

"Sebenarnya ada apa denganmu? Akhir-akhir ini selalu seperti ini, apa yang salah? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah? Katakan!" Keizaro meninggi di akhir, ia sakit hati dengan sikap Ardan yang seperti ini.

"Sudahlah aku lelah, jangan menambah beban pikiran," sahut Ardan tak acuh.

"Ardan coba kau pikir, apa yang sudah kau lewatkan selama ini. Kau selalu pergi pagi buta lalu pulang larut malam, apa jadwalmu memang sepadat itu? Apa setiap hari pasien rumah sakit sampai beratus-ratus, jikapun iya di sana dokter itu bukan hanya kamu!" ungkap Keizaro, ia tak mau lagi diam saja.

"Kau tidak tahu apapun!" sentak Ardan, ia menatap Keizaro dingin. Muak dengan segala ucapan si empu yang memojokkannya.

"Ya, aku tak tahu apapun! Karena itu katakan padaku! Apa sulitnya, kenapa kau seperti ini, bahkan kau tak pernah lagi sarapan dan makan di rumah, apa masakanku semakin buruk?" tutur Keizaro lirih.

Ia belajar masak penuh perjuangan, bahkan sampai jari-jarinya terluka, tapi di saat ia mulai bisa membuat menu yang sulit, Ardan tak pernah makan lagi di rumah.

"Aku juga sudah bisa masak makanan kesukaanmu, setiap hari aku selalu masak itu. Tapi semuanya berakhir terbuang," sambungnya.

Setetes air mata terjun membasahi pipinya, pertama kalinya Keizaro menangisi seseorang dihadapan pelakunya langsung.

"Apa yang salah Ardan, coba katakan padaku." Keizaro mendongak menatap Ardan sendu. Tatapan yang masih dingin, seolah tak bisa dicairkan. Sebongkah es bisa mencair kapan saja, tapi tatapan Ardan saat ini tak hanya dingin tapi menusuk, itu menyesakkan.

"Aku minta maaf jika aku berbuat salah, tapi coba jelaskan apa kesalahan itu agar aku perbaiki." Keizaro mengusap air matanya kasar, ia tak pernah merasa selemah ini dihadapan seorang dominan.

Dari sekian banyak tutur kata Keizaro, sama sekali tak mendapat jawaban dari Ardan. Pria itu memilih pergi, mengabaikan submisif yang sudah terisak pilu, penuh sesak. Memikirkan kesalahan apa yang ia perbuat.

Keizaro terduduk di sofa dengan air mata yang semakin berlomba-lomba keluar, ia tak pernah merasa sesakit ini.

Tangisan Keizaro terdengar sampai kamar, Ardan memejamkan matanya, kedua tangannya mengepal. Sakit juga mendengar tangisan Keizaro, tapi ia bingung harus mengatakan apa. Ardan memijat pangkal hidungnya, ia merasa sudah terlalu jauh.

Ia dan Ayden kembali bersama dan itu keduanya putuskan tanpa sepengetahuan siapapun. Akhir-akhir ini Ardan selalu menghabiskan waktunya bersama Ayden, mengulang hal yang pernah mereka lewati.

Ardan melupakan hubungannya dengan Keizaro, seolah pernikahan ini hanyalah status biasa.

Ardan tahu hal ini adalah salah, tapi ia juga tak bisa mengabaikan perasaannya pada Ayden. Mau bagaimanapun Ayden poros kehidupannya, ia dunianya.

Ardan akan mengatakan hal ini pada Keizaro secepatnya, mungkin saja pernikahan ini akan usai dan tak akan ada yang terluka.

Ardan tak memikirkan perasaan Keizaro yang bahkan sudah tenggelam sendirian dalam perasaannya, Ardan tutup mata akan segala perjuangan Keizaro untuk memperbaiki dirinya.

Mengabaikan submisif yang saat ini menangis pilu, mengabaikan submisif yang tengah mengandung benihnya. Ardan yang egois merasa jika hanya dia yang memiliki perasaan dan masa lalu, melupakan sosok lain yang jauh lebih terluka dan mungkin lukanya begitu menganga sampai tak peduli akan raungan yang begitu menyesakkan.



Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang