29

15.2K 1.2K 163
                                    

Hari bulan berganti, Keizaro sedikit merasa ringan karena Maxim menepati ucapannya. Pria itu selalu ada untuknya, jika dulu Keizaro akan menelan pahit keinginannya justru sekarang ia tak segan untuk meminta pada Maxim.

Keizaro kehilangan peran Ardan sebagai suami dan peran itu seolah di ambil alih oleh Maxim. Sang teman selalu meluangkan waktu untuknya, bahkan sudah dua kali Maxim mengantarnya ke dokter.

Seperti sekarang ia baru saja pulang setelah cek kandungan karena semalam ia merasakan nyeri diperutnya. Keizaro menenteng belanjaan yang dibelikan Maxim saat di jalan tadi. Ia membuka pintu rumah, senyuman yang semula lebar, lenyap saat mendapati sang suami tengah duduk di sofa dengan tatapan tajam, seolah siap mengulitinya.

"Ah, maaf aku pulang terlambat." Keizaro memberikan senyuman tenang, bukan hanya terlambat ia memang tak meminta izin dulu pada sang dominan.

Ardan menghampirinya, tatapan itu seakan menghunus sang submisif. Ia sudah mengawasi segala aktivitas Keizaro jauh-jauh hari dan ia muak melihat bagaimana sekarang Keizaro semakin dekat dengan mantan kekasihmya itu, Keizaro sama sekali tak menghargai dirinya.

"Apa kau puas bersenang-senang di luar bersama bajingan itu?" celetuk Ardan dingin.

"Eum, aku ... membeli cake." Keizaro meremat bajunya.

"Benarkah? Kulihat hampir setiap minggu kau akan pergi dengan priamu," ujar Ardan.

Keizaro mengerutkan kening, priamu? Apa-apaan Ardan ini, Maxim dan dirinya hanyalah teman.

"Kau terlalu berpikiran jauh pak dokter, Maxim hanya temanku sekarang," ucap Keizaro membuat Ardan terkekeh sinis.

Ardan menarik kedua bahu Keizaro, ditatapnya lamat wajah si manis, lalu turun ke perutnya yang semakin besar, wajar saja kan ini sudah menginjak bulan sembilan.

"Aku jadi curiga jika anak ini bukan anakku," cetus Ardan membuat Keizaro mundur beberapa langkah, ia tak percaya dengan ucapan Ardan.

"Kau berlebihan! Aku dan Maxim hanyalah teman sekarang!" pekik Keizaro yang malah disahuti gelak tawa sinis oleh Ardan, tatapan pria itu meremehkan seolah yang dihadapannya hanyalah seonggok manusia tak berharga.

"Omong kosong, kau berlaga seakan aku menyakitimu padahal kau juga menjalin kasih dengan priamu itu 'kan? Tak usah berbohong aku bukan orang pelupa, sangat jelas dulu kau begitu mencintainya, apa kau pikir sekarang aku percaya dengan alibi sampahmu?!" Ardan balik berteriak membuat Keizaro menegang. Sudah lama keduanya tak bertengkar tapi sekarang Ardan kembali dengan semua perkataan kasarnya.

"Bukankah wajar aku curiga jika anak itu bukan anakku! Bisa saja kau menjalang pada pria itu lalu menjeratku dengan anak ini!"

Plak

Satu tamparan berhasil mendarat dipipi sang dominan, Keizaro menatap Ardan penuh luka. Ia tak pernah menerima perkataan sekasar ini, Ardan meragukan darah dagingnya hanya karena ia sering keluar bersama Maxim. Apa Ardan tak pernah berkaca? Keizaro hanya kesepian, ia tak memiliki teman dekat dan hanya Maxim yang mampu menemaninya.

"Kau keterlaluan, jika benci aku hina saja aku, sudah kukatakan bukan? Aku siap melakukan apapun, bahkan aku masih bertahan sampai sekarang demi anakku agar tak kehilangan sosok ayah," tutur Keizaro dengan suara serak.

"Apa ada submisif yang mau menjalin pernikahan dengan dominan yang cinta mati pada kakaknya? Kau egois Ar, kau selalu menutup mata," sambung Keizaro.

Ardan mengepalkan tangannya. "Aku bisa membuka hatiku pada siapapun tapi tidak pada seorang pembunuh!"

"Tapi aku bukan pembunuh!" Keizaro meringis, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kepalanya terasa sakit terlebih perutnya yang mungkin terguncang karena ia yang berteriak.

"Aku bukan pembunuh Ar, kakak pergi karena takdir," sambung Keizaro lirih. Ia meremat bahu Ardan, ia sudah merasakan nyeri dari semalam tapi sekarang sakitnya semakin menjadi.

"Menyingkir, aku muak." Ardan menepis tangan Keizaro yang menjadikannya tumpuan. Pria itu melangkah pergi seakan buta dengan keadaan Keizaro yang melemas. Submisif itu luruh pada dinginnya lantai, keringat sebesar biji jagung mengucur.

Keizaro meremat pakaiannya, napasnya terasa berat tapi ia masih berusaha bertahan dengan membuka mata. Keizaro merasa tak berdaya walau hanya ingin memanggil Ardan yang baru saja keluar, tenggorokannya tercekat karena rasa nyeri yang teramat.

Dengan tangan bergetar Keizaro merogoh ponselnya, ia menghubungi Maxim. Ia tersenyum getir, Ardan mengatakan ia seorang jalang, Keizaro menerimanya sekarang karena jalang ini hanya diterima oleh Maxim, hanya dominan itu yang sudi mendengar dan membantunya.

"Max ... tolong aku ... rasanya sakit."

ucap Keizaro tersendat-sendat, saat panggilannya di angkat. Ponselnya jatuh karena tangan yang tak bisa lagi memegang benda pipih itu, walau begitu ia enggan menutup mata.

"Ar ... bahkan ketika kondisiku lemah seperti ini, pria yang kau sebut bajingan itu yang ada untukku. Jalang ini, jalang ini hanya kesepian dan membutuhkan sandaran dan Maxim bersedia meminjamkan bahunya. Aku tak tahu salahku dimana tapi semua seolah membenciku, bahkan ayah selalu mengabaikan pesanku. Jangan jadi seperti ayah Ar, seorang anak begitu terluka saat di abaikan. Tolong
... anakku juga mempunyai hak."

_______

Maxim mengepalkan tangannya, ia menarik kerah kemeja Ardan.

"Tolol," cetusnya.

Ardan hanya diam ia masih terkejut dengan kabar tadi, ia mendapat kabar Keizaro akan segera melahirkan dan saat ini keduanya tengah bersi tegang di depan ruang operasi Keizaro.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Maxim berkata sengit.

Ardan menepis tangan Maxim, ia tak terima dipojokkan seperti ini.

"Bukankah seorang suami harus mendampingi submisifnya saat melahirkan tapi lihat bajingan tolol dihadapanku, kau seperti babi dongo. Bahkan aku malu yang hanya melihatnya," tutur Maxim tajam.

"Berhenti mengoceh kau tak tahu apapun," sahut Ardan setelah sedari tadi diam.

Maxim terkekeh, lihat bagaimana tololnya Ardan. Ia seperti tak khawatir dengan Keizaro sedangkan dirinya, Maxim bahkan merasa akan mati saat menerima telepon Keizaro, ia bahkan membawa motornya bak kesetanan lalu membawa si empu dengan keadaan panik. Maxim menghembuskan napas, saat mengingat bagaimana gilanya ia mencari kunci mobil Keizaro, ia begitu ketakutan melihat kondisi temannya tapi saat melihat Ardan, Maxim tak percaya pria itu begitu tenang.

Ia saja yang hanya melihat merasa sakit, bagaimana dengan Keizaro? Apa yang Ardan lakukan dan katakan pada si manis sampai begitu kesakitan dan terpaksa harus melahirkan sekarang.

Mungkin di mata Maxim Ardan terlihat tenang tapi dalam lubuk hati terdalam Ardan, pria itu juga khawatir dan merasa bersalah atas perkataannya. Ardan berharap semua baik-baik saja, ia tak mau seseorang mati karenanya.

____

Sesuai janji ....

Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang