26

15K 1.1K 161
                                    

Bantu share cerita ini yuk, biar rame❤

______

Keizaro sempat berpikir untuk kabur, tapi sekali lagi apa yang dikatakan Ardan tak sepenuhnya salah. Mencari pekerjaan bukanlah hal mudah terlebih dalam kondisinya saat ini. Keizaro akan memilih bertahan, tak apa ia menghadapi Ardan yang buruk yang terpenting anaknya mendapatkan hak.
Tak bisa dibayangkan akan kemana ia pergi, lalu bagaimanapun melahirkan dan merawat seorang anak membutuhkan uang. Keizaro segan untuk meminta pada ayahnya, bahkan pesan yang ia kirimkan beberapa minggu lalu sama sekali tak dibalas oleh sang ayah.

Setelah kejadian bulan lalu saat ia meminta berpisah, ia dan Ardan sudah tak lagi bicara. Keduanya saling menjauh, terlebih Ardan. Tak apa, sebentar lagi Keizaro akan ditemani anaknya. Ia tak sabar menunggu.

Saat ini ia tengah belanja perlengkapan bayi bersama Maria, wanita itu begitu antusias bahkan ia melalukan video call dengan Alderic yang tengah bekerja, meminta pendapat suaminya atas barang-barang yang akan ia beli.

Keizaro tersenyum tipis, melihat betapa harmonis hubungan mertuanya walau usia sudah tak lagi muda, apa suatu saat ia bisa seperti itu? Jangankan seperti itu, bahkan Ardan seperti tak peduli pada anaknya. Keizaro bersyukur selama delapan bulan ini, sang bayi tak rewel atau bahkan menginginkan sesuatu.

"Sayang ... bagaimana dengan sepatu ini?" Maria bertanya pada sang suami. Alderic hanya mengangguk lalu menyuruh Maria menanyakan pendapat Keizaro.

"Bagaimana menurutmu Kei, bukankah ini lucu?" Maria bertanya.

Keizaro mengangguk tanpa melihat sepatu yang ditunjukan sang mertua, Maria mengerutkan kening sedari tadi Keizaro tampak tak bersemangat. Ia menghentikan panggilan videonya tak peduli jika Alderic akan mengomel.

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" ucap Maria, ia yakin ada sesuatu yang Keizaro sembunyikan.

"Tidak Ma, kau tak tak perlu khawatir," sahut Keizaro.

Maria menghembuskan napas, "Kei katakan saja, aku akan menampung semua keluh kesahmu. Apa Ardan menyakitimu?" Maria mengusap kepala sang menantu.

Keizaro menggigit bibir bawahnya, ia menggeleng. Tak berani mengadu akan hal yang menimpanya.

"Aku hanya memikirkan ibu, kupikir aku merindukannya," tutur Keizaro tak sepenuhnya bohong. Ia memang merindukan orang tuanya.

"Jangan pikirkan mereka, kau sekarang putraku. Jangan pernah memikirkan ucapan Ana, dia keterlaluan. Lagipula kakakmu pergi bukan kesalahanmu, kau tahu? Jika aku disuruh memilih antara teman atau menantu, aku akan memilihmu, jangan pikirkan itu ya. Merindu pada luka, sama dengan membusuk tanpa daya. Dia tak peduli padamu, jadi jangan pedulikan Ana lagi," tutur Maria.

Jujur ia tak menyukai Ana semenjak memaki Keizaro, ia tak suka pada tingkah temannya itu pada Keizaro. Ia mungkin teman Ana tapi sekarang Maria enggan berteman lagi dengan orang seperti itu, bahkan ia rela keluar dari kumpulan wanita sosialita yang ada Ana-nya, lebih baik menjauh dari manusia seperti itu.

Keizaro tersenyum, mendengar perkataan Maria. Jika seluruh dunia meneriakinya bahkan menjauhinya ia bersyukur masih ada Maria yang dengan kokoh berada disampingnya bahkan wanita ini tak takut berada di depan untuk melindunginya.

Keduanya kembali membeli perlengkapan bayi. Maria tak tanggung-tanggung membelikan barang untuk cucunya, ia tak melihat harga yang di otaknya hanya barang bagus. Lagipula tak masalah bukan, ini bentuk merayakan cucu pertamanya.

Berbeda dengan dua orang ini, ditempat lain Ardan tengah bersimpuh di depan rumah abadi Ayden. Setiap minggu ia mendatangi Ayden, mencurahkan keluh kesahnya pada raga yang sudah melebur pada jiwa yang sudah tenang.

Ardan terlalu terpaku pada perasaannya, ia tak mau menoleh ke belakang dimana masih ada seorang submisif dan anak yang menunggu atensinya. Setelah permintaan berpisah dari Keizaro, bohong jika ia tak memikirkan hal itu. Bahkan setiap kali mendatangi Ayden yang akan ia bahas adalah Keizaro.

"Ay, aku tak ingin berpisah darinya karena permintaanmu untuk tak menceraikannya, jika kau tak meminta itu mungkin kami sudah berpisah," tutur Ardan sendu.

Hatinya membeku untuk Keizaro, seolah tak bisa lagi ditempati karena habis untuk Ayden. Cinta habis untuk masa lalu itu menyakitkan, ketika kau berharap pada jiwa yang sudah tiada itu terasa menyedihkan. Padahal terasa baru kemarin Ayden merengek meminta dibelikan coklat, hubungan keduanya begitu lama jika dihitung dari masa kuliah. Bahkan kenangan semasa kuliah bersama Ayden masih terekam jelas di otaknya.

Ardan rindu, rindu pada Ayden.

"Bukankah itu sangat kejam, menangisi submisif lain ketika kau sudah menikah?"

Ardan mendongak saat mendengar suara seseorang, keningnya mengerut melihat pria dengan setelah santai menatapnya datar.

"Kupikir setelah aku menyakiti Kei, dia akan mendapat dominan yang baik dan bisa memperlakukannya dengan baik. Ternyata aku salah, kau bahkan lebih dariku. Aku mengkhianatinya tapi aku begitu mencintainya sedangkan kau, kau menikahinya tapi kau sama sekali tak mencintainya," tutur si empu.

Ardan tersinggung atas ucapan pria itu, ia melangkah lebih dekat pada pria lancang di depannya.

"Siapa kau? Sampai berani berkata seperti itu," ucapnya.

"Aku Maxim jika kau lupa, aku pria yang tengah menikmati karma atas perbuatanku. Kau tahu? Menyesal selalu datang di akhir dan saat ini aku iri padamu yang mendapat cinta kekasihku dulu, kupikir kau berbeda kau layak, tapi saat melihatmu berulang kali di sini ternyata kau bajingan," tutur Maxim.

Ia sudah tiga kali mendapati Ardan di sini dan selalu mendengar semua perkataan Ardan. Kebetulan yang terjadi berulang kali, padahal ia tak menjadwal bertemu ibunya tapi setiap mendatangi ibunya pasti ada Ardan di sini.

"Jika kau tak mencintainya, tolong lepaskan dia. Walau dia submisif keras kepala tapi perasaannya tulus. Kau tak bisa memikirkan perasaanmu terus, dia layak mendapat hak-nya." Maxim menepuk bahu Ardan, lalu melangkah pergi meninggalkan Ardan yang begitu tersinggung atas ucapannya.

Ardan mendengkus, tahu apa pria seperti Maxim tentang perasaan. Ia sama bocahnya seperti Keizaro.

"Lelucon apa tadi itu, dia mengajariku soal perasaan? Menyebalkan."

________

________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang