23

15.1K 1.2K 138
                                    

Tali persaudaraan yang terjalin dari kecil bukanlah hal yang mudah diputuskan. Walau Keizaro sekarang tahu ia bukan anak kandung sang ibu, tetap saja ia begitu merasa sesak saat melihat wajah pucat dengan raga terbujur kaku Ayden dalam peti kemarin sore.

Keizaro hanya mampu menangis, ia merasa dunia meneriakinya dengan makian karena menjadi penyebab Ayden pergi. Benarkah Ayden pergi karenanya? Karena pertengkaran keduanya?

Keizaro memikirkan hal itu dari kemarin, bahkan sampai jenazah Ayden sudah dikuburkan ia tetap memikirkan hal itu. Keizaro menatap teh di cangkirnya sendu, Ana tak berhenti menyalahkan kepergian Ayden karenanya.

"Aku membencimu, sangat."

"Kupikir dengan memeliharamu dirumahku akan mematikan ular dalam dirimu, ternyata ular tetap saja menggigit walau dirawat dari kecil."

"Kau bukan putraku, jadi berhenti memanggilku ibu. Kau pembunuh putraku, menjijikan mendengar panggilan itu darimu."

Perkataan Ana begitu menghunus, jika benar ia bukan anak kandung wanita itu, lalu siapa yang melahirkannya? Ana maupun sang ayah tak memberi tahunya.

Helaan napas terhembus, Keizaro mendongak melihat siapa yang datang sepetang ini. Sudut bibirnya terangkat, membuat garis senyuman saat melihat Ardan pulang bersama Maria, sang mertua. Keizaro rasanya ingin berhambur memeluk sang mertua tapi ia tak mampu, ia hanya bisa membeku di sofa karena tatapan Ardan yang tak pernah lagi hangat. Apa Ardan menyalahkannya juga?

"Kei ... " Maria menghampiri sang menantu. Saat tahu Keizaro bukan putra kandung Ana, Maria merasa ikut sesak, ia langsung memutuskan untuk menemui Keizaro.

"Ma." Keizaro berucap lirih, ia pasrah saat Maria memeluknya.

Hal ini yang ia inginkan, pelukan hangat ini yang selalu ia butuhkan dan hanya Maria yang sudi membagi pelukan itu saat ini padanya.

"Tak apa sayang, mama di sini." Maria berucap lembut.

Ia tak tahu permasalahan apa yang terjadi, yang ia tahu Keizaro yang dituduh menjadi penyebab atas kematian Ayden dan fakta jika Keizaro bukanlah anak kandung Ana.

"Aku bukan penyebabnya kan ma?" bisik Keizaro. Jujur ia selalu di hantui akan pertanyaan itu.

Maria menggeleng, ia mengusap pipi Keizaro yang semakin terlihat tirus.

"Kau bukan maut sayang, itu takdir. Kau bukan penyababnya," ucap Maria.

Ia pikir menerima Keizaro adalah kesalahan, tapi saat melihat kegigihan si empu dalam memperbaiki segalanya Maria sungguh jatuh dalan kubangan fakta, jika Keizaro pantas dan layak. Kenapa anak sebaik ini harus menanggung hal yang bukan menjadi kesalahannya? Maria merasa hatinya diremas melihat bagaimana kedua bola mata itu tak henti-henti melelehkan air mata.

"Ini pasti menyakitkan. Apa yang harus mama lakukan eum, agar sakitnya sedikit berkurang?" Maria mengusap kepala Keizaro.

Si empu semakin terisak, ia begitu bersyukur masih ada orang yang mau merangkulnya.

"Peluk aku ma, rasanya sesak. Sangat menyakitkan."

Maria semakin mengeratkan pelukannya, ia tak henti-henti mengusap kepala Keizaro memberi ketenangan pada si empu.

Berbeda dengan sang ibu, anak tunggal kesayangan Maria justru menatap benci pada hal itu. Baginya tiada tempat bagi seorang seperti Keizaro, mungkin kematian Ayden itu takdir tapi perbuatan Keizaro juga menjadi penyebabnya. Entah hal apa yang Keizaro lakukan dan katakan sampai membuat Ayden bisa pergi dengan begitu cepat padahal sebelum kejadian Ayden yang datang ke rumah, kondisi jantungnya Ayden tak begitu buruk.

Ia memilih beranjak dari sana meninggalkan Keizaro yang masih menangis, terdengar memuakkan. Jika bukan karena pesan Ayden, Ardan yakin sudah menggugat Keizaro tapi kakak dari submisif bajingan itu memberatkannya akan sebuah permintaan.

"Berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkan adikku dan jangan pernah menyakitinya."

Kalimat yang masih jelas terdengar di telinga Ardan, permintaan Ayden sebelum hari kepergiannya.

Untuk permintaan pertama Ardan bisa melakukannya tapi entah dengan yang kedua, bahkan sebelum Ayden meminta hal itu Ardan sudah terlanjur menyakiti Keizaro.

Di saat ia bisa kembali merasakan dunianya kembali berwarna, di saat itu juga semesta membawa dunianya pergi, membawanya ke tempat yang tak bisa Ardan jangkau. Baru sehari kepergian Ayden sudah membuat Ardan begitu tersiksa.

"Aku merindukanmu Ay," gumamnya, Ardan tersiksa dengan semuanya. Rasanya raganya terjerat akan rasa yang sudah tak bisa berubah pada Aydennya.

Tok

Tok

Ketukan dari pintu membuat atensi Ardan beralih, di sana Maria berdiri di ambang pintu.

"Tolong pindahkan Kei, ia tidur."

Ardan mengangguk, walau enggan tapi ini perintah ibunya.

Ia segera beranjak dari duduknya, menggendong sang submisif memindahkan si empu ke ranjang. Ia menyelimuti Keizaro karena gerak-geriknya dipantau Maria.

"Kau ingin mengatakan sesuatu sebelum mama pulang?" ucap Maria.

Ardan menggeleng, membuat Maria berdecak sebal.

"Jangan menyembunyikan apapun dari mama, jika tak mau mama adukan kepada papa," tutur Maria. Ia hanya ingin tahu akar permasalahan semuanya.

"Tidak ma, sebenarnya ada hal penting yang harus mama tahu," ucap Ardan membuat Maria memfokuskan pendengarannya.

"Kei hamil," sambung Ardan membuat Maria menganga ia nyaris berteriak jika saja tak ingat Keizaro tengah tidur.

"Apa kau serius? Menantu mama hamil?" Maria tampak berbinar, ia senang bukan main.

Ia melirik Keizaro yang terlelap begitu nyaman, tak menyangka jika submisif itu tengah hamil.

"Berapa usia kandunganya?" tanya Maria.

"Tiga." Ardan menjawa seadanya.

Maria menutup mulutnya, ia akan memberi tahu teman-teman arisan dan tentu saja memberi tahu suaminya. Alderic wajib tahu, tentang hal ini.

"Mama senang. Dengar ini Ardan, jangan membuatnya stress atau bahkan kelelahan, mama tak mau cucu dan menantu mama terluka. Jaga mereka. Selamat calon ayah." Maria menepuk-nepuk bahu sang anak.

"Sudah, mama akan pulang dulu mama sudah tak sabar ingin memberi tahu papamu." Maria bersiap pergi.

"Dan ya, jangan melukainya. Mama tahu kamu juga merasa kehilangan, mau bagaimanapun mama tahu kamu masih mencintai Ayden. Tapi kamu harus ingar Ar, Keizaro pasanganmu dan dia tengah hamil anakmu. Belajarlah untuk mencintainya, jangan menambah lukanya lagi. Ia sudah cukup menerima ketidak adilan ini." Maria tersenyum tipis, lalu melangkah pergi.

Sepeninggalan Maria, Ardan masih diam. Belajar mencintai Keizaro? Ardan rasa ia tak bisa, justru yang saat ini timbul dalam hatinya justru rasa kebencian.

"Maaf Ma, kali ini putramu tak bisa melakukan apa yang kau katakan."


Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang