Keizaro menghampiri Ardan yang duduk di ranjang tengah memainkan ponselnya. Tak peduli dengan baju yang basah bahkan lantai kotor karena langkah kakinya, Keizaro mendekati Ardan.
Keizaro pulang larut pun, Ardan seakan tak peduli. Submisif itu mengepalkan tangannya, mengingat sering kali Ardan mengabaikannya bahkan tak sedikitpun Ardan memberi rasa peduli, seolah tak ada dirinya di rumah ini.
"Ardan," ucapnya.
Ardan mendongak, keningnya mengerut melihat penampilan kacau si empu.
"Apa kau tak waras? Lihat bagaimana lantai kotor, sebenarnya dari mana kau ini, sampai kakimu begitu kotor," sahut Ardan. Kepalanya akan meledak saat melihat lantai rumah kotor karena kaki Keizaro.
"Maaf, aku akan membersihkannya nanti." Keizaro tersenyum tipis. "Ada sesuatu yang harus aku katakan, tolong ... ini hanya sebentar," sambungnya saat melihat Ardan akan kembali mengabaikannya.
Keizaro melangkah lebih dekat, ia meyakinkan diri akan niatnya.
"Ardan, seperti ajakanmu beberapa bulan lalu. Aku setuju, aku bisa merawat anak ini sendiri kau tak perlu khawatir, jadi mari kita berpisah," tutur Keizaro langsung.
"Apa kau pikir itu mudah?" sahut Ardan, matanya menajam seakan siap menghunus raga dihadapannya sampai lenyap tak tersisa.
"Aku tak masalah, aku tak akan mengatakan pada mama jika kau pernah berhubungan dengan Ayden setelah menikah. Kau tak perlu-"
"Omong kosong, aku tak peduli denganmu yang aku pedulikan anakku. Jika kita berpisah maka anakku yang akan tersiksa, kau pikir merawat seorang anak mudah dan tidak dengan uang?" sela Ardan.
"Aku bisa mencari pekerjaan," sahut Keizaro membuat Ardan terkekeh remeh mendengarnya.
"Dengan pendidikanmu yang bahkan belum selesai? Mau bekerja apa? Jangan membuat lelucon, aku tak mau anakku jadi gelandangan. Lagipula siapa yang akan memungutmu? Kau bukan putra sah keluargamu," cecar Ardan, perkataannya begitu tajam sampai membuat Keizaro tertohok.
Keizaro menatap Ardan sendu, bagaimana bisa Ardan begitu merendahkannya? Terlebih menyinggung statusnya sebagai anak hasil perselingkuhan ayahnya.
"Mencari pekerjaan tak semudah membalikan kedua tangan, setelah pergi dari rumah ini kau akan pergi kemana? Apa kau yakin sanggup menghidupi dirimu sendiri? Karena asal kau tahu, saat kau meminta berpisah dan pergi dari sini aku tak akan sudi membiayaimu lagi. Katakan apa kau sanggup?" Ardan kembali berucap.
"Aku sanggup, jangan meremehkanku," sahut Keizaro.
"Jika begitu lahirkan anakku, dan pergilah. Tinggalkan anak itu bersamaku, karena aku tak yakin kau bisa memenuhi finansial dan segala kebutuhan dirimu sendiri terlebih jika anakku ikut bersamamu," ucap Ardan telak membuat Keizaro menganga tak percaya.
"Kau tak bisa egois seperti ini! Dia anakku, aku berhak atasnya. Kau tak bisa mengambilnya dariku!" pekik Keizaro.
Ardan terkekeh sinis. "Lalu aku harus bagaimana huh? Membiarkan anakku menjadi gelandangan bersamamu? Jangan becanda," ucapnya.
"Perkataanmu seolah menahanku untuk meminta berpisah tapi kau selalu mengabaikanku, kau seperti peduli pada anakku padahal tak pernah sekalipun kau menanyakan kabarnya bahkan kau enggan mengantarku untuk melihat perkembangannya, dan sekarang? Kau bertingkah seakan kau peduli pada anakku," tutur Keizaro, matanya memburam karena air mata. Entah sejak kapan ia selemah ini, Ardan berhasil merubahnya sampai Keizaro kehilangan jati dirinya sendiri.
Kepala Ardan seperti disiram timah panas, kedua tangannya mengepal tak terima atas segala ucapan sang submisif.
"Apa kau pikir aku bisa berbuat baik pada submisif pembunuh sepertimu?!" teriak Ardan.
"Ayden sudah mati! Kenapa kau selalu mengungkitnya!" Keizaro balik berteriak.
Ardan melempar ponselnya, telinganya semakin panas mendengar perkataan kasar si empu. Ia beranjak mendekati Keizaro, keduanya berhadapan dengan amarah yang sama-sama menggebu.
"Ya, dia meninggal dan kau, kau penyebabnya." Ardan menekan bahu Keizaro. "Kau yang sudah melenyapkannya, sikap agresif dan kasarmu inilah yang membuat submisif lembut seperti Ayden menyerah. Kau kasar, mulutmu seperti manusia tak berpendidikan, ah ... aku lupa, kau memang belum selesai dengan pendidikanmu jadi wajar saja kau seperti ini," sambung Ardan menatap remeh.
"Sangat disayangkan, anakku lahir dari submisif sepertimu. Aku berharap sifatmu tak menurun padanya." Ardan mendengkus setelahnya.
Keizaro menatap Ardan tak berkedip, sosok yang dulu begitu tenang dan begitu perhatian sekarang berganti menjadi pria yang begitu tega, sorot mata yang dulu terasa hangat sekarang dingin layaknya sebongkah es. Lagi-lagi air mata kembali mengalir, persetan jika ia disebut lemah. Hanya manusia munafik yang akan tersenyum lebar saat dirinya direndahkan. Ia bukan manusia yang bisa tertawa saat dititik terendah, jangan samakan Keizaro dengan orang-orang sok kuat.
"Lalu aku harus bagaimana? Bertahan diranting yang rapuh? Tolong sekali saja lihat aku Ardan, yang kau cintai itu kakakku. Aku mengenalnya jauh sebelum kau mengenal kakaku, kau merasa kehilangan? Akupun sama, walau dia membuat kesalahan, aku juga kehilangan sosok kakak," tutur Keizaro. Suaranya bergetar, saat Maxim mengkhianatinya itu tak sesakit ini, ini bukan patah hati pertamanya tapi sakitnya berkali-kali lipat.
"Aku mungkin bukan submisif baik, bukan juga pasangan yang baik. Tapi kau tak berhak mengatakan aku submisif buruk bagi anakku, kau tahu? Selama tujuh bulan ini, aku menjaganya sendirian. Kau seorang dokter, kau pasti mengerti bagaimana kondisi submisif hamil. Apa pernah aku meminta sesuatu padamu? Aku tak berani, aku melakukan segalanya sendirian. Aku melakukan pekerjaan rumah sendiri, aku terus belajar menu makanan yang baru, bahkan saat aku ingin sesuatu karena bawaan bayi, aku tak berani memintamu karena aku tahu ... aku bukan submisif beruntung yang akan kau penuhi keinginannya." Keizaro menumpahkan segalanya, rasa sakit itu ia luapkan.
Tugas dokter mengobati tapi Ardan justru menjadi tombak beracun dalam hidupnya, apa semua dokter seperti itu? Mereka merawat pasiennya tapi meninggalkan luka pada orang terdekatnya?
"Aku minta maaf, jika aku mencintaimu tapi tolong ... di sini rasanya menyakitkan." Keizaro menekan dadanya.
Ardan hanya diam membisu mendengar semua tutur kata Keizaro, dibagian hatinya yang lain ia merasa bersalah dan kasihan pada Keizaro tapi sekali lagi cinta itu terlalu buta, Ardan memilih menepis perasaan itu, dalam hati dan otaknya tertanam jika ini buah dari perbuatan Keizaro.
"Aku mau kita berpisah tapi jangan ambil bayiku," ucap Keizaro putus asa. Ia sudah tak memiliki apapun, hanya malaikat dalam perutnya yang ia punya. Jika perpisahan dengan Ardan membuat dominan itu merebut bayinya, Keizaro memilih tersiksa dengan sikap Ardan.
"Jika kau ingin keluar dari rumah ini, kau tak ada hak mengasuh anakku. Sadarlah, bahkan untuk menghidupi diri sendiri saja tak mampu," cetus Ardan.
"Pergi tanpa anak atau tinggal di sini dan kau tetap merawatnya. Kau bisa memilih."
Setelah mengatakan itu Ardan beranjak pergi, meninggalkan Keizaro yang luruh pada dinginnya lantai. Isak tangis semakin mengeras kentara akan rasa sakit yang begitu dalam, Keizaro putus asa.
Keizaro terbelenggu oleh rantai panas, bergerak mati dan diam-pun mati. Dari dua pilihan itu, hasilnya tetap sama. Tak ada yang menguntungkan bagi dirinya.
"Nak ... aku memang submisif buruk tak pantas dijadikan pasangan, saat lahir nanti tolong jangan malu karena kau lahir dariku. Aku rela melakukan apapun untukmu, tolong sayangi aku seperti aku menyayangimu. Aku rela mengemis kasih sayangmu dari sekarang, aku tak memiliki apapun karena itulah harapanku hanya tinggal dirimu." Keizaro menatap perutnya yang menonjol, seolah tengah berbincang dengan sang anak.
________
SATU KATA UNTUK ARDAN!
CO brokennya yukkk .....
Hiks srott,, po sampe tggl 5 maret.
SC 110K
HC 125KLink shopee di wall sama di bio akun gue ya ...
Pemesanan dari luar indonesia bisa lewat WA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dokter! [End]
RomancePerjodohan yang membuat dua kepribadian berbeda kontras itu terpaksa harus menikah karena orang tua. Keizaro yang terkenal berandal kampus menjadi pasangan sang dokter muda Ardan yang di siplin dan banyak aturan, jiwa Keizaro terasa terkekang saat b...