30

17.3K 1.2K 291
                                    

Bayi mungil itu mengeliat, tubuhnya masih terlihat merah, kedua mata itu masih belum bisa terbuka sepenuhnya.

Pukul 12 malam tanggal delapan,  dibarengi hujan deras seorang bayi laki-laki mungil hadir, membawakan rasa bahagia yang membuncah. Tangisnya yang tadi terdengar nyaring membuat hati semua yang mendengar menghangat.

"Kau indah," ucap pria yang sedari tadi sama sekali tak beranjak di depan ruang operasi dan baru sekarang ia pergi untuk melihat dimana bayi mungil itu diletakan.

"Dia putraku," cetus pria lain yang baru saja datang.

Maxim terkekeh lalu mengangguk, kali ini saja ia tak akan mengumpati Ardan walau mendengar itu membuat hatinya meradang. Maxim tersenyum tipis sebelum kembali untuk melihat kondisi submisif yang telah berjuang beberapa jam lalu.

Keizaro sudah dipindahkan ke ruang inap biasa. Maxim setengah berlari, ia masuk tergesa tak tahan ingin melihat Keizaro. Di sana, submisif yang beberapa jam lalu membuat jantungnya seolah ingin keluar tengah terbaring.

"Kei ... " Maxim menghampiri Keizaro, ia meraih telapak tangan si manis. "Selamat, bayinya lucu sekali. Ah, aku iri kau sudah menjadi papa," sambungnya.

Keizaro tersenyum tipis, ia juga ingin melihat bayinya tapi dokter mengatakan bayinya butuh penangan khusus karena pernapasannya yang sedikit tersumbat.

"Aku benar-benar tak menyangka temanku yang suka berbuat onar telah menjadi papa, terima kasih sudah berjuang Kei ... kau hebat," ucap Maxim lagi.

Keizaro hanya tersenyum, dalam benaknya ia mencari dimana Ardan. Apa suaminya tak ada? Perkataan Ardan yang tadi masih membekas dalam otaknya. Semua perkataan Maxim barusan sudah selayak Maxim-lah suaminya.

Maxim yang seolah sadar atas raut wajah Keizaro, ia mengsuap lengan si empu.

"Dia sedang melihat bayinya, mungkin ia ingin memastikan bayinya baik-baik saja. Kau hebat, jangan terlalu banyak berpikir," ucap Maxim.

"Terima kasih Max, aku benar-benar sangat senang kau mendampingi dan membantuku tadi, aku tak tahu jika kau tak datang," tutur Keizaro lemah.

Perbincangan keduanya terhenti saat mendengar suara pintu dibuka. Maxim menoleh dan melihat wanita dan juga pria paruh baya datang dengan tampang yang masih segar.

"Mama." Keizaro menatap mertuanya begitupun dengan Maria, wanita itu langsung menghampiri Keizaro ia menciumi wajah sang menantu.

"Maaf aku datang terlambat ... aku tak tahu, aku akan memarahi Ardan ... ya Tuhan, terima kasih sayang," ucap Maria haru, bahkan air mata kebahagiaan turun membasahi pipinya.

Ia baru diberi tahu saat cucunya sudah lahir, saat Ardan menghubunginya buru-buru Maria membangunkan Alderic.

Maxim yang sudah merasa tak dibutuhkan lagi, ia pamit untuk keluar. Alderic sempat menyipitkan matanya dengan keberadaan Maxim yang tak ia kenali.

"Dimana Ardan?" Alderic menghampiri Maria, membuat wanita itu sadar jika anaknya tak ada di sini.

"Ardan membuntuti perawat yang membawa bayi kita," sahut Keizaro tak mau mertuanya berpikir kemana-mana.

Maria terkekeh, pasti Ardan begitu antusias sampai membuntuti perawat. Ia mengusap kepala Keizaro, putra manisnya. Maria telak tak ingin menganggap Keizaro menantu, anak manis ini putranya.

Walau terkesan tak acuh, Alderic sama halnya dengan Maria. Pria itu bahkan selalu menyelipkan nama Keizaro di setiap obrolan, ia bangga dan senang memiliki menantu sebaik si empu.

"Senangnya aku memiliki cucu sekarang. Dia akan menjadi jagoanku, terima kasih Kei, aku sangat bahagia. Terima kasih sudah memberikan warna baru dalam hidupku, dia cucu pertamaku, aku akan merayakan hari kelahirannya ini." Alderic berceloteh senang membuat Maria ikut menimpali dengan kata yang tak kalah manis.

Dari semua perkataan manis dan juga terima kasih, Keizaro hanya menunggu Ardan. Apa Ardan sama bersyukurnya seperti yang lain? Terlalu bodoh memang mengharapkan hal yang tak mungkin. Tapi Keizaro teguh akan pendiriannya, jika seorang anak dapat mengubah segalanya. Dibalik pertahannya demi anak, Keizaro juga berharap malaikat kecilnya dapat merobohkan kebencian sang ayah, dapat mengembalikan Ardan yang penuh perhatian kembali. Keizaro rindu, rindu Ardan yang dingin tapi peduli.

Tanpa semua orang tahu, seseorang  tengah melihat perbincangan penuh bahagia itu dibalik pintu. Bagaimana ibunya begitu antusias dan bagaimana sang ayah yang tak kalah heboh memikirkan hari-hari bersama cucunya. Ardan menghela napas, ia berterima kasih tentunya pada Keizaro tapi kelahiran sang anak tak mengubah apapun, dalam benaknya justru terbesit.

"Andai Ayden yang melahirkan anakku." Pikiran yang sedari tadi terbenam di otaknya, ia bergumam masih berharap jika kepergian Ayden hanyalah sebuah mimpi buruk.

Tak berpikirkah Ardan, bagaimana jika submisif yang sudah berjuang mati-matian itu mendengar ucapannya?

"Aku berterima kasih karena kau memberikan seorang anak tapi rasanya sesak, saat aku ingat jika anak itu bukanlah buah hati dariku dan Ayden, aku membencimu Kei ... sangat."

Perkataan yang begitu menusuk, pengucapan yang ringan namun berat di dengar.

"Andai ... Ayden tak memintaku untuk tetap bersamamu, aku tak akan terjebak seperti ini. Aku akan mengambil anakku dan menyuruhmu pergi menjauh dalam hidupku, kehadiranmu merusak segalanya Kei," tutur Ardan. Mengalun begitu saja seolah tengah mencurahkan isi hatinya.

"Aku benci diriku yang tak berdaya, aku terlalu mencintai Ayden sampai rasanya aku tak bisa lagi untuk membuka hati. Aku tenggelam juga Kei, bukan hanya kau. Aku juga sama, aku terluka akan diriku sendiri. Kau tak tahu bagaimana rasanya merindu pada sosok yang hanya bisa dilapalkan namanya, raga yang sudah melebur tak akan bisa lagi ditemui. Maaf telah membuatmu terluka Kei."

Ardan kembali melangkah pergi tak kuasa jika harus masuk, ia takut akan menyakiti Keizaro. Perkataannya kadang tak bisa dikontrol, sudahlah setelah ini ia akan jalani semuanya seperti air.

Cintanya habis untuk Ayden sisanya ia hanya menjalani hidup saja dan itu demi Ayden juga.

Pak Dokter! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang