my brother's obsession 10.

21.9K 521 22
                                    

23.30 PM.

Nathan tidur di pelukan Calista bagaikan guling yang empuk. Dalam suasana tenang, Calista melihat wajah kakaknya yang damai, tetapi bayang-bayang ketakutan tetap menghantui pikirannya. Dengan sangat hati-hati, ia melepaskan pelukannya, memastikan Nathan tidak terbangun.

Ia berjalan keluar kamarnya menuju dapur, setiap langkahnya penuh kehati-hatian. Di sana, Calista mengambil segelas air kosong dan meneguknya perlahan, berusaha menetralkan kegelisahan yang menggelayuti hatinya.

Setelah itu, ia mengambil cermin kecil yang ada di sebelahnya. Tatapannya jatuh pada bercak merah di lehernya, bekas ciuman yang menandakan kepemilikan Nathan. Rasa marah dan frustrasi menggelegak dalam dirinya, Calista meremas kaca kecil itu dengan harapan bisa menghancurkannya, namun usahanya sia-sia.

Ia merasa hidupnya sudah tidak aman lagi akibat ulah kakaknya yang gila. Kenangan akan kehidupan damai yang dulu terasa semakin jauh, ditelan oleh masalah yang terus-menerus menghadang. "Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kenapa tidak kakakku saja?" pikirnya, air mata hampir menetes, tetapi ia menahannya.

05.30 AM.

Nathan terbangun dan melihat tempat di sampingnya yang kosong. Rasa panik langsung menguasai dirinya. Ia bangkit dengan cepat, matanya melirik setiap sudut kamar, tidak menemukan Calista. Amarahnya seketika memuncak.

"CALISTA, JANGAN COBA-COBA KABUR, SIALAN!" teriak Nathan, suaranya menggema di seluruh rumah. Ia mengobrak-abrik kamar, membuang barang-barang, menghancurkan apapun yang ada di jalannya. Kamar itu menjadi porak-poranda, mencerminkan kebingungan dan kemarahannya yang tak tertahan.

Setelah beberapa menit mencari, sorot mata Nathan akhirnya tertuju pada seorang gadis dengan pakaian sekolahnya yang duduk di meja makan sambil memakan piscok yang lumer. Gadis itu adalah Calista.

Dengan amarah yang masih menggebu, Nathan menghampiri Calista yang duduk dengan tenang, tampak seolah tidak memperdulikan perasaannya. “Apa-apaan baju lo itu?!” tanyanya dengan suara meninggi.

“Siapa yang izinin lo buat masuk sekolah?!” Tiba-tiba, tangan Nathan meluncur cepat, mencekik leher Calista. Ia terkejut, tidak menyangka kakaknya akan berbuat sekejam ini.

“Ug—h, Kak… lepas…” Calista terbatuk-batuk, berjuang melawan cekikan Nathan dengan memukul tubuhnya, tetapi semua usaha itu sia-sia.

Mata Nathan semakin memanas, cengkeramannya semakin menguat. Calista yang sudah tidak berdaya mulai menangis, suaranya penuh kesakitan yang menusuk telinga.

Hati Nathan, meski gelap dan penuh amarah, sedikit melunak melihat adiknya yang menangis. Ia melepaskan cengkeramannya dan memeluk Calista dengan erat, rasa paniknya kini bercampur kasih sayang. “Apa ada yang sakit, baby?” tanyanya lembut, melepaskan pelukan dan memegangi leher Calista yang merah.

Ia menciumi leher Calista, berharap bisa menghapus rasa sakit akibat ulahnya.

"Sialan, ni iblis maunya apa sih? Mending aku mati aja," batin Calista sambil menatap marah ke arah Nathan yang begitu perhatian. Namun, hatinya yang lembut tak bisa menahan diri, melihat kakaknya yang sangat perhatian.

Calista kemudian menjauhkan diri dan menatap wajah Nathan. “Izinin aku masuk sekolah, ya, Kak,” mohon Calista, mengerucutkan bibirnya, berdoa dalam hati agar Tuhan memberinya jalan kebebasan dengan cara Nathan menyetujuinya.

Tiba-tiba, tatapan Nathan berubah, sepertinya ia tidak menyukai perkataan itu. “Aku janji nggak ngapa-ngapain kok, Kak. Please.” Wajah puppy eyes-nya dipajang dengan harapan.

“Kalo bohong…”

“Apa konsekuensinya?” tanya Nathan. Calista dengan berani akan melakukan apapun, meski hatinya berdebar. Ia sadar, konsekuensi itu mungkin akan mengerikan, tetapi ia merasa tak ada pilihan lain. Hanya ingin bersekolah dan bertemu sahabatnya.

“Aku akan turutin apapun yang kakak minta.” Kalimat itu keluar dari mulut Calista dan berhasil mengundang senyum nakal Nathan.

Really honey? Lo nggak nyesel kan nanti?”

“Orang aku cuma mau sekolah,” jawab Calista dengan penuh percaya diri.

“Okey, gue izinin.” Nathan menganggukkan kepalanya setuju, senyumnya seolah memperlihatkan ada rencana lain yang mengintai di balik izin itu.

TBC

VOTEEE.

Obsesi My Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang