my brother's obsession 7.

22.9K 571 16
                                    

Calista duduk di kamar orang tuanya, dikelilingi oleh tumpukan pakaian dan berbagai barang yang harus disiapkan untuk perjalanan mereka. Mama Endah memintanya untuk mengatur pakaian dan obat-obatan agar mereka tidak merasa mual selama perjalanan nanti.

Dalam suasana yang terlihat sibuk itu, perhatian Calista tertuju pada selembar kertas putih yang tergeletak di atas meja. Rasa penasaran mendorongnya untuk mengambil kertas tersebut, yang ternyata adalah surat dari dokter di rumah sakit GAMON.

Belum sempat membaca isinya, tiba-tiba kertas itu dirampas oleh seseorang. Calista menoleh, mendapati Mama Endah, wanita berusia 41 tahun yang tampak cemas berdiri di belakangnya.

"Mah, itu surat apa?" tanya Calista, ingin tahu, sambil memperhatikan wajah Mama yang terlihat gelisah.

Endah menggeleng pelan, “Itu surat tentang penyakit, Mama.”

Mendengar jawaban itu, jantung Calista terasa terhenti sejenak. Rasa terkejut dan khawatir menyelimuti hatinya. Ia tidak menyangka mamanya menyembunyikan penyakit ini darinya. “Kenapa Mama sembunyikan penyakit ini dari Calista?” Air mata mulai mengalir di pipinya saat ia memeluk Endah erat, merasa dikhianati oleh orang yang paling ia percayai. Suara tangisnya nyaring, mengguncang ketenangan di ruangan tersebut.

“Lagipula ini bukan penyakit yang serius, Sayang,” Endah mencoba menenangkan sambil memeluk balik Calista, menghapus air mata di pipinya dengan lembut. Namun, suara lembut itu tampak tak cukup untuk menenangkan ketakutan di hati Calista.

Endah meletakkan surat itu kembali ke tempat asalnya, menumpuknya dengan baju agar tidak ada yang bisa menemukannya. Di dalam hatinya, ia pun berharap agar bisa hidup abadi, menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa.

***

Di halaman rumah, mereka menunggu taksi yang akan menjemput. Nathan, kakak Calista, terlihat berjuang dengan dua koper besar, menyiapkan bekal untuk perjalanan mereka selama dua minggu. Koper-koper itu tampak berat dan besar, seperti beban yang harus mereka pikul selama perjalanan.

“Jaga adik kamu, ya, Nathan,” ucap Endah sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Nathan untuk keperluan selama mereka pergi. Calista memperhatikan dengan mata berbinar, namun cepat berubah menjadi rasa iri. Ia merasa diabaikan, merasa kecil di antara perhatian yang diberikan kepada kakaknya.

“Aku enggak dikasih?” keluh Calista, mengerucutkan bibirnya. Ekspresi sedihnya membuat Nathan, yang melihat, ingin sekali mencubit pipi adiknya, tetapi dia menahan diri.

Angga, ayah mereka, mengambil ponselnya dan mulai mengutak-atiknya. “Sudah masuk?” tanyanya.

'Cling'

'Clingg'

Calista memeriksa ponselnya dan wajahnya seketika bersinar. “Wih, makasih, Pah!” Ia sangat senang karena mendapatkan uang sepuluh digit dari ayahnya. Keceriaan dan rasa syukurnya terlihat jelas, matanya berbinar-binar seolah mendapatkan harta karun.

“Sama-sama, Sayang,” jawab Angga dengan senyum hangat, melihat kebahagiaan putrinya.

Namun, kebahagiaan itu sirna seketika. Apa gunanya uang banyak jika ia harus bersama dengan kakaknya yang autis ini? Rasa frustrasi mulai menggerogoti hatinya, dan wajahnya kembali mendung.

“Calista mau ikut, Mama!” rengek Calista, tidak ingin terpisah dari orang tua dan merasa terjebak dengan Nathan. Suaranya penuh harapan, meskipun hatinya sudah mulai pesimis.

“Ini cuman sebentar, kok, Calis,” Angga mengelus kepala Calista lembut, berusaha menenangkannya. Namun, usahanya tampak tidak cukup, mengingat ketidakpastian di dalam diri Calista.

“Nanti, Papa beliin deh oleh-oleh mahal,” tawar Angga, berusaha mengalihkan perhatian putrinya dengan janji yang menggoda.

Calista tetap merengek, memeluk ayahnya dengan kuat. “Papa, please! Calista mau ikut!” Jeritan kecilnya penuh keputusasaan, seperti anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan.

Angga, sudah tak sabar, meraih pergelangan tangan Calista, “Tidak apa-apa, ajak mereka. Yang penting Calista nggak merengek lagi.” Suara Angga tegas, namun tetap penuh kasih sayang.

Endah dan Angga saling bertukar pandang, “Jika bisa, kita hanya pergi melayat dua hari saja.” Endah menatap Calista penuh harap, berusaha menenangkan suasana.

“Loh Kak, Nathan juga ikut, ya, Mah?” Calista berbisik di samping Endah, suaranya kecil agar tidak terdengar oleh Nathan. Namun, Nathan, yang mendengar, merasa seperti ditampar.

'Sialan, mau ngejauhin gue rupanya,' pikir Nathan, mendengus dalam hati, tapi merasa tidak terancam oleh perkataan adiknya.

Nathan meraih pergelangan tangan Calista dari tangan Angga. “Kita di sini saja, Mah. Nathan bisa kok jaga Calista.” Calista terkejut dan ingin menyuarakan pendapatnya, tetapi cengkeraman Nathan semakin menguat, membuatnya merasa terjebak.

“Iyakan, Adikku tersayang?” ucap Nathan, suaranya menakutkan dan membuat bulu kuduk Calista merinding. Refleks, ia mengangguk pelan, meskipun rasa takut mulai menyelimuti hatinya.

“Tapi Calista pengen lihat nenek buat terakhir kali,” Calista mencoba melepaskan cengkraman Nathan, menatap Angga dan Endah dengan mata sayu, berharap mereka mengerti.

'Pinter juga mainnya nih bocil,' pikir Nathan, tersenyum smirk.

“Bisa juga kan, video call?” usul Nathan dengan santai, mencoba mengalihkan perhatian Calista. Namun, semangatnya yang membara seketika memudar. Wajah Calista kembali tampak lesu, kehilangan harapan.

Dengan hati lesu dan pikiran yang capek, Calista mengalah. “Yaudah, Calista nggak jadi ikut deh.” Ia menyerah, merasa frustasi setelah berusaha merengek tanpa hasil, suaranya hampir tak terdengar.

Akhirnya, orang tua mereka mempercayakan Calista kepada Nathan. Mereka berangkat menggunakan taksi menuju bandara, meninggalkan Calista yang merasa sendirian. Keberangkatan itu seperti memisahkan sebuah ikatan, dan Calista merasakan kesepian yang mendalam.

Setelah taksi menghilang dari pandangan, Nathan menatap Calista dengan sinis. “Kebanyakan nonton drama, lo,” ujarnya, menyilangkan tangan di depan dada. Ekspresi sinisnya membuat Calista merasa terpojok.

“Emang,” jawab Calista, meringis dengan wajah melas, berusaha menjaga harga dirinya meskipun hatinya hancur.

“Lo mau ngejauhin gue, kan?” Nathan menatap tajam, membuat Calista merasa tidak nyaman. Dia merasakan ketidakadilan dalam situasi ini.

“Cuma perasaan kamu aja kali, Kak,” Calista menggeleng, berusaha tenang meskipun jantungnya berdegup kencang.

“Jangan bikin gue marah karena lo bohong,” Nathan berkata dengan nada rendah, mendekati Calista dan mengangkat dagunya, memaksa Calista menatap matanya yang penuh tantangan.

“Lo tahu kan, gue gasuka dibohongin.” Tangan kekar Nathan turun mengusap leher Calista, membuatnya merinding. Momen itu penuh ketegangan, dan Calista merasa terperangkap antara rasa takut dan ingin melawan.

Calista berusaha mempertahankan keberaniannya, “Nathan, please! Aku nggak mau berantem.” Suaranya bergetar, mencerminkan kebingungan dan keputusasaannya.

Nathan menatapnya dalam-dalam, dan dalam hening itu, Calista merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Keduanya berdiri di tepi jurang konflik, dan hanya waktu yang bisa menentukan siapa yang akan melangkah maju atau mundur.

TBC

Votee!.

Obsesi My Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang