Calista menepis perlakuan Nathan yang menurutnya sudah di atas batas tidak wajar seorang adik dan kakak. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan sosok asing, kakaknya yang sekarang bukannya kakaknya yang dulu. Ia berubah, dan itu membuat Calista semakin merasa terasing. Ia lalu menjaga jarak dengan Nathan, berusaha meredakan rasa ketidaknyamanan yang menggelayuti hatinya.
Rasa penasarannya mulai berputar kembali ke percakapan terakhir dengan Putri. "Sepertinya ada benarnya," pikirnya. Kakaknya cemburu setelah ia menceritakan Aden, seseorang yang baru dikenalnya sebagai cinta pertamanya. "Kamu kenapa sih, Kak?," tanya Calista dengan nada bingung.
Nathan tersenyum aneh, senyum yang membuat bulu kuduk Calista merinding. “Gue? Gue nggak kenapa-napa,” jawabnya, tetapi matanya yang penuh teka-teki membuat Calista merasa tidak nyaman.
Tiba-tiba, Nathan melakukan sesuatu yang tak terduga—ia menjilat daun telinga Calista, tindakan yang membuatnya merinding. Refleks, Calista menampar pipi Nathan, membuat kepalanya berpaling ke samping.
Plak.
“Gausah kayak gitu, Kak. Ini berlebihan,” Calista berkata ketus, suaranya bergetar menahan emosi. Ia kemudian menjauhkan diri dari Nathan, mencari aman di sudut ruangan, berusaha menghindari tatapan kakaknya yang menakutkan.
Nathan tersenyum sambil memegang mukanya yang berkedut akibat tamparan adiknya itu, “Siapa sekarang yang berlebihan?,” tanya Nathan dengan muka tenang, tetapi ada nada mematikan yang menyertainya. Calista merasakan lonceng di kepalanya berbunyi kencang seakan memberi tanda bahaya akan sesuatu yang lebih besar yang akan terjadi.
“Kak, a—aku...” suaranya hampir tercekat.
“Minta maaf?.” Nathan memotong, yang dibalas dengan anggukan kecil Calista, meskipun hatinya bergetar ketakutan.
“Fine, baby.”
“Lo mau tau kenapa gue kayak gini?,” tanya Nathan dengan senyum yang semakin mengerikan. Calista merasakan firasat tidak enak ketika melihat raut wajah kakaknya yang berubah menjadi penuh kegembiraan yang menyeramkan.
“Gue suka sama lo, gue sayang. Gue cinta,” ujar Nathan dengan tegas. Calista merasa seolah dunia berhenti berputar. Wajahnya pucat pasi, dengan mata terbelalak tidak percaya. Tubuhnya gemetar, kehilangan kendali atas situasi ini, seolah-olah ia terjebak dalam mimpi buruk.
“Lo sekarang milik gue, sayang.” Nathan mengusap lembut rambut Calista yang panjangnya sebahu. Ia mencium rambutnya, merasakan aroma milky yang selalu disukainya. Calista merasa terperangkap dalam jaring emosi yang sulit diungkapkan.
Calista mendorong Nathan, menatap wajahnya dengan ekspresi tidak percaya. “Kenapa, Sayangku?” tanya Nathan, suaranya penuh godaan dan keinginan.
“Kamu gila, sialan!” teriak Calista, suaranya memecah keheningan dengan ketegasan yang tak tertahankan. Nathan hanya tertawa dingin, seolah menganggap remeh semua itu. Apakah adiknya baru menyadari semua ini sekarang? Dari mana saja ia selama ini?
“Gila? Haha, gue emang gila cinta sama lo.” Tawa Nathan tidak meredakan ketegangan, malah menambah rasa takut di hati Calista.
“Aku akan bilangin ini ke Mama sama Papah,” ancam Calista, sambil mengambil handphone-nya. Namun, sebelum ia sempat memencet nomor Endah, tangannya dicengkeram kuat oleh Nathan.
Handphone Calista akhirnya direbut paksa oleh Nathan. “Gaakan gue biarin,” ujarnya, menyimpan handphone itu di saku kiri celananya dengan cepat. Rasa putus asa Calista semakin dalam, merasa tak berdaya.
“Oh ya, karena hal inilah gue putusin Andini supaya bisa dapetin lo dengan mudah,” kata Nathan. Calista hanya membulatkan matanya, terkejut. Ia sangat syok, tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi saat ini.
“Karena gue baru sadar, adik gue lebih menarik daripada Andini,” tambah Nathan, tatapannya semakin menggila. Calista merasakan ketakutan melanda dirinya. Ia ingin memuntahkan apa yang baru saja didengar dari mulut kakaknya, tetapi rasa takut mengunci kata-kata di tenggorokannya.
Dengan hati yang campur aduk, ia kemudian berlari ke arah kamarnya. Ia tidak mempedulikan teriakan Nathan yang menyuruhnya untuk kembali. Setelah berada di dalam kamar, ia menguncinya dengan cepat, seolah itu adalah pelindung terakhirnya.
Ia kemudian menangis, meringkuk di kasurnya. Ternyata, dirinya yang dianggap tidak bersalah menjadi penyebab hancurnya hubungan Andini. Dirinya merasa tidak tahu diri, merasa bodoh. “Diriku pelakor,” batinnya.
“Kenapa, Kak? Kenapa?” jeritnya dalam hati, putus asa. “Kita hanya sebatas kakak dan adik, ini keterlaluan,” ucap Calista, meneteskan air mata yang penuh dengan rasa marah, sedih, dan kecewa.
Selang beberapa menit kemudian, Nathan mengetuk pintu kamar Calista. “Buka pintunya atau gua dobrak, Sayang!.” teriak Nathan di luar sambil menggedor-gedor pintu dengan kasar, suaranya mencerminkan kemarahan dan frustrasi.
“Jangan sampai gue main tangan, sayang,” tambah Nathan dengan nada mengancam, membuat Calista merasa semakin tertekan.
“JANGAN GANGGU AKU DULU BISA GA!” Calista akhirnya menaikkan nada bicaranya, mengeluarkan semua ketidakpuasannya.
Hatinya bergejolak, dan semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tidak berujung. Ia hanya ingin semuanya kembali seperti semula, sebelum semua kekacauan ini menghantui hidupnya.
TBC
votee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi My Brother
Fiksi Remaja•⛔⛔ ᴅɪʟᴀʀᴀɴɢ ᴍᴇᴍᴘᴇʀᴀɢᴀᴋᴀɴ ᴀᴘᴀᴘᴜɴ ʏᴀɴɢ ᴀᴅᴀ ᴅɪ ɴᴏᴠᴇʟ ɪɴɪ ᴅɪ ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ɴʏᴀᴛᴀ!!. ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ ғᴏʟʟᴏᴡ ^^ Aku merasa aneh kepadanya, dia berubah, dia bukan kakakku yang ku kenal. Dia hewan ʙᴜᴀs. Kejanggalan ini terlihat setelah beberapa waktu yang...