26

49.4K 4.9K 254
                                    

"Sakit?"

Pertanyaan itu membuat lamunan Zidane buyar, dia menatap dingin ke arah Lian yang selesai mengobatinya. Mengapa Lian ada di sini? Entahlah, tiba-tiba di pertengahan jalan, Lian menghentikan Anggara yang memukulnya yang sudah terkulai lemas di lantai, dengan luka-luka lebam di wajah.

Dan setelahnya, laki-laki itu bersikeras mengobatinya.

"Kenapa lo tiba-tiba dateng?" tanya Zidane datar. Bukannya menjawab, Zidane melontarkan pertanyaan yang lain. Dia heran mengapa pemuda ini datang tiba-tiba, meskipun begitu jauh di lubuk hatinya dia benar-benar berterimakasih. Setidaknya, luka yang disebabkan oleh Anggara tidak terlalu banyak, meskipun nampak di penglihatan.

"Bantuin lo. " Lian membalasnya tak kalah datar, hal itu membuat tatapan aneh diarahkan Zidane pada sosok Lian. Bukannya, beberapa waktu lalu mereka sempat bertengkar? Mengapa laki-laki ini malah membantunya? Itulah yang membuatnya sangat heran.

"Kenakalan apa yang lo lakuin sampai buat Papah marah?" Lian seolah mengabaikan tatapan dari Zidane, dan fokus mengobati luka-luka Zidane dengan hati-hati.

Zidane menatap sinis ke arah Lian, kemudian mendengus kesal. "Gue nggak ngapa-ngapain, Papa main pukul aja. Gue aja heran. " Dia memejamkan matanya sesaat, mengingat kejadian beberapa saat lalu.

"Kau mempermalukan diriku lagi s*alan!"

"Kenapa kau diam?! Kau benar-benar membuat kesalahan lagi di sekolah!"

"Pihak sekolah menghubungi saya!"

"Apa yang pihak sekolah katakan?" Zidane menatap lurus ke arah Anggara yang terdiam karena ucapannya, sesaat setelahnya pria dewasa itu memukul tembok dengan satu tangannya yang mengepal.

"Cih! Tanpa saya angkat pun, sudah pasti itu adalah kenakalan mu!"

Zidane merotasi matanya setelah mengingat kepingan kejadian itu. Menjengkelkan, Anggara bahkan belum mengangkat telepon tersebut dan malah menyalahkannya. "Gue nggak salah apa-apa. "

"Serius?" Lian menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arah Zidane dengan tatapan tidak meyakinkan.

"Lo kagak percaya?" Zidane terkekeh ringan. "Buat apa coba gue buat masalah di sekolah? Gue udah insaf. " Dia memang tidak berniat mengatakannya, seolah hal tersebut mengalir begitu saja.

"Dia bilang guru di sekolah gue nelpon dia. " Zidane kembali melanjutkan ucapannya setelah terdiam seperkiraan detik. "Papa malah marah-marah ke gue, padahal dia belum angkat teleponnya. Dia nuduh-nuduh gue buat masalah, seburuk itu gue dimata dia? Jadi langsung nebak aja. "

Lian sempat tertegun sebentar, namun ide lain terlintas, dia kemudian dengan sengaja menekan luka memar yang ada di wajah Zidane yang membuat pemuda itu meringis. Bukan tanpa alasan sebenarnya, selain ingin mencairkan suasana, dia juga sedikit kesal karena Zidane tidak membalas pertanyaannya di awal tadi, malah merambat ke masalah lain.

"Ah, lo mau bikin gue mati?" ketus Zidane, dia bahkan menggeplak tangan Lian agar menjauh dari wajahnya. Pemuda itu tersenyum sangat tipis, dia menampilkan wajah tengilnya yang membuat Zidane ingin sekali memukulnya saat ini juga.

"Gue pikir nggak sakit. "

"Nggak sakit nggak sakit, mata lo!" Zidane menatap jengkel ke arah Lian. Lian sebenarnya ingin kembali mengobati Zidane, namun Zidane sendiri menurunkan paksa tangan Lian menjauh dari wajahnya. Lian kini menghembuskan nafasnya pelan, sambil membereskan kotak obat-obatan yang baru saja digunakannya.

"Lo datangnya telat, keburu bonyok muka gue. " Dia seakan lupa dengan sikap pemuda ini beberapa hari yang lalu, dia merasa terlindungi saat pemuda itu menjauhkan Anggara dari hadapannya.

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang