57

36.2K 4.1K 740
                                    

"Gimana?"

"Udah nemu orangnya?"

Lian mengalihkan pandangannya, dia terlihat menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk. "Udah Mah, dapet rekomendasi dari temen lama, semoga aja bisa cocok. "

"Untuk rencana ketemunya, kapan bisanya?"

"Sore ini, juga langsung bisa, Lian udah chat orangnya, tinggal konfirmasi aja kapan yang pasti, dan—" Pemuda itu menggantungkan perkataannya. "—gimana cara ngajak Zidane? Apa Zidane bakal mau ketemu?"

Kamila terlihat diam berpikir, untuk keputusan ini dia juga merasa bingung. Awalnya, keputusan mencarikan Zidane psikolog ini sudah direncanakan dari jauh-jauh hari, mungkin di saat Kamila pertama kali mendengar langsung cerita dari Lian tentang kondisi Zidane sepulang dari Rumah Sakit. Namun rencana itu masih abu-abu karena ada hal yang harus dipertimbangkan, dan di saat kejadian tempo lalu terjadi, membuat keputusan Kamila akhirnya benar-benar bulat.

"Mah?" Suara Lian akhirnya membuyarkan lamunan Kamila. "Apa mungkin langsung terus terang?"

"Jangan. " Kamila langsung menggeleng tak setuju. "Jangan langsung berterus terang, Mamah yakin Zidane pasti berpikir macam-macam, dan mungkin bisa saja langsung menolaknya saat itu juga. "

"Lalu bagaimana Mah?" Lian menatap ke arah Kamila penuh arti. "Nggak mungkin terus ditunda kan Mah? Lian nggak mau kejadian yang waktu itu terulang lagi, Lian nggak sanggup, Lian bahkan nggak bisa bayangin—kalo suatu saat nanti Zidane malah benci sama Lian. "

Kamila kembali terdiam, dia juga memiliki kekhawatiran yang sama, kejadian tempo lalu seakan membayang-bayangi kejadian yang akan terjadi ke depannya. Dia bahkan tidak tau apa yang terjadi dengan Zidane saat itu, dan dia juga tidak berani membahasnya, karena takut memperkeruh hubungannya dengan putranya. "Mamah juga memiliki kekhawatiran yang sama. "

Mendengar hal itu Lian mengalihkan pandangannya, Kamila pun kembali mengangkat suaranya. "Apapun itu, Mamah hanya tidak ingin memperkeruh suasana, karena Mamah yakin, Zidane akan langsung menolak jika kamu berterus terang alasannya. " Kamila menepuk bahu putranya. "Mamah yang akan membicarakannya nanti, kamu tidak perlu khawatir, kamu buat aja janji dulu sama psikolog—"

"Apanya yang psikolog Mah?" Suara Kamila mendadak terhenti di saat suara lain menyelanya, wanita itu kemudian menoleh ke arah sumber suara. Dia kemudian menghela nafas lega, karena orang itu bukan Zidane.

"Ah, Feri? Kamu ngagetin Mamah tau. "

Feri menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dengan  tersenyum lebar. Dia sempat tertegun sesaat, saat mengingat yang barusan dia dengar. "Apanya yang psikolog tadi?" Dia berganti menatap ke arah Kamila menuntut penjelasan. "Mamah yang mau bikin janji? Atau kenapa? Mamah nggak kenapa-kenapa kan? Atau—malah Bang Lian?" Dia melirik sepintas ke arah Lian.

"A—ah itu. " Kamila terlihat menatap sekilas ke arah Lian. "Bukan apa-apa, bukan Mamah. Itu, Abangmu cerita kalo baru ketemu sama temen lamanya, dan temen lamanya itu psikolog. Mamah pikir Abangmu sengaja janjian mau ketemuan gitu sama dia. "

"Emang iya?" Dia melirik ke arah Lian meminta jawaban, dan pemuda itu terlihat mengangguk singkat. "Kayak ada yang aneh, beneran kan?"

"Iya, kamu mikirnya kemana sih?" Kamila terkekeh ringan, sambil memegang bahu putra keduanya itu. "Duduk dulu sini, sarapan sebelum berangkat sekolah. "

Feri terlihat menggelengkan kepalanya, matanya  bergerak liar terlihat seperti mencari seseorang. "Zidane mana? Dia udah berangkat atau belum turun?"

"Kenapa memangnya? Mamah belum liat dia turun, mungkin masih diatas siap-siap. "

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang