Rumah Sakit—menjadi tempat Daffa saat ini. Matanya memancarkan kesedihan menatap sebuah ruangan dengan pilu, mata anak itu berair. Dengan seragam SMA yang masih melekat, hatinya diliputi rasa khawatir.
"Kenapa gue sekalian nggak masuk?!"
Daffa memukul tembok Rumah Sakit untuk melampiaskan kekesalannya, dia merasa menyesal karena masuk hari ini ke sekolah, padahal dia tau kondisi Ibunya mengkhawatirkan tadi, namun Ibunya lah yang memaksanya masuk hingga membuat pemuda itu mengurungkan niatnya untuk tidak masuk sekolah.
Dan benar saja, saat dia tiba di rumahnya dia melihat Ibunya tidak sadarkan diri dengan wajah memucat. Dan dengan cepat dia membawa Ibunya ke Rumah Sakit, dengan bantuan tetangga di samping rumahnya.
"Kak—gue capek disini. "
"Ibu masih nangisin lo Kak, gue nggak sanggup. "
"Kenapa lo harus pergi?"
"Hidup lo masih terus berjalan Kak, nggak seharusnya lo pergi. "
Mata Daffa kembali berair, kenangan bersama Alia—kakak perempuannya yang berada 2 tahun di atasnya. Alia telah pergi meninggalkannya, gadis cantik yang dia cintai setelah Ibunya saat dia masih SMP. Dia benar-benar mengingat kenangan bersama kakaknya itu, namun Tuhan memilih untuk membawanya pergi.
Dia kehilangan pijakan saat itu, dan sampai sekarang dia masih dibayangi kejadian yang membuatnya merasa bersalah hingga saat ini.
Suara petir menggelegar, diiringi hujan deras. Di rumah yang sederhana, nampak seorang wanita paruh baya menatap luar jendela dengan khawatir.
"Alia, kamu dimana Nak?" Wanita itu terus bergumam, dengan doa yang tak hentinya mengiringi. Wanita itu adalah Mira—Ibu dari anak perempuan pertama bernama Alia, dan anak keduanya laki-laki bernama Daffa. "Udah dari tadi pagi kamu nggak pulang, Ibu khawatir, semoga kamu baik-baik saja. "
Daffa—pemuda yang saat ini menginjak kelas 3 SMP menghela nafas. Dia juga ikut merasa khawatir saat mendengar Ibunya mengatakan jika Kakak perempuannya belum terlihat hingga larut malam seperti ini, apalagi hanya alasan untuk kerja kelompok.
"Apa Kak Alia bekerja?" Daffa bergumam, namun sesaat setelahnya dia menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin, Kak Alia memang tidak bekerja hari ini kan? Jika ada hal yang dikerjakan, Kak Alia pasti mengabari. " Dia melirik handphonenya kembali, namun tidak ada tanda-tanda jika Alia membalas, bahkan membuka pesannya saja tidak.
"Ibu. " Suara Daffa membuat Mira menoleh. "Daffa akan cari Kak Alia, Ibu jangan khawatir disini. "
Mira menggelengkan kepalanya. "Ini sudah larut malam Nak, Ibu—Ibu juga khawatir denganmu. Lebih baik kamu disini saja, mungkin sebentar lagi kakakmu datang. " Dia berujar seolah tenang, meskipun raut wajahnya jelas jika dia tengah dilanda kekhawatiran.
Daffa menggelengkan kepalanya, mengusap bahu Mira lembut seolah menenangkannya. "Daffa tidak apa-apa Bu, Daffa anak laki-laki, bisa menjaga diri. Daffa akan baik-baik saja, " ujarnya dengan suara halus, membuat Mira terdiam mendengarnya. "Daffa juga mengkhawatirkan Kak Alia, Daffa akan cepat kembali. "
"B—baiklah, jaga dirimu, hati-hati. Jika Kakakmu belum bisa kamu temukan, kamu kembali saja, tidak perlu memaksa diri. " Mira mengusap kepala Daffa pelan. "Nanti Ibu akan meminta bantuan pada tetangga untuk mencarinya. "
"Daffa pamit. "
Setelah mendapat izin, akhirnya Daffa pergi mencari keberadaan Alia dengan motor sportnya yang baru-baru ini dia dapatkan, karena bergabung dengan sebuah geng motor yang bernama Black Wolf. Dia mengendarai motor tersebut di bawah rata-rata, sekitaran tempat dimana kemungkinan dilalui Alia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]
Teen Fiction[Part masih lengkap, follow dulu baru baca🤸] Bukan BL!!! Yang bilang bl ta geprek😬 Blurb; Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita? Plot twist, teka-teki!