48

43.6K 4.2K 409
                                    

Matahari terik menembus mengenai kulit—rupanya keberuntungan tidak berpihak dengan Zidane saat ini, dia terlambat ke sekolah dan berakhir dihukum berdiri di tengah lapangan. Beruntungnya dia tidak sendiri, melainkan adanya sosok Fian—yang saat ini mengeluh tak jelas di sampingnya.

"Zidane, lo sekarang jadi pendiam ya?" Fian membuka suara, sambil menyeka keringat yang bercucuran. "Gue jujur nih, gue kangen ribut sama lo, gue bermasalahnya sama anak kelas sebelah, bacot mulu anaknya, nggak like, kalo sama lo kan langsung baku hantam. "

Zidane mendengus, sambil menatap ke arah Fian. Dia tidak menyangka laki-laki itu mengatakan hal ini, dia bahkan memprediksi dia dengan laki-laki itu akan tetap bermusuhan, namun apa ini? "Gue udah insaf. "

"Insaf? Lo kerasukan setan Islam?" Melihat tatapan sinis Zidane, membuat Fian terkekeh. "Bercanda, tatapan lo tetep aja kayak dulu, cuman sekarang agak kalem sifatnya. " Zidane hanya mengalihkan pandangannya ke arah tiang bendera, tanpa membalas.

"Lo ada masalah sama Satya?" Setelah seperkiraan detik tidak ada pembicaraan, Fian kembali membuka suara, hal itu membuat Zidane menatap ke arah laki-laki itu dengan kerutan di dahinya.

"Satya? Yang temen lo itu?"

"Iya, lo ada masalah sama dia?" Zidane menggelengkan kepalanya singkat, dia menaikkan alisnya seolah mengutarakan pertanyaan. "Gue denger dia telponan dan nyebut nama lo, kali aja lo ada masalah sama dia. Soalnya nyebut-nyebut nama cewek, siapa tau lo rebutan cewek sama dia. "

"Siapa namanya?"

"Kalo nggak salah—Alia. "

Zidane tertegun mendengarnya, yang dia tau nama Alia identik dengan kejadian kelam dua tahun lalu, hanya itu. Apa mungkin Satya, salah satu yang dia kenal sebagai teman akrab Fian mengetahui sesuatu? Atau mungkin namanya hanya kebetulan sama? "Nggak. "

"Nggak apa?" Fian mengerutkan keningnya. "Lu jadi males ngomong apa gimana sih? Mana datar mulu. "

Zidane menghela nafas. "Gue nggak ada masalah sama Satya, temen lo itu. " Dia membalasnya datar, dengan Fian yang mangut-mangut.

"Oh kirain, gue kira lo sukanya sama Selly, temen sekelas gue itu. " Zidane mendelik mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Fian. "Soalnya lo pernah nolongin dia, dan bikin heboh satu sekolah. Dan yang gue tau, lo nggak pernah deket sama cewek, ya palingan lo cuman cari masalah sama Bastian the geng. "

Zidane mendengus. "Gue nggak minat. "

"Nggak minat apaan? Nggak minat cewek?"

"Istighfar, mana ada, gue masih normal!" Zidane meninggikan sedikit suaranya, bukan karena marah, hanya terlampau kesal. Mengingat kehidupannya dulu, dia jadi sangat beruntung karena sudah putus dengan kekasihnya itu—ya setidaknya status itu sudah tidak ada kan? "Lo kali yang nggak normal. "

"Dih, kagak ye. Gue masih normal lah! Nggak ada cewek yang gue suka. "

"Lo nggak suka Selly?" Bukankah, Fian digambarkan menyukai Selly? Apa mungkin, karena ketidakikutsertaan Fian dalam olimpiade, membuat Fian tidak menyukai Selly? Karena di sanalah, awal-awal Fian digambarkan mulai menyadari perasaannya, jika dia mencintai gadis itu.

"Nggak lah, biasa aja. Dia cantik sih, tapi ya, gue nggak suka. Gue kasian liat dia dibully, status sosial malah diajak perbandingan, makanya waktu itu gue nolongin dia, sampe si ketos rese itu mukul gue gara-gara salah faham. " Dia melirik kesal ke arah Bastian yang berjarak beberapa meter dari mereka. "Oh ya, gue lupa. Makasih ya btw waktu itu. "

Zidane mengangguk singkat meresponnya, ada rasa lega di dalam hatinya. Bukan hal apa-apa, dia seakan menyelamatkan orang lain dalam hal perasaan, dan Fian juga tidak akan menjadi kambing hitam di akhir cerita bukan? Meskipun, orang yang mengkambinghitamkan ini sudah berubah sangat jauh. Jadi, rasanya tidak mungkin hal itu akan terjadi.

Transmigrasi Mantan Santri? [Otw terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang